Angka delapan tertera pada pintu kamar berwarna cokelat itu. Sebuah kamar biasa di Biara St. Fransiskus, Jalan Kramat Raya 134, Jakarta Pusat. Di kamar itulah seorang tamu bernama Hieronimus Husni melewatkan dua malam menjelang Natal tahun silam?ketika bom meledak di Jakarta dan kota-kota lainnya. Tamu yang misterius.
Semula, tak ada hal yang mencurigakan padanya. Menenteng tas parasut sederhana warna hijau, Husni datang menemui kepala biara, Bruder Bambang Hasto, O.F.M., pada pagi 22 Desember 2000. Dia mengutarakan niatnya untuk live in?tinggal dan mengamati dari dekat kehidupan dalam biara. Ordo Fransiskan, salah satu ordo tertua dalam naungan Gereja Katolik, biasa menerima tamu semacam itu. Apalagi Husni bisa menunjukkan tanda kelulusannya dari Seminari Menengah Nyarungkop, Kalimantan Barat.
Bambang Hasto memberinya kamar tamu enam meter persegi itu, di lantai dua bangunan biara. Kamar itu dilengkapi sebuah lemari kayu sederhana, tempat tidur besi, dan satu meja tulis kayu. Wastafel dan cermin ada di pojok kiri ruangan. Sedangkan bangku doa dipepetkan dekat kaki tempat tidur. Dari dua jendelanya, penghuni kamar bisa meneropong kehidupan beberapa rumah di seberang ordo: tempat yang cocok untuk merenungkan makna kehidupan religius dan menyepi dari keriuhan duniawi di luar sana. Tapi, alih-alih melewatkan waktu di bangku doa atau bergaul dengan sesama biarawan, anak muda ini langsung menghilang selepas makan pagi keesokan harinya.
Husni baru muncul di biara itu pada pagi 24 Desember. Saat sarapan bersama para penghuni rumah Fransiskan itu ia mengaku terlibat dalam panitia peringatan Natal di Gereja Katedral, Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Tak lupa ia juga mengingatkan ada kemungkinan ancaman bom di Katedral pada malam harinya. "Tapi siapa yang percaya?" ujar salah satu biarawan kepada TEMPO.
Ternyata benar. Rentetan bom mengguncang sejumlah gereja pada malam Natal itu. Dan ketika Hiero kembali ke biara pada 26 Desember pagi, dia kembali berkisah tentang bom yang meledak di lapangan parkir Katedral. Kerapnya Hiero absen dari biara?dari niat semula untuk live in?serta kefasihan dia tentang bom memicu rasa curiga dari sejumlah frater, para calon imam Katolik. Dua anggota biara masuk ke kamar Husni dan membongkar bawaannya.
Apa yang mereka temukan? Sang tamu ternyata menyimpan kartu identitas dobel. Husni ternyata juga memiliki kartu atas nama Khaerullah, beragama Islam, dan berdomisili di Serang, Banten. Kecurigaan bahwa sang tamu terlibat dalam peristiwa peledakan bom di Katedral kian menggumpal dan cepat menyebar.
Romo Sandyawan, anggota Forum Indonesia Damai (FID), tertarik memeriksa dan berbincang dengan sang tamu. Dari percakapan panjang dengan anak muda itu, Sandy menyimpulkan, "Saya curiga ia seorang intel." Alasannya? Pengetahuan Hiero mengenai kualifikasi bom-bom yang meledak di Katedral malam Natal itu amat detail.
Polisi kemudian mengambil alih soal ini. Ketua Tim Investigasi Bom Natal, Brigjen Gorries Mere?kini Wakil Kapolda Nusatenggara Timur?muncul di biara pada 26 Desember malam, ketika Husni atau Khaerullah pergi. Setelah menggeledah isi kamarnya, Gorries berkesimpulan, seperti yang ditirukan Bruder Bambang Hasto, "Orang ini menderita gangguan jiwa." Anehnya, tiga anak buah Gorries tetap datang menjemput sang tamu dari biara keesokan petangnya.
Dan kini kecurigaan beralih ke polisi. Husni atau Khaerullah lenyap seperti ditelan bumi, sementara polisi tak memiliki laporan memadai tentangnya. Kapten Hukom, salah satu dari polisi penjemput, memastikan bahwa tamu biara itu telah dibawanya ke Polda Metro Jaya. Lantas apa hasil pemeriksaannya? "Wah, bukan saya yang memeriksa," kata siswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta itu kepada TEMPO. "Tugas saya cuma disuruh bantu sana-sini oleh Pak Gorries."
Kepala Satuan Reserse Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Polisi Tito Karnavian, mengatakan Husni atau Khaerullah sudah dilepaskan polisi pada 30 Januari 2001. Alasannya? "Penyelidikan itu buntu," katanya.
Penghuni biara Fransiskan dan Romo Sandy tetap curiga, sang tamu adalah intel polisi atau militer. Mereka punya alasan kuat untuk curiga. Kenapa Gorries Mere buru-buru menyimpulkan tamu misterius itu gila, sementara toh tetap menjemputnya ke markas polisi yang kemudian menghilangkannya? Jika benar gila, kenapa anak muda itu memiliki surat jalan dari aparat kepolisian daerah Nyarungkop, Kalimantan Barat, seperti ditunjukkannya kepada kepala biara?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini