Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HOW pixel are you? Ungkapan yang mirip slogan reklame satu produk rokok ini pantas direkatkan pada lukisan, patung, dan animasi karya Terra Bajraghosa. Dipamerkan di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, 5 Mei hingga 10 Juni, karyanya menyiratkan betapa dalam teknologi citraan digital yang berbasis piksel merasuk ke dalam budaya massa. Terra memotret gejala itu lewat medium seni rupa dengan pendekatan ”seolah-olah” (pseudo) ilmiah.
Istilah piksel—berasal dari akronim bahasa Inggris, picture element—merupakan representasi titik terkecil dalam citraan digital. Satu citraan digital dibentuk oleh ribuan titik. Makin tinggi jumlah piksel, makin tajam citraan digital yang ditampilkan. Sebaliknya, makin sedikit jumlah piksel, makin kabur citraan digitalnya.
Terra, 28 tahun, tidak menerapkan relasi hipotetis kumpulan ribuan titik yang menghasilkan citraan yang tajam. Sebaliknya, ia mengolah citraan realis—dengan jumlah piksel minim—menjadi citraan susunan blok-blok warna. Hasilnya: di atas kanvas dengan cat akrilik muncul abstraksi bentuk realis berupa susunan bentuk geometris.
Terra dikenal sebagai seniman perupa yang sering mengawinkan citraan realis dengan citraan robotik seperti dalam cerita fiksi ilmiah tapi dengan pendekatan parodi. Kali ini ia menggunakan bahasa digital untuk menerjemahkan karya seni rupa ke dalam citraan piksel. Dosen desain komunikasi visual Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini memilih menerjemahkan dua karya klasik pelukis kondang Indonesia, Raden Saleh Sjarif Boestaman (1807-1880), ke dalam bahasa piksel.
Pada karya lukis bertajuk Berburu Beat [After Raden Saleh], Terra mengadopsi citraan realis karya Raden Saleh yang menggambarkan pertarungan hidup-mati sejumlah pemburu berkuda dengan singa yang mengamuk. Karya yang dominan dengan warna cokelat tanah di kanvas berubah menjadi susunan bentuk kotak-kotak warna terang yang dikurung kumpulan susunan kotak warna gelap di bagian bawah. Sedangkan bagian tengah ke atas didominasi warna terang putih dan biru, yang menggambarkan gejolak awan di kebiruan langit.
Karya ini nyaris tak menyisakan citraan realis karya asli Raden Saleh. Sebaliknya, yang muncul merupakan abstraksi susunan kotak piksel yang sulit dirujuk sebagai representasi bentuk tertentu. Gejolak pertarungan habis-habisan pemburu dengan kebuasan singa hanya bisa dirasakan lewat komposisi warna balok-balok piksel merah, cokelat, dan hitam. Kalaupun ada penonton yang berhasil menajamkan pandangan matanya, ia hanya bisa menemukan abstraksi bentuk sejumlah sosok kuda yang tersusun dalam balok piksel biru dan kuning. ”Saya buat susunan bentuk kotak-kotak (piksel) yang lebih besar sehingga bentuk aslinya tidak begitu kelihatan,” ujar Terra.
Pada karya ini detail citraan obyek yang berukuran lebih kecil habis digusur oleh abstraksi bentuk geometris. Hanya abstraksi obyek-obyek berukuran besar, dengan struktur bentuk yang terdiri atas garis-garis lempang, yang lebih mudah dirujuk bentuk citraan realisnya. Semisal pada karya Raden Saleh yang menggambarkan penangkapan Pangeran Diponegoro, sebagai koreksi berbau politis terhadap peristiwa yang sama yang diabadikan pelukis Belanda, J.W. Pieneman, berjudul Penyerahan Diri Diponegoro.
Pada versi Raden Saleh, Diponegoro digambarkan berdiri dalam pose siaga yang tegang. Wajahnya yang bergaris keras tampak menahan marah, tangan kirinya mengepal menggenggam tasbih. Lukisan ini pun berjudul heroik: Penangkapan Diponegoro. Tapi lihatlah bagaimana karya yang diselesaikan pada 1857 ini bermetamorfosis di tangan Terra, lewat lukisan bertajuk 8 Bit Penangkapan Diponegoro. Terra menyusun balok-balok pikselnya menjadi abstraksi bentuk bangunan kolonial dengan pilar-pilarnya yang kukuh. Bangunan itu merupakan rumah kediaman Residen Magelang, tempat penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Cock pada 1830, sebelum dibawa ke tempat pembuangan.
Karya ini benar-benar steril dari emosi kemarahan Diponegoro dan kesedihan pendukungnya yang muncul pada karya aslinya. ”Dingin dan nyaris tanpa ekspresi,” tulis Nindityo Adipurnomo, pemilik Rumah Seni Cemeti, dalam pengantar pameran. Yang tersisa hanyalah struktur piksel membentuk abstraksi sudut 60 derajat yang jika dirujuk ke citraan realisnya merupakan susunan kerumunan orang, dari anak tangga teratas hingga ke halaman bangunan rumah sang residen.
Pendekatan yang sama ia lakukan pada karya pelukis romantik Prancis abad ke-18 yang menjadi panutan Raden Saleh, Ferdinand Victor Eugène Delacroix. Karya Delacroix bertajuk Liberty Leading the People (belum lama ini dipakai sebagai artwork sampul album grup musik dari Inggris, Coldplay) dibuat menjadi dua versi: animasi dan lukisan. Judulnya dipelesetkan menjadi Liberty Lead The Pixel.
Pada karya Delacroix, sosok perempuan tampak menonjol, bergaun Yunani klasik yang bagian atasnya melorot sehingga mempertontonkan buah dada sang perempuan. Tangan kirinya menggenggam senapan bersangkur, bendera di tangan kanan. Ia berdiri di atas gelimpangan mayat dan di antara kerumunan lelaki bersenjata. Terra mengabstraksikan episode Revolusi Juli 1830 di Prancis, saat rakyat menumbangkan kekuasaan Raja Charles X, itu begini. Keelokan tubuh sang perempuan yang mempersonifikasikan Liberty berubah menjadi bentuk-bentuk persegi berukuran lebih besar. Selebihnya, gelora revolusi terasa dingin dalam susunan kotak berwarna cerah dengan latar warna cokelat yang kelam. Penonton tenggelam dalam permainan warna balok-balok piksel.
Teknik animasi tak banyak mengubah citraan balok-balok piksel itu. Pada citraan yang sama, Terra mengarahkan perhatian penonton pada gerakan tangan perempuan di kotak piksel dengan gaun melorot tadi. Pada karya animasi lainnya, citraan sosok piksel terlihat lebih hidup dan bergerak ke mana-mana, kadang mengundang tawa. Realitas piksel menjadi lebih nyata ketika citraan sosok perempuan piksel itu ia keluarkan dari ruang dua dimensi, menjadi karya patung dengan tonjolan balok-balok piksel dengan sudut-sudut rigid.
Susunan citraan balok-balok berbagai warna itu mengingatkan orang pada karya abstrak geometris Piet Mondrian, pelukis abstrak geometris Belanda. Mondrian mentransformasikan fenomena kebentukan alam (representasional) ke dalam bentuk nonrepresentasional lewat proses kreatif yang berlangsung alamiah. Kini proses alamiah itu bisa dibuat lebih mudah dengan memanfaatkan teknologi digital, dengan meminimalkan jumlah piksel.
Tapi Terra memperlakukan proses digitalisasi citraan itu secara manual, dari memindahkan citraan realis yang ditransformasikan menjadi balok-balok piksel dalam berbagai warna hingga memindahkannya ke kanvas dalam ukuran yang lebih besar. Memperlakukan proses digital dengan pekerjaan tangan bak mimpi bahwa teknologi akan memudahkan segalanya, termasuk dalam proses penciptaan karya seni, tapi sekaligus cara menertawakan keniscayaan teknologi. ”Ini piksel palsu, seolah-olah ilmiah,” kata Terra.
How pixel are you?
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo