Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Citra Novia Wiharti, 30 tahun, sibuk bersama ayahnya membuat peti kayu untuk menyimpan mainan anak. Lembaran kayu pinus sebagian telah terpasang menjadi kerangka peti. Sambil menunggu lem kayu merekat, mereka menghaluskan lembaran kayu lain dengan mesin ampelas. “Ini pengalaman baru buat saya. Kalau ayah, pernah bikin meja di rumah,” kata ibu rumah tangga yang tinggal di daerah Buah Batu, Bandung, itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rabu siang lalu, keduanya tengah mengikuti pelatihan di tempat komunitas Brotherwood bersama empat peserta lain. Abdul Kohar, 28 tahun, mengatakan ia datang dari Jakarta untuk belajar cara membuat peti kayu. “Tantangannya adalah belum terbiasa dengan peralatan mesin ini,” ujarnya. Memang, jamak terlihat mata bor terpeleset dari kepala mur yang sedang ditancapkan untuk menyambung dua kayu bersiku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian produk peserta pelatihan sebelumnya tersebar di pinggiran ruangan seluas kira-kira 100 meter persegi itu. Karya-karya tersebut di antaranya rak kayu serbaguna untuk buku dan buah, hiasan dinding, tiang penggantung mantel, juga peti kayu. Komunitas Brotherwood, yang dibentuk enam bulan lalu, lahir dari pelatihan membuat perabot berbahan kayu seperti ini. “Alumnus pelatihan sudah 300-an orang, sebagian datang tiga hingga empat kali,” ujar pendiri komunitas ini, Chairul Novin, 41 tahun.
Setelah sama-sama mengikuti pelatihan dan membuat produk di Brotherwood, ujar lulusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung itu, sekumpulan peserta mengikuti pameran kerajinan bersama, bermitra bisnis, dan kembali mengikuti pelatihan bersama untuk membuat produk kayu lainnya. Menariknya, penggemar seni kerajinan itu mayoritas kaum Hawa. “Sekitar 80 persen pesertanya perempuan. Karena itu, ada nama komunitas baru, yaitu Sisterwood,” kata Chairul.
Para peserta perempuan tersebut sehari-hari adalah ibu rumah tangga, mahasiswi, pengusaha, dan pembuat barang kerajinan. Rentang usianya berkisar 23-50 tahun. Menurut Chairul, Brotherwood membuka kelas pelatihan pembuatan produk kayu secara reguler tiap Selasa dan Rabu pukul 10.00-13.00, Jumat pukul 14.00-17.00, serta Sabtu pukul 10.00-14.00.
Di luar waktu itu, ujarnya, ada kelas pelatihan malam hari. Minimal peserta pelatihan berjumlah lima orang, maksimal 15 orang. Selain produk berbahan kayu, Brotherwood menggelar pelatihan membuat meja dari bahan campuran, seperti besi. Di kelas ini, peserta dilatih pula teknik mengelas logam. Adapun biaya pelatihan berkisar Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu, tergantung jenis produk yang dibuat.
Chairul berujar, pembentukan komunitas itu dimaksudkan sebagai wadah berbagi ilmu seputar dunia pertukangan kayu. Materi yang diajarkan mulai dari pengenalan peralatan mesin, seperti gergaji dan bor, teknik memotong dan memaku kayu, hingga cara menghasilkan produk. Brotherwood juga ingin membuktikan bahwa siapa pun bisa membuat produk kayu. “Kami pun ingin mengubah pola pikir masyarakat dari konsumtif menjadi produktif,” katanya.
Selama ini, kata pengusaha konfeksi pakaian seragam itu, pembuatan produk kayu dianggap sulit, butuh peralatan mahal, dan hanya bisa dilakukan oleh tukang. Padahal, kata Chairul, kreasi produk kayu bisa dimulai cukup dengan gergaji mesin yang bergerak segaris dan melingkar, serta mesin ampelas kayu. Alat selanjutnya bisa dilengkapi, misalnya mesin penembak paku dan bor listrik.
Chairul menuturkan, hampir semua peserta belum pernah memegang peralatan mesin untuk mengolah kayu. Dia sendiri mengaku awalnya mengenal aneka jenis peralatan yang dipakainya dari Internet. Adapun soal penggunaan alat dan pembuatan produk, ia harus belajar ke tukang kayu berpengalaman. “Brotherwood memakai kayu pinus limbah peti kemas sebagai bahan utama karya pelatihan. Selain pengolahannya gampang, harganya murah dan mudah didapat.”
Tempat komunitas Brotherwood dan Sisterwood menyatu dengan lokasi pembuatan aneka produk kayu PT Progresio Indonesia yang dimiliki Chairul sejak dua tahun silam, di Jalan Gudang Utara, Bandung. Ia menyatakan tidak khawatir peserta pelatihan bakal menjadi pesaing perusahaannya. “Karena menjalankan bisnis tidak gampang,” ucap dia. Aktivitas komunitas rencananya akan dikembangkan dengan membuka cabang di Jakarta tahun depan. Pelatihan gratis kepada warga di berbagai permukiman di Bandung pun tengah dirancang dengan bantuan dana dari pemerintah.