Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hasyim Wahid, adik dari almarhum Presiden keempat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, wafat di usia 67 tahun, pada Sabtu, 1 Agustus 2020. Keponakannya, Irfan Wahid, mengatakan bahwa pamannya sakit komplikasi ginjal. “Sudah dua minggu lebih di rumah sakit,” kata Irfan kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasyim Wahid atau akrab disapa Gus Im merupakan cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama, Hasyim Asy’ari. Ia merupakan adik dari Gus Dur dan Salahuddin Wahid atau Gus Sholah. Gus Im pernah berkarier di bidang pemerintahan pada era Presiden Gus Dur. Ia pernah menjadi konsultan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang kerap menghadapi debitur bandel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan laporan Majalah Tempo, ayah tiga anak ini dikenal menyempal dari tradisi keluarga Wahid: masuk pesantren dan menjadi kiai. “Saya ini semacam preman. Dan, yang jelas, lebih sinting dari Gus Dur,” katanya.
Bermula dari hobi ngumpul bersama sejumlah pemusik rock, lama-lama Gus Im—sebutan akrab Hasyim Wahid—membikin terobosan nyleneh: membaca puisi politik gaya metal. Berlangsung di Taman Ismail Marzuki (TIM) akhis Agustus 2005, acara itu mengiringi peluncuran buku puisinya yang berjudul Bunglon.
Puisi yang berisi kritik sosial politik itu dibacakan Ombat H. Nasution, vokalis metal senior, dengan teknik menggeram-geram serta diiringi besutan gitar elektrik kelompok rock progresif Discus yang melengking-lengking. ”Inspirasi ini sudah lama,” kata Gus Im kepada Tempo September 2005.
Ide ”puisi metal” ini lahir setelah adik dia mendirikan komunitas Indonesian Progressive Rock pada 1999. Gus Im adalah penggemar Jimi Hendrix sampai Metallica. Dari sinilah muncul pikiran ”nakal”nya untuk memadu puisi dan rock sebagai parodi kepada penguasa. Kawan-kawannya sepakat. Jadilah aksi panggung yang unik di TIM saat itu.
Kiai nyentrik ini juga membuat musikalisasi puisi para penyair nasional dalam bahasa Inggris untuk dibawa ke dapur rekaman dunia. ”Tak akan lebih dari dua tahun rekaman ini sudah jadi,” ujarnya optimistis. Dalam satu puisinya, dia mengutip sebait lirik Purple Haze, lagu Jimi Hendrix, yang dinyanyikan si jawara di Woodstock pada 1969 sebagai protes: Permisi! Biarkan aku mencium Langit!
MAJALAH TEMPO