Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Wabah virus corona atau COVID-19 menyebabkan banyak orang mengonsumsi berbagai suplemen dan vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Tak hanya yang sakit, kini banyak orang sehat yang mengonsumsi suplemen peningkat kekebalan tubuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan alergi imunologi Agus Joko Susanto mengatakan sistem imun tubuh manusia sangat kompleks dan terbagi dalam sistem imun inate dan adaptif sehingga akan berada dalam kondisi homeostasis (seimbang) selama tubuh manusia sehat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Namun, ada saatnya tubuh tidak dapat menormalkan sistem imunnya sendiri. Pada saat itulah dibutuhkan imunomodulator, yaitu zat yang dapat memodulasi (mengubah atau mempengaruhi) sistem imun tubuh menjadi ke arah normal. Imunomodulator berperan menguatkan sistem imun tubuh (imunostimulator), atau menekan reaksi sistem imun berlebihan (imunosuppressan), dan mengatur sistem imun (imunoregulator).
Menurut Agus, ketiganya saling mengontrol dan saling menyeimbangkan. Apabila jumlah salah satunya rendah, maka jumlah imunomudulator lain akan naik. Begitu pun sebaliknya hingga kondisi tubuh mencapai homeostasis.
“Kekhawatiran sistem imun akan overstimulasi bila diberikan imunostimulan dari luar tidak sepenuhnya benar karena ketiga hal tersebut di atas yang akan mengatur untuk menuju homeostasis,” ujarnya.
Agus mengatakan bahwa orang sehat boleh saja mengonsumsi imunomodulator. Adapun kontradiksi konsumsi imunomodulator hanya terjadi pada orang dengan penyakit autoimun (penyintas autoimun). Pada kelompok ini, pemberian imunomodulator tidak dianjurkan.
Lebih lanjut, Agus mengatakan penelitian Echinacea kontradiksi untuk kasus infeksi COVID-19 belum ada sampai saat ini. Menurutnya, terlalu dini untuk menyimpulkan hubungan antara keduanya. Dia pun memastikan tidak pernah memberikan pernyataan apapun terkait kontradiksi tersebut.
“Mengenai masalah IL-6 sebagai marker, boleh dikatakan belum tentu dipastikan sebagai marker. Karena sifat IL-6 itu unik, yaitu sitokin yang AC-DC. Maksudnya, satu waktu IL-6 bisa sebagai proinflamasi, di saat lain bisa sebagai antiinflamasi. Itulah mengapa sering terjadi ketidaksesuaian hasil penelitian satu dengan yang lainnya bila sebagai marker penelitian,” katanya.