Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar saraf Prof. Dr. dr. Yuda Turana, Sp.S menjelaskan pembuluh darah di otak bisa pecah antara lain karena tekanan darah terlalu tinggi atau ada kelainan pada pembuluh darah. Ia menjelaskan pembuluh darah bisa membengkak dan kemudian pecah pada pasien hipertensi menahun atau mendadak mengalami tekanan darah tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pembuluh darah bisa pecah karena tekanan yang tinggi, tidak tahan dengan tekanan ini sehingga dia pecah atau memang pada dasarnya ada kondisi kelainan sudah tipis. Jadi kasus pecahnya pembuluh darah itu paling utama, kita harus tahu faktor risiko utamanya," kata Yuda, Rabu, 18 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lulusan Universitas Indonesia yang kini berpraktik di Rumah Sakit Atma Jaya Jakarta itu mengibaratkan pembuluh darah seperti pipa yang berfungsi membawa cairan berisi oksigen dan nutrisi ke seluruh bagian tubuh. Pipa tersebut bisa mengembang dan berisiko pecah kalau tekanan cairan di dalamnya terlalu kuat melampaui kemampuan pipa untuk menahannya. Menurutnya, dinding pembuluh darah yang tipis atau rapuh juga bisa menyebabkan pembuluh darah pecah.
"Pipa yang rapuh dan ini bisa dibawa secara genetik atau karena proses degeneratif atau penuaan di mana pipa jadi rapuh. Sering pada orang tua tanpa tekanan darah tinggi, pipa rapuh dan gampang pecah," jelasnya.
Pengaruh pendarahan dan lokasi
Ia mengatakan keparahan akibat pembuluh darah pecah pada otak tergantung pada tingkat pendarahan dan lokasi pendarahan terjadi. "Volume darah semakin banyak, risiko kematian makin besar, tetapi lokasi juga penting. Pendarahan biasanya tidak banyak tapi letaknya di batang otak jelas fatal. Jadi, kematian itu bisa karena besar volumenya atau lokasinya, tidak semata-mata dari volumenya," papar Yuda.
Ia menekankan pentingnya penerapan pola hidup sehat seperti mengonsumsi makanan sehat, rutin melakukan aktivitas fisik, menjauhi alkohol dan rokok, serta menghindari stres untuk mencegah hipertensi. Rektor Unika Atma Jaya itu menyarankan orang berusia 40 tahun ke atas secara berkala mengukur tekanan darah agar bisa mendeteksi dini kenaikannya.