Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rendang merupakan salah satu kuliner khas Indonesia yang telah dikenal luas di berbagai belahan dunia. Makanan ini berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, dan telah menjadi bagian penting dari budaya serta identitas masyarakat Minang. Namun, ketenarannya tidak hanya terbatas di Indonesia.
Negara-negara dengan etnik Melayu seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand juga mengenal rendang, meskipun secara filosofis makanan ini lebih erat kaitannya dengan budaya Minangkabau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rendang sebagai Budaya Minangkabau
Bagi masyarakat Minangkabau, rendang bukan sekadar makanan, tetapi juga manifestasi dari tatanan sosial dan politik. Proses memasak rendang memiliki makna simbolik yang menggambarkan bagaimana masyarakat Minangkabau menjalani kehidupan bermasyarakat dan berpolitik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahan utama rendang terdiri dari empat elemen penting, yaitu daging sapi (daging), cabai (lado), kelapa (karambia), dan bumbu lainnya (pemasak). Masing-masing bahan ini melambangkan kelompok sosial dalam masyarakat Minangkabau:
- Daging (Dagiang): Melambangkan Niniak Mamak atau pemimpin suku yang bertugas mengayomi masyarakat.
- Cabai (Lado): Melambangkan alim ulama yang memberikan pedoman agama kepada masyarakat.
- Kelapa (Karambia): Melambangkan kaum cendekiawan atau cadiak pandai yang memberikan ilmu dan kebijaksanaan.
- Bumbu lainnya (Pemasak): Melambangkan masyarakat umum yang menjadi bagian dari kehidupan sosial.
Filosofi dalam Proses Memasak Rendang
Dilansir dari artikel Rendang Manifestasi Simbolik Tatanan Sosial dan Politik Minangkabau, proses memasak rendang juga memiliki makna simbolik dalam kehidupan politik masyarakat Minangkabau.
Secara tradisional, rendang dimasak dalam wajan besar yang diletakkan di atas tungku segitiga yang terbuat dari batu atau besi. Kayu bakar diletakkan bersilang agar api tetap menyala dengan stabil, melambangkan prinsip adat Minangkabau, yaitu Tungku Tigo Sajarangan atau Tali Tigo Sapilin.
Prinsip ini mengacu pada tiga unsur penting dalam sistem pemerintahan adat Minangkabau, yaitu:
- Niniak Mamak (pemimpin adat): Bahan utama dalam memasak rendang adalah daging. Dalam adat Minangkabau, daging atau dagiang melambangkan niniak mamak, datuak, atau pangulu.
- Cadiak Pandai (pemimpin intelektual): Bahan utama kedua dalam memasak rendang adalah kelapa atau karambia melambangkan kaum cadiak pandai atau orang cerdas.
- Alim Ulama (pemimpin agama): Bahan ketiga adalah cabai atau lado yang melambangkan alim ulama yang dianggap tegas dan pedas dalam mengajarkan agama.
Ketiga unsur ini bekerja sama dalam mengambil keputusan yang berlandaskan musyawarah dan mufakat demi kesejahteraan masyarakat.
Perkembangan Rendang dalam Sejarah
Sebelum Islam masuk ke Minangkabau, sistem adat mereka berlandaskan pada norma alam yang disebut alam takambang jadi guru. Setelah Islam menyebar luas di Minangkabau, norma adat mengalami penyesuaian dengan ajaran agama Islam yang dirangkum dalam pepatah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (adat bersumber dari agama Islam, dan Islam bersumber dari Al-Qur'an). Dalam konteks ini, rendang menjadi salah satu bentuk implementasi masyarakat Minangkabau terhadap ajaran Islam, di mana dalam pembuatannya harus memperhatikan aspek kehalalan dan kebersihan.
Rendang di Kancah Dunia
Kelezatan rendang telah membuatnya mendunia. Pada tahun 2011, CNN Travel menobatkan rendang sebagai makanan terenak di dunia dalam daftar "World’s 50 Best Foods." Popularitas rendang terus meningkat hingga kini, dan banyak restoran di luar negeri yang menjadikannya sebagai menu utama untuk memperkenalkan masakan Indonesia kepada masyarakat internasional.
Seiring perkembangan zaman, rendang juga mengalami variasi. Selain rendang daging sapi yang paling populer, terdapat juga rendang ayam, rendang telur, rendang paru, hingga rendang jamur yang lebih modern. Namun, prinsip dasar dalam memasak rendang tetap mempertahankan nilai budaya dan filosofi yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Pilihan editor: Festival Budaya Minang Pertama Digelar di Belanda