MARY Beth Whitehead, 29, boleh memeluk Sarah sepuas hati. Sejak dua pekan lalu, pengadilan New Jersey sudah memutuskan dialah ibu atas seorang bayi wanita yang akhir bulan ini genap berusia setahun. Mary sungguh beruntung. Perjuangannya tidak sia-sia, kendati untuk itu ia sempat mendekam dalam tahanan sementara. Kejadian ini agaknya pertama kali terjadi. Seorang, yang sebenarnya cuma menyewakan rahimnya untuk pasangan yang tak mampu punya anak dengan mengandung sendiri, tak mau menyerahkan bayi yang bukan benihnya itu. Di balik keberuntungannya itu, keputusan hakim itu tampaknya akan menjadi yuris prudensi dalam tata hukum Amerika bagi kasus-kasus serupa di masa mendatang. Sebenarnya, kasus ini tidak perlu terjadi jika sebelumnya istri pegawai dinas kebersihan kota itu tidak tergiur dengan iming-iming hadiah US$ 10.000. Adalah keluarga William dan Elizabeth Stern yang menawarkan uang tersebut bagi siapa saja yang bersedia menyewakan rahimnya sebagai tempat pembuahan calon anak mereka. Mary berharap uang tadi bisa mengubah kehidupannya. Karena itu, ia merasa senang terpilih dari 300 calon. William, ahli biokimia, dan Elizabeth, dokter anak, memasang persyaratan yang cukup berat bagi para calon. Mereka terpaksa mencoret sebagian kandidat karena terbukti peminum, perokok, bahkan pecandu ganja. Setelah kontrak ditandatangani, seperti biasa, proses bayi tabung berjalan sampai dengan penanaman embrio keturunan suami-istri itu di rahim Mary. Namun, ketika Maret tahun lalu si kecil ahir, segalanya berubah. Mary, ibu dua anak itu, menginginkan bayi tersebut dan menolak uang yang telah disediakan baginya. Sekalipun ia terikat perjanjian dengan keluarga Stern. Apa yang terjadi berikutnya adalah pertarungan memperebutkan si kecil yang tak berdosa itu. Kedua belah pihak merasa berhak. Bisa dibayangkan bahwa keputusan hakim sangat memukul keluarga Stern. Di satu pihak mereka menginginkan seorang anak dari benih mereka sendiri. SULITNYA, di Amerika sendiri tak ada ketentuan yang bisa melindungi pasangan suami-istri seperti Stern. Sebaliknya, di negara yang mendasarkan dirinya pada hukum Anglo-Saxon itu, tidak terdapat pula aturan yang melarang praktek-praktek "penitipan bayi". Bagi Gereja Katolik, praktek "penitipan bayi", pembuahan bayi tabung, haram hukumnya -- sama halnya dengan keluarga berencana dan abortus. Dalam bahasa lain, perbuatan tersebut bisa dikategorikan zina (lihat Agama). Kendati demikian, bisa dimengerti jika hakim memenangkan pihak Mary. Bagaimanapun juga, hak atas seorang anak diwakili oleh lembaga perkawinan sepasang insan manusia. Maka, anak yang lahir kemudian dengan cara apa pun -- adalah milik institusi terebut. Sementara itu, pekan silam, pengadilan di London bisa menyelesaikan kebingungan serupa dengan jalan damai. Kasusnya: seorang wanita menyewakan rahimnya kepada pasangan yang tak bisa mempunyai anak, dengan imbalan 1.000. Berbeda dengan kasus bayi Stern, yang melalui proses bayi tabung biasa, yang di London itu dengan diketahui istrinya yang memang tak bisa mengandung, sang suami mengirimkan benihnya sendiri melalui hubungan seks langsung dengan wanita yang menyewakan rahimnya itu. Walhasil, sembilan bulan kemudian, lahirlah bayi hasil hubungan badan ini. Namun, masalah baru muncul. Sejak 195, ketentuan hukum di Inggris secara tegas meniadakan kemungkinan peminjaman rahim orang lain. Artinya, status anak yang dilahirkan adalah milik ibunya. Lalu, bagaimanakah pasangan itu bisa memiliki sang bayi? Ternyata, hakim di pengadilan London memutuskan bayi itu bisa menjadi milik suami-istri itu dengan jalan adopsi. Proses itu berjalan lancar, karena wanita yang menyewakan rahimnya itu tidak mengajukan tuntutan apa pun terhadap bayi yang dilahirkannya. Tetapi tentu keputusan pengadilan London bisa saja berubah, jika ia bersikap seperti Mary. Apalagi dalam bayi itu masih ada darah dagingnya. James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini