PENANGANAN talasemia di Indonesia menunjukkan langkah maju. Bukan dalam hal pengobatan, tapi pada upaya mengungkap kerusakan gen yang menimbulkan penyakit keturunan ini, dan kalau bisa memperbaikinya. Tim riset dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM dan para ahli biologi molekuler Lembaga Eijkman, selama dua bulan terakhir, berinisiatif ke arah itu. Hasilnya akan ditampilkan dalam konferensi biomolekuler klinis di Perth, Australia, pekan ini. Mereka meneliti lebih jauh jenis kerusakan atau perubahan (mutasi) apa saja yang terjadi pada kromosom pasien -- umumnya kromosom nomor 11 -- yang menyebabkan pasien terkena kelainan darah. Dari 500 pasien di RSCM, sementara ini baru 84 pasien talasemia-beta dan beta/HBE yang diuji dengan menghancurkan 2 ml darahnya, lalu inti sel darah putihnya diproses dalam alat PCR (polimerisation chain reaction). Penelitian darah ini penting untuk memastikan jenis mutasi yang terjadi. Para ahli memperkirakan, seluruhnya ada 100 jenis mutasi yang menyebabkan talasemia. Di Indonesia saja sudah ditemukan 12 jenis -- 9 jenis mutasi ditemukan oleh Lie Injo (1989) dan 3 jenis mutasi oleh ahli biologi molekuler Dr. Abdul Salam M. Sofro dari Universitas Gadjah Mada. Temuan ini amat berharga karena tiap wilayah di dunia memiliki talasemia yang khas. Dan di Indonesia diduga masih banyak jenis mutasi yang belum diketahui. Apalagi, Indonesia merupakan lahan subur talasemia karena secara historis darah penduduk di sini merupakan campuran darah pelbagai suku bangsa. Menurut perkiraan Sofro -- meneliti 36 pasien talasemia di Rumah Sakit Umum Sardjito, Yogyakarta -- sedikitnya ada 4,6 juta orang pembawa sifat talasemia-beta dan 700 ribu pembawa sifat talasemia-alfa. Dalam kata lain, 58% penduduk Indonesia membawa bibit penyakit kelainan darah ini. Dokter Iswari Setianingsih, hematolog dari FKUI/RSCM yang memperkuat tim peneliti FKUI dan Lembaga Eijkman, menyatakan bahwa riset yang dilakukannya masih awal. Lalu, karena dana terbatas Yayasan Thalassaemia Indonesia membantu Rp 107 juta riset yang penting ini dikhawatirkan akan terhambat. Kendati demikian, Iswari yakin bahwa pemeriksaan gen perlu diterapkan pada ibu hamil. Untuk apa? Kalau suami-istri membawa sifat talasemia, minimal 25% kemungkinan bayinya menderita talasemia. ''Bayi dalam kandungan diperiksa gennya. Kalau ternyata mempunyai talasemia, kelahirannya harus dipertimbangkan,'' ujar Iswari. WHO (Badan Kesehatan Dunia) bahkan membolehkan aborsi. Setidaknya di Thailand, pemeriksaan gen pada calon bayi yang diduga berpotensi menyandang talasemia sudah lazim dilakukan. Agaknya, pencegahan lahirnya bayi talasemia kelak bisa merupakan alternatif yang lebih bisa diterima oleh para orang tua. Alternatif inilah yang kini sedang dijajaki. Apalagi, bila diingat, penyandang talasemia menderita sepanjang hidupnya. Bayangkan, bila pasien talasemia ingin bertahan hidup sehat, biaya pengobatannya bisa mencapai Rp 10 juta per tahun. Belum lagi, suatu waktu si pasien harus menjalani operasi pengangkatan limpa yang rusak. Sampai kini, usia penyandang talasemia di sini paling tinggi 30 tahun. Bisa dimaklumi bila Doktor Sofro menyatakan, ''Upaya ideal dalam mencegah talasemia adalah dengan mencegah kelahiran bayi talasemia.''Indrawan dan R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini