PENGADILAN A.M. Hoeta Soehoet, Rektor Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), tampaknya tak mengusik kegiatan di kampusnya, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Sekitar 3.500 mahasiswanya, seperti biasa, mengikuti kegiatan perkuliahan. ''Kebetulan kami tengah menghadapi ujian tengah semester,'' kata Rachmat, seorang mahasiswa, pekan lalu. Bahkan unjuk rasa lima mahasiswa di pengadilan Jakarta Selatan tempat Hoeta Soehoet disidangkan pekan lalu pun tak melibatkan mahasiswa IISIP sendiri. Anggota Komite Anti Pelecehan Seksual itu datang dari luar kampus. Hanya Dhani, yang pernah menjadi mahasiswa IISIP dan kini tak kuliah lagi. ''Kami gugat rektor porno'', ''Pelecehan seksual sama dengan pelecehan HAM'', demikian antara lain bunyi poster yang digelar dan kaos yang mereka bagi-bagikan kepada pengunjung. Memang, sejak 13 November lalu, Hoeta Soehoet diadili di Pengadilan Jakarta Selatan dengan tuduhan melakukan skandal seks dengan dua wanita bawahannya. Menurut tuduhan jaksa sepanjang 13 halaman yang mirip stensilan porno penuh detail itu, Hoeta Soehoet memaksa kepala perpustakaan Hannie Angkie Peggy (1984-1991) dan staf perpustakaan Dyah Bintarini (1987-1991) melakukan serangkaian hubungan intim. Masing-masing, menurut pengakuan kedua saksi itu seperti ditulis dalam tuduhan, diajak bersebadan setidaknya 15 dan 8 kali. Perbuatan itu, menurut jaksa, dilakukan dengan ancaman tak bakal jadi sarjana -- karena keduanya tengah merangkap kuliah untuk menyelesaikan program S-1 atau soal biaya kuliah. Menurut Dyah kepada TEMPO, memang Hoeta Soehoet yang membiayai kuliahnya hingga menjadi sarjana dan dosen IISIP. Kasus skandal seks ini terkuak ke permukaan setelah Rektor Hoeta Soehoet memberhentikan Dyah menyusul beredarnya isu bahwa wanita itu sering melego buku-buku perpustakaan dan ada pengaduan bahwa ia suka mengganggu suami orang lain. Setelah itu, Dyah membalasnya dengan mengadukan kisah skandal seks itu ke Polda Metro Jaya dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. ''Tapi siapa yang percaya?'' kata janda beranak satu ini pada TEMPO. ''Wong habis gituan dia terus melakukan inspeksi keliling kampus beramah-tamah dengan gaya kebapakan.'' Akhirnya, perkara itu memang sampai ke pengadilan dengan terdakwa Hoeta Soehoet. ''Saya ingin memberi pelajaran padanya dan agar hal itu tak terulang pada wanita lain,'' kata Dyah. Baik Dyah maupun Hanie kini tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Hoeta Soehoet sendiri belum bersedia diwawancarai. ''Beliau masih memimpin rapat rutin,'' kata seorang stafnya pada TEMPO di kampus IISIP pekan lalu. Namun, menurut Maruli Simorangkir, penasihat hukumnya, pengungkapan perkara di pengadilan itu tak lain dimaksudkan untuk menggusur Hoeta Soehoet dari kursi rektor. ''Mana mungkin orang setua dia mampu melakukan hubungan seks di perpustakaan,'' kata Maruli. ''Yang masih muda saja kalau ingin melakukan itu membutuhkan konsentrasi penuh.'' Ruang perpustakaan yang disebut sebagai tempat ''main cinta'' itu separuh dindingnya dari kaca yang bisa dilihat dengan jelas dari luar. Maruli menduga, Dyah -- setelah dipecat -- dipengaruhi oleh orang yang ingin menjatuhkan Hoeta Soehoet dengan mengungkap skandal seks itu. Bisa jadi Maruli benar. Sebab, menurut beberapa mahasiswa, sering ada selebaran yang mendiskreditkan Hoeta Soehoet ditaburkan dari jendela kereta Jabotabek yang memintas di depan kampus itu. Sejak pengungkapan skandal oleh kedua karyawan IISIP itu, meledaklah protes di kampus tercinta -- sebutan kompleks IISIP yang megah di Lenteng Agung. Protes yang dimotori 30 dosen dan 20 mahasiswa yang tergabung dalam komite pemulihan nama baik IISIP pertengahan tahun 1992 itu menuntut Yayasan Kampus Tercinta (YKT), yang mengelola IISIP, agar menskors Rektor Hoeta Soehoet dan mengangkat pejabat baru. Jawaban yang didapat dari ketua yayasan, Ilham P. Hoeta Soehoet -- anak rektor itu -- justru para pemrotes yang dipecat. Mereka kemudian mempersoalkan bahwa YKT tak berhak mengelola kampus itu karena belum terdaftar di Kopertis Jakarta. Mereka mengundang SPS dan PWI yang punya andil pada Yayasan Publisistik Indonesia (YPI) sebagai pendiri. Ketika itu, Ketua SPS Zulharmans, Ketua PWI Soegeng Widjaja, dan Jakob Oetama hadir untuk menengahi ketegangan dalam kampus itu. Para pemrotes pun mendesak YPI mengambil alih kepemimpinan IISIP (TEMPO, 1 Agustus 1992). Tapi YPI kemudian tak berbuat apa-apa. Dalam sejarahnya, Yayasan Perguruan Tinggi Djurnalistik tahun 1953 mendirikan Perguruan Tinggi Djurnalistik. Pendirinya 13 orang eks mahasiswa Akademi Wartawan dan seorang wakil dari SPS. Yayasan itu tahun 1960 ganti nama menjadi YPI dengan tetap mengikutkan wakil SPS, dan perguruan diubah namanya menjadi Perguruan Tinggi Publisistik (PTP). Perguruan tinggi yang mengkhususkan diri mendidik calon wartawan itu sejak 1976 membuka program pendidikan sarjana dengan mengubah namanya menjadi Sekolah Tinggi Publisistik (STP). Di bawah Hoeta Soehoet yang menjadi rektor sejak perguruan tinggi itu berdiri, STP berkembang. Tahun 1981, ia berhasil membangun kampus megah dua lantai di Lenteng Agung. IISIP kini mempunyai tiga fakultas: komunikasi, administrasi niaga, dan ilmu sosial dan politik. Lulusannya sebagian besar terjun di dunia perhumasan dan penerangan di instansi pemerintah dan swasta, dan hanya sebagian kecil yang jadi wartawan. Di kampus, Hoeta Soehoet masih tampak kukuh dan menentukan semuanya. Tapi di pengadilan, ia akan ditentukan hakim. Agus Basri, Priyono B. Sumbogo, dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini