Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Agus Muri, bukan nama sebenarnya, pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah membuat dia tak bisa bebas ke luar rumah. Tiap kali ia pergi ke pusat kesehatan masyarakat untuk berobat, kecemasannya jadi meningkat. Laki-laki 21 tahun yang tinggal di Kota Pekanbaru, Riau, ini pernah ditanyai petugas puskesmas benarkah ia seorang pelaku LGBT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LGBT adalah kependekan lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Kejadian pada April lalu itu masih membekas di pikiran Agus Muri. Apalagi kini spanduk yang berisi penolakan terhadap kelompok LGBT bertebaran di kotanya. Kandidat anggota legislatif menyerukan penolakan ini lewat spanduk dan baliho.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sewaktu ditanyai ihwal orientasi seksualnya di puskesmas itu, Agus Muri tak mengakuinya. Tapi petugas itu curiga karena, menurut dia, gerak-gerik Agus kemayu. “Hal seperti ini menimpa banyak teman yang berpenampilan seperti saya,” kata Agus saat dihubungi pada Kamis, 23 November lalu. Kepada Tempo, Agus mengakui ia biseksual.
Tempo berkeliling Pekanbaru pada akhir September lalu. Spanduk bertulisan ajakan memerangi LGBT dan menghubungkan orientasi seksual mereka dengan HIV/AIDS memang bertebaran di sudut-sudut kota. Spanduk, misalnya, terpasang di depan Puskesmas Harapan Raya dan Simpang Raya. Ada juga yang tergantung di samping halaman Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad di Jalan Diponegoro.
Kain rentang yang menolak LGBT itu bersanding dengan baliho partai politik dan calon anggota legislatif. Agus Muri mengatakan spanduk kecaman terhadap LGBT juga menyebar ke sekolah-sekolah dan kantor pemerintahan.
Ekspresi penolakan ini makin masif karena mantan Gubernur Riau, Syamsuar, pernah menyerukan ancaman berupa sanksi kepada pegawai negeri yang punya orientasi seksual LGBT pada Januari lalu. Dia juga meminta pegawai negeri LGBT bertobat. Syamsuar kini maju sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar dalam Pemilu 2024. Syamsuar tak merespons permintaan konfirmasi hingga Sabtu, 25 November lalu.
Penolakan terhadap LGBT tak sekadar disuarakan lewat baliho. Partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Pekanbaru sedang menggalang dukungan membentuk peraturan daerah anti-LGBT. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru Andi Wijaya menyebutkan para calon legislator menggunakan isu LGBT sebagai materi kampanye untuk menggaet pemilih. “Pola yang sama di tiap pemilu,” ujar Andi.
Kampanye menolak LGBT itu dilakukan oleh hampir semua calon legislator. Namun calon anggota dari Partai Keadilan Sejahtera yang paling getol. Pada periode 2019-2024, Fraksi PKS menjadi penguasa DPRD Pekanbaru dengan delapan kursi. Partai ini mengalahkan Golkar, yang meraih suara terbanyak pada pemilu sebelumnya.
Juru bicara Dewan Pengurus Pusat PKS, Ahmad Mabruri, mengatakan partainya berupaya mencegah penyimpangan perilaku seksual. Namun ia membantah jika PKS disebut menggunakan isu pembuatan aturan anti-LGBT di Pekanbaru untuk menggalang suara. “Rencana pembentukan peraturan daerah tak ada kaitannya dengan elektabilitas partai atau keterpilihan calon legislator,” ucap Mabruri melalui pesan pendek, Jumat, 24 November lalu.
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), lembaga survei, pada Mei 2022 mencatat 49,3 persen responden menyatakan tak setuju dengan kelompok LGBT. Pada 2018, setahun sebelum Pemilu 2019, SMRC juga menggelar sigi yang menemukan data bahwa 87,6 persen responden merasa terancam oleh kehadiran kelompok LGBT.
Karena itu, penolakan terhadap LGBT tak hanya terjadi di Pekanbaru, tapi juga di Medan. Kecaman tersebut merebak setelah Wali Kota Medan Bobby Nasution menegaskan bahwa kotanya bebas homoseksual, biseksual, dan transgender saat merayakan tahun baru 2023. “Kota Medan enggak ada LGBT,” kata politikus PDI Perjuangan dan menantu Presiden Joko Widodo itu.
Pernyataan Bobby membuat komunitas LGBT cemas. Para wadam tak berani muncul dan berjalan-jalan di Medan. Direktur LBH Medan Muhammad Alinafiah Matondang, yang mendampingi para transpuan, mengatakan kelompok minoritas ini harus mengungsi ke rumah aman (safe house) yang disediakan organisasi pembela hak asasi manusia karena khawatir mendapat persekusi.
Menurut Alinafiah, para transpuan merasa diteror oleh aparat penegak hukum. Polisi juga berupaya menjebak para waria dengan rekayasa kasus seperti yang dialami Kamaluddin alias Deca dan Ariyanto alias Fury. Mereka ditangkap di sebuah hotel pada Juni lalu. Polisi lalu meminta keduanya menyediakan Rp 100 juta agar bisa bebas.
Ancaman terhadap LGBT juga menguat seiring dengan rencana Pemerintah Kota dan DPRD Medan menyusun regulasi anti-LGBT. Penyusunan dan pengesahan peraturan itu sedang dikebut menjelang akhir masa jabatan Bobby dan anggota DPRD Medan pada 2024. “Mereka memakai dalil agama untuk membuat aturan yang mengecam kelompok LGBT,” tutur Alinafiah saat dihubungi pada Kamis, 23 November lalu.
Pemerintah Kota Makassar tak ketinggalan. Mereka sedang merancang peraturan daerah yang melarang LGBT. Regulasi itu diusulkan Ketua Komisi Bidang Kesejahteraan Rakyat DPRD Kota Makassar Andi Hadi Ibrahim Baso pada awal tahun ini. Andi Hadi adalah calon anggota legislatif inkumben dari Partai Keadilan Sejahtera.
Rancangan peraturan tersebut telah disetujui mayoritas anggota komisi dan pemerintah kota serta tinggal menunggu pengesahan. “Tinggal menunggu Kementerian Hukum dan HAM,” kata Andi Hadi, yang langsung mematikan teleponnya ketika dimintai konfirmasi mengenai peraturan anti-LGBT pada Jumat, 24 November lalu.
Ketua Komunitas Sehati Makassar Eman Memay Harundja mengatakan narasi kebencian terhadap LGBT menguat sejak peraturan daerah itu disusun. Anggota komunitasnya mengaku acap mendapat teror dari sejumlah orang tak dikenal melalui media sosial dan telepon. “Banyak yang pindah tempat tinggal karena merasa tidak aman,” ujar Eman.
Wakil Direktur LBH Makassar Abdul Azis Dumpa menyebutkan ada empat acara yang dibubarkan aparat penegak hukum karena melibatkan komunitas LGBT. Pada Agustus lalu, aparat keamanan membubarkan acara tokoh spiritual Bugis bissu di Kabupaten Bone karena dianggap melibatkan komunitas LGBT. Sebelumnya, pembubaran acara dilakukan saat peringatan Hari HIV/AIDS di Kota Makassar.
Gangguan-gangguan serupa pernah terjadi di daerah lain, seperti Depok, Jawa Barat. Ketua Arus Pelangi Yulianus Rettoblaut alias Yuli Rustinawati mengingat gangguan itu marak terjadi pada 2019 saat pemilihan umum dan 2021 menjelang pemilihan Wali Kota Depok.
Yuli bercerita, rumah aman bagi kelompok LGBT yang didirikan oleh komunitasnya di Pancoran Mas, Depok, berkali-kali didatangi sejumlah politikus. Mereka berupaya mengusir penghuninya. “Mereka mengatakan Depok harus bersih dari LGBT,” kata Yuli saat dihubungi pada Kamis, 23 November lalu.
Ancaman dan narasi kebencian terhadap kelompok LGBT meresahkan Yuli. Dia mengakui sentimen negatif terhadap komunitas pelangi—simbol yang sering dipakai oleh kelompok LGBT—di kotanya menguat lagi menjelang Pemilu 2024. “Anggota komunitas LGBT harus hati-hati dan menjaga sikap agar tidak dirisak,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Shinta Maharani dan Didit Hariyadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Isu Musiman Menjelang Pemilu"