Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lomba lari marathon sedang tren. Sayang, sejumlah lomba lari yang digelar di Tanah Air diwarnai tragedi. November lalu, salah satu peserta Borobudur Marathon 2018 kategori full marathon mangkat.
Baca: Agar Tidak Cedera Saat Lomba Lari Marathon, Tilik Tips Ini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bulan sebelumnya, peserta Electric Jakarta Marathon 2018 kategori 5 km juga meninggal. Ia ambruk di kilometer ketiga. Polisi menjelaskan, peserta meninggal akibat serangan jantung. Ada sejumlah hal yang harus diperhatikan sebelum dan selama mengikuti lomba lari. Apa saja?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Patut diingat, tidak semua orang mampu berlari sejauh 42 km. Untuk dapat mencapai jarak sejauh itu, Anda harus berlatih lari sejauh 5 km dulu. Spesialis kesehatan olahraga dari Rumah Sakit Premier Bintaro Tangerang, Hario Tilarso, menjelaskan manusia pada dasarnya hanya mampu berlari sejauh 30 km.
Rekor dunia untuk durasi lari marathon tercepat saat ini 2 jam, 1 menit. Anda yang bukan atlet profesional butuh waktu dua kali lebih lama. Itu sebabnya, peserta lari marathon diberi waktu 5 sampai 7 jam untuk mencapai garis finis.
“Untuk ikut lari marathon, Anda yang bukan atlet profesional harus berlatih minimal 3 bulan sebelumnya. Bulan pertama bebannya paling berat. Jarak yang ditempuh setiap minggu maksimal 170 km. Kalau dibagi 6 hari, pagi Anda mesti berlari minimal 10 km, sore lari lagi 10 km. Buat Anda yang belum pernah ikut lomba lari sama sekali, saya rekomendasikan ikut lomba lari 5 atau 10 km dulu. Berdasarkan pengamatan saya, biasanya untuk menyelesaikan jarak 10 km peserta butuh waktu 50 menit sampai 1 jam,” kata Hario di Jakarta, pekan lalu.
Agar dapat tampil prima di putaran 5-10 km, Anda mesti berlatih lari sejauh 70 km pada bulan pertama, lalu 80 km pada bulan kedua. Memasuki bulan ketiga, kurangi beban latihan karena tubuh butuh istirahat. Setelah berlatih lari, Anda disarankan berlatih beban dua kali seminggu. “Tujuannya, menguatkan otot kaki, paha, dan pantat,” kata dokter yang juga mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
Hario menyebut, 29-30 persen penyebab kematian saat lomba lari, bersepeda, atau sepak bola dipicu serangan jantung. “Dalam kamus medis disebut kardiomiopati hipertrofi atau pembesaran otot jantung khususnya bagian kiri. Ini bisa dideteksi dengan pemeriksaan elektrokardiogram (EKG),” kata dia.
Baca: Mau Tahu Kekuatan Pria dan Wanita? Cek Waktu Marathon
Sayangnya di Indonesia, pemeriksaan EKG bagi para atlet dan peserta lari khususnya marathon belum lazim. “Padahal di luar negeri, saat atlet sepak bola pindah klub misalnya, ia diminta menjalani tes EKG untuk memastikan kondisinya prima,” kata Hario.