Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Film 1 Kakak 7 Ponakan tayang di bioskop Indonesia mulai 23 Januari 2025. Karya terbaru dari kolaborasi produksi Mandela Pictures dan Cerita Films ini disutradarai oleh Yandy Laurens, yang dikenal dengan sentuhan emosional dalam setiap karyanya. Apa itu sandwich generation?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita film ini berfokus pada Moko, seorang arsitek muda yang diperankan oleh Chicco Kurniawan, yang tiba-tiba harus mengemban tanggung jawab besar sebagai orang tua tunggal bagi tujuh keponakannya setelah kehilangan kedua kakaknya. Dalam perjalanan hidupnya, film ini turut menggambarkan realitas "sandwich generation," sebuah fenomena yang menggambarkan individu yang harus menanggung beban generasi di atasnya sekaligus mendukung generasi di bawahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Mental Health America, istilah sandwich generation merujuk pada kelompok orang dewasa muda hingga paruh baya yang menghadapi tanggung jawab ganda, yaitu mengasuh anak-anak mereka yang masih kecil sekaligus merawat orang tua yang sudah lanjut usia. Mereka berada di "tengah-tengah," seperti isi sandwich, karena harus memenuhi kebutuhan dua generasi yang berbeda dalam keluarga. Di Amerika Serikat, sekitar seperempat orang dewasa atau 23%, termasuk dalam kategori ini.
Ilustrasi genrasi sandwich. Shutterstock
Sebagian besar anggota sandwich generation berada pada rentang usia 30-an, di mana lebih dari setengahnya memiliki orang tua berusia 65 tahun ke atas dan anak-anak di bawah usia 18 tahun, atau mereka membantu anak-anak dewasa secara finansial dalam setahun terakhir. Tidak hanya terbatas pada kelompok usia ini, fenomena ini juga mencakup berbagai latar belakang gender, ras, dan etnis. Namun, statistik menunjukkan bahwa para ibu, terutama yang berusia 35 hingga 54 tahun, mengalami tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lain.
Dilansir dari American Psychological Association, menjadi bagian dari sandwich generation bisa menjadi pengalaman yang sangat menantang, baik secara emosional, fisik, maupun finansial. Sebagai pengasuh ganda, mereka harus membagi waktu dan energi untuk mengurus anak-anak mereka yang masih membutuhkan perhatian penuh, sambil merawat orang tua yang juga memerlukan pendampingan intensif.
Tantangan utama yang sering dirasakan adalah kurangnya waktu untuk diri sendiri. Dengan begitu banyak tanggung jawab, sulit untuk menemukan kesempatan untuk sekadar beristirahat, menikmati hobi, atau merawat kesehatan mental. Perasaan lelah yang terus-menerus dan tekanan untuk selalu "ada" bagi orang lain sering kali membuat mereka merasa terbebani.
Selain itu, dinamika keluarga sering kali menjadi sumber stres tersendiri. Ketika saudara kandung atau anggota keluarga lainnya memiliki pandangan berbeda tentang cara merawat orang tua, konflik bisa muncul. Perdebatan mengenai tanggung jawab finansial, jadwal perawatan, hingga kenangan masa kecil yang lama terpendam dapat memperburuk hubungan keluarga.
Di sisi lain, peran yang terbalik antara anak dan orang tua juga menimbulkan kompleksitas emosional. Seorang anak yang terbiasa melihat orang tuanya sebagai sosok pelindung kini harus mengambil peran sebagai pengasuh. Hal ini dapat memicu berbagai emosi, mulai dari kesedihan, rasa kehilangan, hingga rasa bersalah karena merasa tidak mampu memberikan yang terbaik.
Realitas Perjuangan dan Cara Menghadapinya
Bagi banyak orang, menjadi bagian dari sandwich generation adalah hasil dari harapan budaya dan keluarga yang sudah mendarah daging. Dalam beberapa budaya, merawat orang tua bukan hanya pilihan, tetapi kewajiban yang tidak dapat dielakkan. Namun, tekanan ini sering kali membuat para pengasuh merasa sendirian, terutama jika lingkungan kerja atau teman-teman mereka tidak memahami tanggung jawab tersebut.
Meskipun menghadapi banyak tekanan, penting bagi anggota sandwich generation untuk tetap menjaga keseimbangan. Salah satu cara adalah dengan mencari dukungan dari anggota keluarga lainnya. Pembagian tugas, baik secara finansial maupun fisik, dapat mengurangi beban yang harus ditanggung sendirian. Selain itu, berbicara dengan seorang profesional seperti psikolog atau mediator keluarga dapat membantu menyelesaikan konflik yang mungkin muncul.
Adinda Jasmine turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: OJK Imbau para Ibu Agar Tak Ciptakan Generasi Sandwich