Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Sri di sisi gelap bedah plastik

Jenazah ny. sri sulastri digali lagi untuk diotopsi. ada indikasi penyebab kematiannya akibat operasi pemerataan kulit perut di klinik asih trisna. klinik tersebut akan dijatuhi sanksi administratif.

21 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH berduka karena kepergian sang ibu yang mendadak. dan diguncang rasa malu lantaran bermacam pemberitaan yang simpang siur, keluarga Subandi masih harus menghadapi cobaan berat. Di Pemakaman Umum Cilandak, tangis mereka tertahan Sabtu pekan lalu. Dari kejauhan mereka melihat jenazah Almarhumah dikeluarkan dari gundukan tanah yang belum lagi padat. Terpaksa. Itulah satu-satunya jalan untuk mengungkapkan penyebab kematian sang ibu, Ny. Sri Sulastri Subandi, yang meninggal di Jakarta 4 Februari 1987, diduga kuat akibat bedah plastik pada Klinik Asih Trisna, Jakarta. Pembongkaran makam berlangsung diam dan singkat. Tim Polda Metro Jaya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam. Kcadaan jenazah belum rusak, kain kafan berwarna putih tampak masih utuh. Lalu dengan ambulans, jenazah dilarikan ke RS Cipto Mangunkusumo tempat otopsi akan dilakukan. Subandi dan keenam anaknya pulang. Tak seorang pun berniat memasuki ruang bedah mayat RSCM. Hanya kesadaran akan pentingnya otopsi membuat Subandi, yang kebetulan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengizinkan pembongkaran kubur istrinya. Izin itu memang ditunggu banyak kalangan. Khususnya para hakim, rekan Subandi di lingkungan PN Jakarta Pusat yang secara resmi -- sebagai anggota masyarakat melaporkan kemungkinan malapraktek, penyebab kematian itu, kepada Polda Metro Jaya. Atas dasar ini pihak polisi merencanakan otopsi. Pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga menunggu pemeriksaan dengan harapan semua persoalan -- yang cukup menghebohkan -- menjadi jelas. Ketua Umum PB IDI, dr. Kartono Mohamad berulang kali mengimbau agar pemeriksaan itu dilakukan secepatnya. "Dengan kondisi tanah di Indonesia, teoretis jenazah hanya bisa bertahan dua minggu," katanya, "Kalau menunggu terlampau lama, saya khawatir otopsi tak akan membantu banyak." Kondisi jenazah Ny. Sri Sulastri ternyata masih baik. Dilihat dari luar, kulit tubuh masih belum menunjukkan tanda-tanda mengelupas. Kerusakan menurut tim dokter ditemukan hanya di sebagian kulit kepala dan perut. Toh tim dokter belum berani memperkirakan hasil pemeriksaan. Beberapa bagian dalam tubuh, seperti paru-paru dan lambung, yang penting dalam penyelidikan -- di samping bagian-bagian yang dioperasi -- belum diketahui keadaannya. Hasil otopsi -- andai kata bisa dengan baik dilakukan -- akan memberi petunjuk tentang sebab kematian Ny. Sri Sulastri yang sebenarnya. Sejauh ini berbagai dugaan muncul karena laporan yang diutarakan tim dokter Klinik Asih Trisna tampaknya meragukan. Tim yang dipimpin ahli bedah dr. Kartadinata berargumentasi, penyebab kematian Ny. Sri adalah pendarahan lambung akibat stres sesudah operasi. Pendarahan ini terjadi karena timbul kelainan pada lapisan lendir lambung yang menimbulkan luka (ulcer). Logikanya, luka terjadi karena meningkatnya asam lambung akibat pasien mengalami stres. Yang mengganggu pada keterangan ini, pendarahan ulcer stress secara mendadak biasanya terjadi bila pasien mengalami shock seperti pada korban luka bakar. Di samping itu, ulcer stress adalah kasus aman dalam menghadapi malapraktek. Sindrom ini belum bisa dipastikan penyebabnya, dan termasuk sulit penegakan diagnosanya. Menghadapi hal ini dokter sering kali sulit disalahkan. Sementara itu, adanya gangguan paru-paru sebelum operasi -- yang menandakan kelemahan organ penting itu -- menurut para ahli bedah plastik, lebih kuat menunjukkan hubungan kematian dengan operasi. Dalam sebuah penelitian dua ahli Amerika menemukan bedah plastik Abdominaplasty atau perataan kulit perut dan pembuangan lemak (suction lipectomy) -- yang dijalani Ny. Sri Sulastri -- bisa menimbulkan penyumbatan pembuluh-pembuluh halus di bagian tepi paru-paru (pulmonary embolisma). Penelitian yang dilaporkan pada jurnal kedokteran Plastic and Reconstruction Surgery menunjukkan 6 dari 17 kematian akibat kedua operasi plastik itu terjadi akibat penyumbatan pembuluh paru-paru. Menurut ahli bedah plastik RSPAD dr. Soemintha B. Djaya penyumbatan ini terjadi akibat sebagian lemak yang tidak terambil pada pembedahan, lalu masuk ke pembuluh-pembuluh darah yang terbuka, dan melalui aliran darah kemudian terbawa ke paru-paru. "Maka, dokter seharusnya memperhitungkan risiko-risiko semacam ini sebelum melakukan operasi," ujar Soemintha. Pada pasien yang tidak mempunyai indikasi gangguan paru-paru saja, pulmonary embolisme ini mungkin terjadi. Apalagi bila tampak ada kelainan pada paru-paru seperti yang dialami Ny. Sulastri. "Ya, itu semua bergantung pada seberapa jauh pengetahuan dokternya tentang risiko," katanya lagi. Malapetaka Ny. Sri berawal pada konsultasinya ke dokter ahli yang tidak tepat. Keluhan yang dideritanya bertahun-tahun sebenarnya tak punya hubungan langsung dengan bedah plastik apalagi bedah kosmetik. Yang diderita Almarhumah ialah kerusakan lubang faraj (vagina) akibat persalinan, karena koyakan yang terjadi tidak dijahit dengan benar. Subandi, suaminya, mengisahkan bagaimana Sri sering mengeluh, isi perutnya seperti mau keluar bila buang air. Untuk keluhan ini ia harusnya datang ke ahli ginekologi. Namun, Sri "tersesat" di klinik bedah kosmetik. Mulanya, ibu itu mengantarkan seorang kenalan dari Palembang yang menjalani bedah kosmetik di Klinik Asih Trisna. Di sana ia berkenalan dengan dr. Tresiaty Pohe -- dan ibu enam anak berusia 57 tahun itu terkesan. Keluhannya pun -- entah bagaimana -- dihubungkan dengan operasi plastik pengecilan lubang faraj (vaginoplasty) dan kemudian malah juga dengan pembuangan lemak dan perataan kulit perut yang katanya bisa dilakukan sekaligus. Sri tentu tidak tahu, rentetan operasi itu bagi wanita seusia dia mengandung risiko amat besar. Ibu itu barangkali juga tidak tahu yang diperlukannya sebenarnya hanya jahitan di bagian luar faraj, bukan pembongkaran sampai ke dalam. Mungkin juga Ny. Sri korban gunjingan serba-serbi salon kecantikan. Di salon-salon itu informasi tentang bedah kosmetik menyebar secara berlebihan dan memancing berbagai khayalan untuk menjadi cantik. Entah mana yang duluan, pada kenyataannya klinik bedah kosmetik, baik yang resmi maupun gelap, muncul sama subur dengan gunjingannya. Sejumlah salon dengan berani menawarkan operasi kosmetik gelap -- yang dilakukan ahli kecantikan, bukan dokter. Sejumlah dokter yang tidak cukup kuat memegang kode etik tergoda pula melakukan bedah kosmetik tanpa keahlian yang sesungguhnya diperlukan. Supply dan demand pun bertemu lewat bermacam muslihat dan promosi. Sementara itu, tanggung jawab medis, yang sebenarnya tak bisa diabaikan, menjadi pasal kedua. Lagi pula, kalau ada kegagalan yang mungkin saja terjadi -- hampir bisa dipastikan tidak ada yang berani mengajukan keberatan. Malunya itu, bah. Bisnis bedah kosmetik tak dapat tidak pasti menjanjikan tambang emas. Karena itu, penanaman modal pun semakin berani dalam mendirikan klinik atau untuk mendatangkan peralatan bedah plastik mutakhir. Asih Trisna, salah satu contohnya. Menurut sebuah sumber yang layak dipercaya, klinik yang menelan investasi hampir Rp 1 milyar ini mendapat izin operasi akhir 1985. Namun, karena persengketaan saham, baru bisa berjalan Januari 1986. Sarana pengobatan yang disebutkan "praktek bersama " itu terdaftar sebagai klinik spesialis yang meliputi bidang kesehatan anak, kandungan THT, radiologi, bedah tumor, penyakit dalam, pengobatan gigi, dan akupungtur. Dibangun di atas tanah seluas 1.400 m2, di klinik itu berpraktek 10 orang dokter, dibantu sekitar 20 orang perawat. Namun, sudah menjadi rahasla umum, kegiatan utama klinik yang terletak di kawasan perumahan mewah Pluit, Jakarta Utara, itu adalah bedah plastik, khususnya bedah kosmetik. Dokter-dokter yang dikenal di sana: Tresiaty Pohe mengaku belajar bedah plastik di Prancis (1974-1976) dan di Brasil, sejak 1983 dan kini masih dalam tingkat menyelesaikan skripsi dr. Peter Hasan, menurut sebuah sumber, mendapat pengetahuan bedah kosmetik hanya melalui workshop singkat di Jepang. Resminya kedua dokter ini tercatat sebagai dokter umum. Yang membangun kesan buruk, banyak operasi di klinik itu diatasnamakan dokter lain. Seperti dalam kasus Ny. Sri, Vaginoplasty yang disebutkan sebagai kolporaphia posterior dan perineoraphia tercatat dilakukan oleh dr. Hasnah Siregar, sementara suction lipectomy dilakukan oleh dr. Kartadinata. Padahal, Subandi yang beberapa kali mengantar istrinya ke klinik itu tak pernah melihat kedua dokter yang namanya tercantum sebagai penanggung jawab atas pembedahan istrinya. Subandi baru bertemu dengan dr. Kartadinata di RS Husada ketika istrinya berada dalam keadaan gawat sejam sebelum meninggal -- itu pun Subandi menduga-duga. Bisakah klinik penuh liku macam ini dipercaya? Sehubungan dengan kasus Ny. Sulastri dr. Kartadinata yang ahli bedah disidangkan di lingkungan ahli bedah. Seberapa jauh dokter itu terlibat? Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Bedah Indonesia (Ikabi) dr. Chehab Rukni, hasil penyidangan sudah dilaporkan ke Dewan Pertimbangan Ahli Bedah Indonesia. Sanksi terberat. Pencabutan gelar kesarjanaan. Kendati demikian, Asih Trisna bukan tidak punya kisah sukses. Ada pasien yang puas dengan perawatan klinik itu. Ia Rendy Ratulangi, 19. Anak Ir. R.F.C. Ratulangi yang bermukim di Bandung ini menderita beberapa cacat bawaan: tidak memiliki dagu, posisi bibir atas dan bawah tidak sejajar, kedudukan rahang tidak tepat, dan pipi melekuk ke dalam. Januari lalu dua kelainan Rendy ditangani dr. Tresiaty Pohe. Bibir atasnya dioperasi, sementara dagunya diganjal silikon. Rendy puas dan sampai kini tak mempunyai keluhan apa-apa. Bersama ibunya, Ny. Trix Ratulangi, ia menyesalkan pemberitaan yang menyudutkan dr.Tresiaty. "Dokter itu sangat baik dan teliti menangani pembedahan muka saya," ujar Rendy. Bagaimanapun berhasilnya Tresiaty, ia tak bisa menghindar dari kesalahan telah melakukan operasi kosmetik tanpa ijazah yang sah. Kalaupun ia memegang ijazah luar negeri, seharusnya ia menjalani adaptasi terlebih dahulu di Indonesia, sebelum melakukan praktek -- ini ketetapan yang diterapkan di negara mana pun. Usaha adaptasi tampak tak ada, karena nama dokter itu tidak terdaftar di fakultas kedokteran mana pun yang berwenang memberi pengesahan itu. Karena itu, Klinik Asih Trisna dalam waktu dekat akan dijatuhi sanksi administratif dengan hukuman terberat: ditutup. Prosedur menjalani adaptasi di bidang bedah memang tidak mudah. Menurut dr. Johansyah, Ketua Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Indonesia (Perapi), ahli bedah plastik yang diakui di Indonesia adalah mereka yang sudah menjalani superspesialisasi. "Keahlian ini didapat sesudah keahlian bedah umum dicapai," katanya. Sejauh ini, bedah plastik masih dirintis perkembangannya di Indonesia. Pendidikannya di banyak fakultas kedokteran masih sampai tingkat program studi. Sebagian besar anggota Perapi pun mendapat keahliannya di luar negeri. "Jumlah anggota Perapi di seluruh Indonesia baru 20 orang, ujar Johansyah, yang mendapat keahlian bedah plastiknya di Negeri Belanda, "dan nama Tresiaty yang bikin heboh tidak ada pada keanggotaan Perapi." Menurut Johansyah, justru karena sedikitnya jumlah ahli bedah plastik, banyak oportunis menyulap diri menjadi ahli bedah plastik untuk mencari keuntungan "Jangan tanya tanggung jawabnya," kata ahli bedah plastik yang bersama tiga rekannya membuka klinik bedah plastik di bilangan Raya Darmo Surabaya. Ia mengutarakan, banyak korban ahli gadungan datang padanya. Kadang-kadang sudah dalam keadaan kasip, seperti yang menimpa Ny. Poppy Lisan di tahun 1985. Ibu ini datang padanya dengan kelopak mata yang berantakan. Akibat operasi garis mata di salon kecantikan, sebelah mata Ny. Poppy jadi melotot sementara yang lain justru mengecil. Johansyah tak bisa menolong karena serat mata ibu itu telah rusak. Akibatnya? Ny. Poppy putus asa dan akhirnya bunuh diri di rumahnya di Kampung Tambak Windu, Surabaya. Kasus Ny. Sri Sulastri sedikit banyak mengangkat kegawatan dunia bedah kosmetik ke permukaan -- kegawatan yang mungkin sudah berlangsung lama. Entah berapa banyak korban jatuh, akibat sikap tak bertanggung jawab yang hanya digerakkan nafsu mencari uang secara cepat dan banyak. Sungguh menyedihkan bila dokter terlibat dalam praktek tak terpuji ini. Karena itu Menteri Kesehatan Soewardjono Surjaningrat pekan lalu mengecam dokter yang bersikap terlalu komersial. Dengan nada keras ia menyebut mereka sakit jiwa dan rakus harta. Ini, menurut Menteri, pangkal malapraktek. Sementara itu, Kartono Mohamad mengimbau agar masyarakat berhati-hati menghadapi tawaran bedah kosmetik. Menurut Ketua Umum IDI yang juga pemimpin redaksi jurnal kedokteran Medika itu, ada beberapa teknik bedah plastik yang sekilas tampak sederhana, cuma menyayat ... sreet. "Tapi yang sederhana itu tidak memperhitungkan dampak samping dan risiko," katanya, "dan justru risiko itulah yang mengandung bahaya." Jim Supangkat, Laporan Agus Sigit, Ahmed Soeriawidjaja (Jakarta) & Masduki Bd. (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus