Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Sebuah Surga bagi Virus dan Bakteri

Pola hidup orang Asia membuat bakteri dan virus cepat bermutasi, dan itu menjadikan Asia sebagai sentra timbulnya berbagai jenis penyakit baru.

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASIA tak cuma sempoyongan digebrak krisis ekonomi. Benua ini juga digerogoti aneka virus dan bakteri, hingga dituding sebagai sumber bibit penyakit. Beragam virus dan bakteri tumbuh dan berubah sifat (bermutasi) dengan nyaman di wilayah ini. "Semua faktor penyubur bibit penyakit tersedia komplet di Asia," kata James Hughes, Direktur Penyakit Infeksi pada Center for Disease Control (CDC), Atlanta, Amerika Serikat. Memang, kematian penduduk akibat penyakit masih didominasi negara-negara Afrika. Namun, dataran Asia tetap berperan penting sebagai pemicu kemunculan beragam penyakit baru. "Ada banyak bukti bahwa kebanyakan wabah flu bersumber dari Asia," kata Hughes seperti dikutip koran International Herald Tribune, dua pekan lalu. Flu yang berkembang dari Asia bukan hanya bisa menyebar jauh ke seberang lautan, tapi juga bisa sampai menelan jiwa. Hughes menyebutkan, wabah flu Spanyol, yang menelan korban 21 juta jiwa pada 1918, juga berawal dari Asia dan kemudian menyebar ke seantero dunia. Dan kini pun dunia tetap berisiko panen wabah semacam ini bila laju mutasi bibit penyakit tidak direm secara serius di Asia. Sebetulnya, virus dan bakteri ada dan berbiak di seluruh dunia. Kodrat alam pun membuat semua makhluk hidup bermutasi seiring perubahan lingkungan. Namun, beberapa kondisi yang diciptakan manusia telah mempercepat laju perubahan sifat virus dan bakteri itu. Percepatan inilah yang berisiko menghasilkan jenis-jenis penyakit baru yang ganas. Salah satu faktor percepatan mutasi, menurut CDC, adalah pola hidup orang Asia, yang umumnya begitu erat dengan binatang piaraan. Bahkan, pada musim dingin yang bersalju, para petani di Cina tak ragu tinggal seatap bersama hewan ternak seperti sapi, ayam, babi, dan burung. Selain itu, didesak oleh sempitnya areal pertanian, petani Asia kerap menggabungkan beragam jenis ternak dalam satu lokasi. Di Indonesia, misalnya, sudah jamak petani membuat kandang ayam di atas kolam ikan lele atau ikan mas. Masih di seputar areal yang sempit itu, terletak pula kandang sapi, kambing, atau babi. Sementara itu, keluarga petani menempati rumah yang tak jauh dari lokasi peternakan. Keakraban manusia dan hewan inilah yang tanpa disadari mempercepat mutasi virus dan bakteri. Seperti diuraikan Profesor Agus Sjahrurahman, pakar mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, keakraban tadi memungkinkan perkawinan antarspesies. Misalnya, virus pada babi kawin dengan virus yang menginfeksi kambing. Bisa pula bakteri pada ayam kawin dengan kerabatnya yang hidup pada ikan lele. Nah, "Kawin-mawin inilah yang mempercepat mutasi, dan biasanya menghasilkan spesies yang ganas," kata Agus. Selain pola hidup yang kelewat akrab dengan hewan, CDC juga menyoroti penyalahgunaan obat pembasmi bakteri atau antibiotik. Faktor ini diyakini membuat laju mutasi bakteri makin kencang. Selama ini, kawasan Asia memang dikenal sebagai surga peredaran antibiotik. Obat yang sebetulnya masuk "daftar G" itu?tak boleh beredar bebas?bisa dijumpai di kios-kios kecil yang bertebaran sepanjang jalan. Masyarakat pun cenderung mengobati diri sendiri dengan obat-obat yang begitu gampang dijangkau. Ketepatan obat, dosis, dan lama pengobatan hampir selalu diabaikan. Celakanya, penyalahgunaan antibiotik ini juga ditunjang oleh perilaku kalangan medis yang mementingkan sisi bisnis. Sebagian dokter dan rumah sakit bermain mata dengan perusahaan farmasi untuk menjual obat tertentu. Audit rumah sakit di Hong Kong, misalnya, menemukan adanya 40-60 persen resep yang melenceng dari kebutuhan pasien. "Dokter memberi resep berdasar pesanan agen penjual," kata Ho Pak Leung, ahli mikrobiologi dari Universitas Hong Kong. Kedua hal tersebut?budaya mengobati diri sendiri dan resep yang tidak pas kebutuhan?membuat bakteri jadi lebih kebal atau resistan terhadap obat-obatan. Daya tumpas antibiotik menyusut atau bahkan tak mempan sama sekali. Menurut riset, 80 persen bakteri di Hong Kong sudah kebal terhadap penisilin. Padahal, di Amerika Serikat, bakteri yang resistan terhadap penisilin baru sekitar 40 persen. Ini berarti, "Bakteri di Hong Kong adalah yang paling kebal di dunia," kata Leung mengakui. Kemelut yang serupa juga terjadi di Indonesia. Selama ini sering disinyalir dokter dan rumah sakit bermitra dengan pedagang besar farmasi (PBF) untuk memasarkan obat. Biasanya, dokter mendapat komisi hasil penjualan. "Ini bisa merugikan pasien. Sebab, belum tentu obat itu cocok atau yang terbaik bagi pasien," kata Sahri Mahrib, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, kepada Antara, pekan lalu. Tentu saja, "hubungan gelap" antara dokter dan pedagang farmasi tak hanya terjadi di Bengkulu, tapi juga meluas di seluruh Nusantara. Sayangnya, sampai kini belum ada satu pun investigasi yang mengungkap praktek yang merugikan konsumen tersebut. Akibatnya, persentase resep yang tidak bermutu tidak bisa terukur. Petunjuk awal kekebalan bakteri tampak dari hasil riset Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI). Awal tahun lalu, riset PAMKI menyimpulkan, 30 dari ratusan antibiotik yang beredar di negeri ini sudah tidak berfungsi memuaskan. Artinya, jajaran bakteri telah bermutasi sehingga sanggup menangkal khasiat antibiotik. Untunglah, obat antivirus bisa dikatakan masih relatif aman dari ulah para pelaku bisnis obat. Maklumlah, sampai kini harga antivirus tergolong ekstramahal. Selain itu, pengetahuan tentang antivirus masih relatif baru. Penelitian mengenai seluk-beluk antivirus belum terlalu ekspansif seperti halnya antibiotik. Alhasil, "Penggunaan antivirus masih amat selektif," kata Profesor Agus Sjahrurahman. Tapi, meskipun belum muncul penyalahgunaan antivirus, kampanye mengerem mutasi virus dan bakteri tetap layak digeber. Langkah pertama yang disarankah Agus adalah sebisa mungkin memisahkan kandang hewan-hewan ternak. "Jangan dicampur-aduk agar tak terjadi 'kawin-mawin' antarspesies mikroorganisme," kata Agus. Berikutnya, pendidikan dan kesadaran kesehatan di kalangan masyarakat mutlak harus ditingkatkan secara serius. Misalnya, masyarakat perlu tahu bahwa penyakit flu tidak sama dengan influenza. Alasannya, selama ini kerancuan pengertian kedua penyakit tersebut turut mengacaukan cara pengobatan sekaligus mempercepat mutasi virus dan bakteri (lihat Antara Flu dan Influenza). Yang tak kalah penting, kemelut penyalahgunaan antibiotik wajib diperangi tuntas. Benang kusut yang mengaitkan dokter, rumah sakit, produsen, serta pedagang obat perlu dibenahi. Langkah ekstrapenting ini, bila senantiasa diabaikan, bakal membuat Asia sempoyongan dikeroyok berbagai penyakit. Mardiyah Chamim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus