MAUT memang tak mengenal jabatan, kekayaan, ataupun kemasyhuran. Raja Hussein, yang begitu dicintai rakyat Yordania dan telah berbulan-bulan mengupayakan kesembuhan di Amerika Serikat, pekan lalu menyerah kepada sang maut. Raja meninggal karena sakit kanker kelenjar getah bening.
Padahal, menurut ahli kanker Profesor Dr. A. Haryanto Reksodipuro, tingkat kesembuhan kanker kelenjar getah bening atau biasa disebut limfoma itu bisa sampai 80 persen. "Limfoma termasuk kanker yang paling ganas tapi yang paling bisa disembuhkan dibandingkan dengan kanker lain," kata Kepala Subbagian Hematologi dan Onkologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang juga Wakil Direktur Rumah Sakit Kanker Dharmais itu. Di Indonesia, limfoma termasuk penyakit nomor 6-8 yang paling banyak merenggut nyawa di antara jenis kanker lainnya.
Di AS, penyakit ini menyerang lebih dari 86 ribu orang setiap tahun. Menurut Dr. Julie Vose dari University of Nebraska Medical Center, AS, yang mendalami dan banyak menangani pasien kanker, limfoma termasuk kanker yang perkembangannya nomor dua tercepat di AS. "Secara umum, sekitar 40-50 persen kasus limfoma bisa disembuhkan," kata Vose kepada ABC News.
Sebagaimana pada penyakit kanker lainnya, yang terjadi pada limfoma adalah pertumbuhan sel yang tidak normal. Ini terjadi pada kelenjar getah bening, yaitu kelenjar dalam tubuh, yang berisi sel darah putih, yang dihubungkan dengan saluran yang sejajar dengan pembuluh darah.
Umumnya penderita limfoma diobati dengan kemoterapi. Kalau hasilnya baik, itu bisa diteruskan dengan radiasi setempat atau transplantasi sumsum tulang. Transplantasi biasanya dilakukan pada penderita yang, meski setelah kemoterapi hasilnya baik, risiko kambuhnya tinggi.
Raja Hussein sudah menjalani kemoterapi dan akhirnya menerima cangkok sumsum tulang dari adiknya—yang kemudian gagal. Tidak jelas betul apa yang terjadi padanya. Tapi, menurut Haryanto, ada dua kemungkinan. Pertama, bisa saja responsnya terhadap kemoterapi parsial, lebih dari 50 persen tapi kurang dari 100 persen. Kemungkinan kedua, responsnya sempurna tapi risiko kambuhnya tinggi. Bila seorang pasien memperlihatkan respons seperti ini, ia harus mendapat kemoterapi kedua yang berpuluh kali lipat dari sebelumnya. Setelah itu, seluruh tubuh penderita diradiasi untuk menghilangkan semua sel di dalam tubuhnya, termasuk sel-sel normal, yang lalu diganti dengan yang baru.
Raja Hussein menggantinya dengan sumsum tulang saudaranya, kemungkinan, karena ia tak yakin dengan kondisi sumsumnya. "Kalau dia yakin bersih, akan ia ambil sumsumnya sendiri yang bisa disimpan, diradiasi sempurna, dan diberi kemoterapi berpuluh kali lebih kuat, baru dimasukkan lagi ke sumsum tulangnya," kata Haryanto.
Operasi semacam itu ternyata sudah bisa dilakukan di Indonesia. Setidaknya, tahun lalu, di RS Kanker Dharmais, Jakarta, telah dilakukan dua kali operasi cangkok sumsum tulang. Keduanya berhasil. Menurut Haryanto, metode terbaru pengambilan sumsum tulang dari penderita sendiri pun sudah bisa dilakukan. Caranya dengan menyuntikkan obat-obat tertentu, sehingga sumsum tulang keluar dan masuk ke sirkulasi darah, yang kemudian bisa diambil dengan alat tertentu, dipisahkan, lalu dicangkokkan. Bila cangkok berhasil, sumsum akan tumbuh dalam 1-3 bulan.
Untuk cangkok sumsum yang diambil dari orang lain, risikonya lebih besar. Di sini, faktor kecocokan sangat menentukan. Bila tubuh menolak, sumsum yang dicangkokkan itu justru akan menghancurkan organ lain. Apakah faktor ini yang membuat operasi cangkok pada Raja Hussein gagal, memang tidak diketahui. Yang jelas, sepulang dari klinik Mayo di Rochester, Minnesota, operasinya dinyatakan gagal dan sang Raja dinyatakan mati secara klinis.
Seseorang yang dinyatakan mati secara klinis, menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia, Merdias Almatsier, sebenarnya sudah meninggal karena batang otaknya sudah tak berfungsi lagi. Matinya batang otak itu akan mempengaruhi kondisi organ lainnya. Jadi, seperti yang terjadi pada Raja Hussein, yang masih berfungsi sebenarnya adalah mesin-mesin yang membantunya. Maka, ketika mesin yang "menghidupkan" fungsi organ tubuh itu dicabut, takdir pun tak kuasa ia elakkan lagi.
Gabriel Sugrahetty, Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini