UTUSAN dari 19 negara Asia, Australia dan New Zealand telah
berkumpul di pertengahan Oktober yang lalu di Seoul, Korea
Selatan. Untuk membicarakan masaalah pemberantasan penyakit
tuberkulosis. Pertemuan ini adalah pertemuan yang kesepuluh dari
International Union Against Tubercolosis wilayah timur.
Penyakit rakyat ini memang merupakan masalah yang pelik di
kawasan Asia. Bukan karena tidak dapat disembuhkan, tetapi
karena penyembuhannya yang memakan waktu cukup lama, serta
kebosanan pasien selama menerima pengobatan. Oleh karena itu
salah satu pembicaraan yang menarik perhatian adalah baagimana
menyembuhkan tbc dalam waktu sependek mungkin tanpa timbul
kekebalan kuman terhadap obat.
Dr. Wallace Fox yang datang dari Inggeris untuk memberikan
kuliah khusus mengatakan bahwa dengan kombinasi obat-obat yang
ada sekarang, pengobatan tbc dapat disembuhkan dalam waktu 6
bulan. Dalam hal itu diakui bahwa Rifampicin merupakan obat
terbaru yang paling memberi harapan, karena sanggup mematikan
kuman tbc sewaktu sedang berbiak.
Suatu hal yang agak kontroversiiil adalah dengan
diperkenalkannya kembali pyrazinamide oleh Dr. Fox.
Pyrazinamide adalah obat tbc kuno yang telah ditinggalkan oleh
para dokter karena toksisitas- nya yang cukup tinggi. Yang
lebih meragukan adalah bahwa pendapat Dr. Fox itu tidak
didasari oleh pengalamannya sendiri dengan obat tersebut.
Dalam hal pencegahan tbc dengan vaksinasi BCG, Hong Kong dan
Singapura menunjukan keberhasilan mereka dibanding dengan
negara- negara Asia lainnya. Hal itu dapat dimaklumi karena
kedua negara itu merupakan negara pulau yang berpenghasilan
tinggi.
Kosmetik
Berbicara mengenai BCG, Jepang telah mempergunakan forum ini
sebagai media promosi untuk penemuannya yang baru.
Dikatakannya, bahwa teknik vaksinasi BCG yang mereka temukan
telah berhasil meniadakan bekas yang membenjol yang secara
kosmetik kurang sedap dipandang. Tetapi oleh seorang ahli
dari WHO yang ikut hadir dikatakan bahwa obat itu kurang
menguntungkan bagi negara-negara berkembang. Karena sulit
untuk membedakan mana anak yang pernah di BCG dan mana yang
belum.
Promosi Jepang tidak hanya dalam hal teknik BCG, tapi juga
mengenai obat anti tbc baru yang mereka sebut Enviomycin.
Seberapa jauh promosi itu berhasil masih perlu dibuktikan.
Sebagai tuan rumah, Korea Selatan mengajukan naskah ilmiah yang
paling banyak. Mereka menunjukkan ketekunan mereka memerangi tbc
dengan persiapan yang baik sejak tahun 1959. Pemberantasan tbc
di negara itu sudah merupakan undang-undang seperti juga
Malaysia. sehingga pengendalian dan pengontrolan setiap program
dapat dilaksanakan dengan baik.
Di akhir kongres diadakan suatu diskusi panel tentang berbagai
masalah, terutama tentang cara diagnosa penyakit tbc. Fihak tuan
rumah berpendapat bahwa diagnosa radiologik (dengan sinar
rontgen) cukup kuat untuk dijadikan dasar untuk memberi
pengobatan seawal mungkin. Tapi panelis yang lain berpendapat
bahwa diagnosa yang pasti hanyalah bila diketemukan kuman tbc
dalam ludah penderita. Menunggu satu dua minggu untuk
memastikan diagnosa dianggap tidak akan mempengaruhi jalannya
penyembuhan.
Pilihan Baru
Suatu pelajaran yang dapat ditarik oleh Indonesia adalah
bagaimana melaksanakan program-program pemberantasan tbc yang
ada, sehingga tidak saja dipatuhi oleh setiap dokter, tetapi
juga disadari pentingnya oleh masyarakat pada umumnya.
Bagaimana pula mengendalikan agar obat-obat anti tbc yang
terbaik tidak disalah-gunakan untuk mengobati penyakit lain,
meskipun mungkin juga berkhasiat. Di pasar gelap terutama di
Jakarta, Rifampicin misalnya diperjual-belikan orang untuk
penyakit kelamin. Namun kesalahan ini agaknya datang dari
perusahaan farmasi sendiri yang pernah mempromosikan obat anti
TBC itu sebagai obat yang juga dipakai untuk penyakit kotor.
"Kami misalnya sudah diminta oleh Departemen Kesehatan
menghentikan promosi Rifampicin untuk penyakit di luar TBC",
kata dr FH Tsai dari Ciba-Geigy. Yang menjual obat tersebut
dengan cara demikian bukan satu perusahaan saja, tapi juga
melibat perusahaan-perusahaan lain yang juga membuat Rifampicin.
Secara resmi Departemen Kesehatan masih belum mau memilih
obat-obat anti-TBC baru, sekalipun obat-obat baru tersebut
menjanjikan masa pengobatan yang lebih pendek. Bisa mencapai
separo dari pengobatan dengan kombinasi obat biasa seperti IHN,
Streptomycin dar PAS. Namun kebijaksanaan ini satu ketika
nampaknya akan diperlonggar juga dengan adanya bantuan yang
diberikan Departemen Kesehatan kepada Ciba-Geigy dalam beberapa
percobaan klinis Ritampicin di Malang. (Percobaan-percobaan
serupa juga dilakukan di Yogyakarta dan Jakarta).
Pengalihan dari obat lama ke obat baru nampaknya memang akan
memberi pengaruh terhadap usaha-usaha pengobatan TBC. Maklumlah
obat baru ini harganya berlipat-ganda mahalnya dibandingkan
dengan obat lama, meskipun dengan jangka pengobatan yang jauh
lebih pendek. Inilah agaknya yang membuat pemerintah belum mau
mengalihkan pilihannya. Apalagi kalau diingat penderita penyakit
ini kebanyakan dari kalangan kurang mampu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini