Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANTY masih pedih mengenang peristiwa itu. Pukul satu dini hari beberapa tahun lalu, Farel Nauval Isya, anaknya, tibatiba mengerang. Wajah bayi yang belum genap setahun itu mendadak pucat. Tanty segera memboyongnya ke rumah sakit. Setiba di ruang dokter, putranya tak bisa bernapas sehingga diberi pernapasan buatan. Farel menggelepar, hingga akhirnya maut menjemput.
Baru belakangan Tanty paham, putra tercintanya terinfeksi bakteri pneumokokus yang menyerang saluran pernapasan. Kasus ini diangkat dalam advokasi Asian Strategic Alliance for Pneumococcal Disease Prevention (ASAP) Indonesia yang dihadiri sekitar 250 dokter dan tenaga medis di Denpasar, 25 Maret lalu.
Aliansi strategis pencegahan infeksi pneumokokus ini adalah kelompok independen di Asia yang beranggotakan 20 negara, termasuk Indonesia.
Di negeri kita, pneumokokus menyebabkan sekitar dua juta kematian setiap tahun. Hampir separuhnya adalah anak di bawah lima tahun. Dari beraneka penyakit pneumokokus, yang paling tinggi menyebabkan maut adalah pneumonia (radang paru).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), 98 orang bayi meninggal setiap jam akibat pneumonia di Asia Pasifik. Satu dari lima kematian anak di dunia disebabkan penyakit ini. Maka WHO pun menyebut pneumonia sebagai ”penyakit terlupakan pembunuh anakanak”. Badan Perserikatan BangsaBangsa juga menempatkan Indonesia di urutan keenam—setelah India, Cina, Nigeria, Pakistan, Bangladesh—terbanyak penderita pneumonia.
Profesor Sri Rezeki Hadinegoro, spesialis anak konsultan penyakit tropis dan infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang juga wakil Indonesia di ASAP, menjelaskan penyakit pneumokokus adalah sekumpulan penyakit yang disebabkan bakteri Streptococcus pneumoniae. Bakteri pneumokokus ada lebih dari 90 tipe. Sebelas di antaranya ganas dan mematikan.
Pneumokokus dapat menyebabkan invasive pneumococcal disease atau IPD, antara lain, pneumonia (radang paru), bakteremial (infeksi bakteri dalam darah), sepsis (darah yang teracuni), meningitis (radang selaput otak).
Ada pula pneumokokus yang bersifat noninvasif, yaitu yang menyebabkan penyakit di telinga, hidung, atau tenggorokan (THT), seperti media otitis (radang telinga tengah) dan sinusitis (infeksi pada sinus). Jika tidak ditangkal atau ditangani dengan tepat, penyakit pneumokokus dapat menyebabkan hilangnya pendengaran, kemunduran inteligensi, kesulitan berbicara, kelumpuhan, hingga kematian.
Profesor Soetjiningsih, guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, mengungkapkan bakteri pneumokokus ini dapat ditemukan pada tenggorokan dan rongga hidung orang dewasa serta bayi dan anakanak. Yang patut diwaspadai, penyakit ini bisa dengan mudah menjangkiti anak sehat yang datang dari lingkungan sehat. Ia menyebar dengan sangat mudah hanya melalui udara, yaitu ketika penderita atau pembawa penyakit (carrier) batuk, bersin, dan memercikkan ludah.
Memang, berdasarkan data WHO, tak semua kasus pneumonia disebabkan pneumokokus. Hanya setengah dari jumlah total penderita pneumonia yang terjangkit pneumokokus. Sedangkan 30 persen akibat terinfeksi bakteri Haemophilus influenza tipe B (HiB). Sisanya disebabkan virus dan bakteri lain. Dua bakteri itu—pneumokokus dan HiB—juga menjadi penyebab meningitis pada anak.
Dari berbagai macam penyakit yang disebabkan pneumokokus, dua yang utama adalah pneumonia dan meningitis. Pneumonia adalah radang paru atau dalam bahasa awam paruparu basah. Kantong udara di paru dipenuhi cairan. Artinya, organ pernapasan itu tak bisa mengantar oksigen secara efektif ke pembuluh darah. Selain karena pneumokokus, pneumonia juga bisa disebabkan virus dan bakteri lain, serta parasit dan jamur.
Sedangkan meningitis adalah penyakit yang menyerang selaput otak atau pembuluh yang melindungi otak dan susunan saraf pusat. Penyebabnya infeksi bakteri atau virus meningitis. Kasus ini paling sering menimpa anak di bawah lima tahun, 1725 tahun, dan di atas 55 tahun. Yang paling rentan adalah mereka yang sistem kekebalan tubuhnya lemah. Efek meningitis sangat beragam, mulai dari kehilangan tungkai atau lengan, gangguan pendengaran, gangguan mental, hingga kematian.
Bakteri pneumokokus secara normal berada di dalam rongga hidung dan tenggorokan anakanak dan dewasa yang sehat, dengan empat serotipe berbeda yang terkandung secara bersamaan. Artinya, tidak semua individu akan menderita penyakit ini ketika terkena bakteri ini. Namun tetap saja patut waspada. Sebab, ketika sudah terjadi kolonisasi bakteri dalam tubuh, orang tersebut akan menjadi pembawa sekaligus penyebar penyakit melalui partikel udara: lewat bersin, batuk, percikan ludah, serta kontak tubuh.
Karena tak ada keluhan atau gejala apa pun, si carrier sering tak menyadari kondisinya. Ironisnya, seperti dikemukakan Soetjiningsih, yang paling banyak menularkan bakteri ini justru orang rumah. Ia mengemukakan sebuah penelitian di Bandung terhadap bayi baru lahir hingga usia dua bulan pada 2006. Ternyata, dari semua responden yang mengidap pneumokokus, lebih dari setengahnya tertular pneumokokus dari kakaknya dan 11,9 dari ibunya. Sisanya tertular dari orang lain di luar keluarga.
Soetjiningsih menyebutkan, kelompok yang berisiko tinggi terinfeksi pneumokokus adalah bayi di bawah dua tahun, yang tidak atau hanya sebentar mendapat ASI, tinggal di hunian padat, terpapar polusi atau asap rokok, sering mendapat antibiotik (sehingga bakteri menjadi resisten), kurang gizi, dan tidak diimunisasi.
Karena ada berbagai jenis penyakit yang disebabkan pneumokokus, gejalanya juga beragam. Gejala meningitis antara lain demam dan sakit kepala, mual, muntah, kaku pada leher dan fotofobia (sakit karena melihat cahaya) pada anak yang lebih besar. Pada bayi biasanya ditandai demam dan tandatanda penyakit tidak spesifik lainnya. Sedangkan gejala pneumonia adalah gemetar tibatiba, kedinginan, batuk, demam, dan sesak. Media otitis akut (radang telinga tengah) ditandai demam, sakit pada telinga, dan pendengaran terganggu.
Salah satu pencegahan pneumokokus adalah dengan imunisasi Pneumococcal Saccharine Conjugated Vaccine (PCV7). Vaksin ini membantu mencegah penyakit pneumokokus invasif (IPD) pada anak di bawah dua tahun, dan melindungi anak hingga sembilan tahun.
Masalahnya, di Indonesia harga vaksin ini termasuk mahal: Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta sekali suntik. Padahal vaksin ini mesti diberikan satu seri, yakni tiga kali. Selain itu, baru ada satu perusahaan obat yang memproduksi vaksin ini, sehingga dikhawatirkan bisa terjadi ”monopoli”.
Lantas, bagaimana sebaiknya sikap orang tua menghadapi kondisi ini? Dokter Purnamawati, spesialis anak yang juga salah satu pendiri Yayasan Orang Tua Peduli, menyatakan penyebab pneumonia dan meningitis banyak sekali. Virus dan kumannya macammacam, tak selalu Streptococcus pneumoniae, tapi bisa saja kuman HiB, tuberkulosis, dan lainnya. Belum ada data tentang virus atau bakteri apa yang paling banyak menyebabkan pneumonia dan meningitis di sini
Memang, vaksin IPD yang masuk ke Indonesia bagus, karena mengandung tujuh jenis kuman Streptococcus pneumoniae. Tidak soal jika orang tua memberikan vaksin ini pada anak. Masalahnya, apakah bakteri Streptococcus yang ada di sini termasuk tujuh jenis bakteri di dalam vaksin itu. Jangan sampai, seperti terjadi di beberapa negara Asia dan Afrika, vaksin ini ternyata tidak mencakup bakteri Streptococcus yang ada di sini.
Jadi yang terpenting adalah membentuk kekebalan tubuh anak sejak dini. Yang paling sakti adalah air susu ibu. Dokter Sri Rezeki mengingatkan salah satu risiko tertinggi terkena pneumokokus adalah tidak atau hanya sebentar mendapat ASI. ”Menyusui terbukti menurunkan angka terkena penyakit infeksi pada bayi dan anak,” katanya.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo