Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Beda Nasi dan Rasi, Makanan Pokok Masyarakat Adat Cireundeu

Warga Kampung Adat Cireundeu di Cimahi tak makan nasi, tapi mengkonsumsi rasi. Diklaim lebih menyehatkan.

26 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA Bale Saresehan yang dikelilingi saung-saung bambu di Kampung Adat Cireundeu, Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, ramai pada Selasa, 21 November lalu. Siang itu Abah Widi, 62 tahun, sesepuh kampung adat, tengah menjamu sekitar seratus tamu siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Padalarang, Jawa Barat, bersama guru-guru pendamping mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tiga meja prasmanan, terhidang sayur capcai, ayam bumbu kecap, perkedel, tempe goreng, sambal, serta lalapan daun selada dan irisan timun. Sementara itu, makanan pokoknya merupakan santapan khas kampung adat tersebut: beras singkong atau rasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tempo ikut mencicipi rasi. Rasanya hambar dan teksturnya lembut. Sementara itu, rasa singkongnya antara ada dan tiada. Warna rasi agak kusam dibanding nasi dari beras. Bentuknya berserabut ketika sudah ditanak, seperti nasi putih yang dicampur parutan kelapa.

Saat ini Kampung Adat Cireundeu yang memiliki luas 64 hektare itu dihuni 60 keluarga. Mereka menganut aliran kepercayaan Sunda Wiwitan. Rumah mereka tersebar, bertetangga dengan warga lain, termasuk pendatang. Rumah warga adat juga seperti yang lain, yaitu ditembok, serta memakai listrik, dengan aneka perabot seperti televisi, blender, dan penanak nasi. Mereka mengikuti perkembangan zaman.

Meski begitu, mereka taat menjalani beberapa upacara adat. Misalnya ritual tanam singkong; panen; serta ritual 1, 10, dan 30 Sura yang waktunya berpatokan pada kalender Sunda. Ada pula ritual kelahiran dan keselamatan bayi, pernikahan, serta kematian.

Sebagian besar warga Kampung Adat Cireundeu bertani singkong, yang menjadi bahan utama rasi sebagai makanan pokok. Mereka tak makan nasi beras dan turunan atau olahannya, seperti tepung beras.

Rasi menjadi makanan pokok warga Cireundeu sejak Omah Asnamah menemukan cara pengolahan beras dari singkong pada 1924. Pencarian bahan pokok pengganti beras padi itu berlangsung selama sekitar enam tahun. Beberapa tanaman pernah dia coba, seperti sorgum, ganyong, talas, dan jagung.

Menurut Abah Widi, saat itu sesepuh kampung adat berusaha mencari bahan pangan alternatif karena faktor kondisi tanah berbatu dan banyak lereng serta curah hujan yang kurang mendukung untuk menanam padi.

Selain itu, ada upaya perlawanan terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengharuskan warga menanam padi. “Penjajah mengambil hasil bumi supaya rakyat kelaparan, lemah, sehingga susah berjuang,” ujar Abah Widi.

Singkong yang mereka tanam di ladang yang berada di kawasan kampung adat itu biasa dinamakan karikil. Waktu panen karikil setelah setahun ditanam dengan pertanda antara lain daun singkongnya telah mengering.

Para petani singkong di Cireundeu punya cara tanam sendiri agar setiap hari bisa panen. Setiap hari bisa dipanen sebanyak 200 kilogram atau 2 kuintal singkong untuk diolah menjadi rasi. Abah Widi membutuhkan 0,5 kilogram rasi per hari untuk dua kali makan bersama empat anggota keluarga di rumahnya.

Rasa kenyang dari konsumsi rasi lebih lama dibandingkan dengan nasi dari padi, sehingga masyarakat adat cukup makan dua kali sehari.

Pembuatan rasi diawali dengan mengupas kulit singkong. Kulitnya bisa diolah menjadi bahan masakan seperti dendeng daging dan sayur tumis atau dipakai sebagai pakan ternak. Singkong yang sudah dikupas kemudian dicuci bersih, setelah itu diparut. Parutan singkong lantas dicuci hingga tiga kali sambil disaring dengan kain.

Penyaringan itu harus dilakukan oleh dua orang. Kedua tangan penyaring yang memegang ujung-ujung kain harus digerakkan naik-turun berulang-ulang. Takaran airnya sebanyak enam kali parutan singkong. Misalnya parutan singkong sebanyak satu gayung, maka diperlukan enam gayung air.

Langkah selanjutnya, parutan singkong yang berada di kain diperas dan bersama buangan airnya ditampung di sebuah wadah untuk diolah menjadi tepung aci atau kanji alias tapioka.

Parutan singkong yang telah dicuci kemudian dijemur. Setelah kering, bahan rasi itu ditumbuk atau digiling. Hasilnya kemudian dijemur lagi sampai kering. Sampai di sini, rasi telah terolah dengan bentuk butiran kasar berwarna putih yang tidak seperti bulir beras nan licin.

Dari 100 kilogram singkong bisa dihasilkan 30 kilogram tepung kanji, ampas bahan rasi seberat 15 kilogram, selebihnya kulit singkong. Jika langsung dijual, harga singkong Rp 2.000 per kilogram atau total Rp 200 ribu. Sedangkan jika diolah menjadi tepung kanji seberat 30 kilogram, petani bisa memperoleh Rp 300 ribu. Kualitas aci dari Cireundeu diklaim bagus karena pemerasannya menggunakan kain dan air bersih.

Abah Widi menjelaskan, jika ada warga kampung adat yang bepergian ke luar selama seharian karena menghadiri acara, mereka tetap tidak makan nasi. Mereka akan membawa rasi sebagai bekal. Cara lain, mereka mengganti rasi dengan makanan olahan tepung terigu, seperti mi.

Adapun untuk warga Cireundeu yang menempuh studi di Kota Bandung, rasi secara berkala dikirim lewat kurir. Dengan cara penyimpanan yang baik, seperti tempatnya tidak lembap, kata Abah Widi, rasi bisa bertahan hingga setahun tanpa berubah warna dan rasa.

Menurut Abah Widi, pernah ada penelitian dari instansi pemerintah ihwal kondisi kesehatan warga Kampung Adat Cireundeu yang terbiasa mengkonsumsi rasi. Hasilnya, kadar gula dalam darah mereka rata-rata rendah. “Itu dibuktikan di sini enggak ada penyakit yang aneh-aneh. Cari orang gendut juga susah,” tutur Abah Widi.

Namun Abah Widi tak menepis jika warganya disebut ada yang pernah terkena diabetes. Itu menimpa warga yang memang tidak berdisiplin menjaga pola makan. Menurut dia, pola makan yang diajarkan para leluhur adalah mengambil rasi secukupnya. Kalau kurang tinggal tambah. Jika rasi tidak habis, hal itu akan dianggap tidak menghargai petani.

Guru besar rekayasa hayati di Institut Teknologi Bandung, Robert Manurung, mengatakan singkong di Kampung Adat Cireundeu memang berbeda. Sementara singkong jenis lain biasanya hanya menghasilkan 15-20 kilogram per pohon, singkong di Cireundeu bisa dipanen hingga 200 kilogram dari setiap pohon. “Singkongnya juga mengandung nutrisi yang lebih bagus,” kata Robert kepada Tempo, Rabu, 22 November lalu.

Warga Cireundeu secara turun-temurun juga punya cara untuk menghilangkan kadar kandungan sianida dalam singkong yang diolah menjadi rasi. Dugaannya, menurut Robert, zat beracun itu bisa dihilangkan dari hasil pemanasan dua kali dan mikroba. “Inilah kearifan lokal yang kurang kita perhatikan,” ujarnya.

Singkong juga mempunyai indeks glikemik yang cukup rendah. Indeks glikemik merupakan indikator seberapa cepat makanan berkarbohidrat mempengaruhi kenaikan kadar gula darah dalam tubuh. Makin tinggi angka indeks glikemiknya, makin cepat makanan itu dapat meningkatkan kadar gula darah.

Robert mengatakan, karena singkong memiliki indeks glikemik yang rendah, rasa kenyang akan bertahan lama bila kita mengkonsumsinya lantaran singkong tidak langsung menghasilkan gula. “Itu berkebalikan dengan kalau kita makan nasi,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hikayat Rasi di Kampung Adat Cireundeu"

Anwar Siswadi

Anwar Siswadi

Kontributor Tempo di Bandung

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus