Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sulitnya LGBT Mendapatkan Layanan Kesehatan di Masa Covid-19

Diskriminasi terhadap orang LGBT makin menjadi-jadi pada masa pandemi Covid-19. Penelitian Diego Garcia Rodriguez, pengajar ilmu kesehatan global di Brighton and Sussex Medical School, University of Sussex, Inggris, mendapati para orang LGBT kesulitan mendapatkan layanan kesehatan.

8 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para individu lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, dan queer (LGBTIQ+) di Indonesia terpengaruh diskriminasi dan intoleransi berlapis selama masa pandemi Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penderitaan mereka bertambah karena kesulitan mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), kehilangan pekerjaan, atau berpenghasilan lebih rendah dari sebelum krisis. Mereka juga menghadapi kesulitan mendapatkan hak perawatan kesehatan yang sama yang dinikmati oleh penduduk lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penelitian kualitatif saya, yang dilakukan pada awal 2022 dan baru-baru ini dipublikasikan, menunjukkan bahwa orang-orang LGBT+ di Indonesia pernah mengalami hambatan signifikan untuk mengakses layanan kesehatan, obat-obatan, dan vaksinasi Covid-19 selama masa pandemi.

Studi saya melibatkan empat sesi analisis domain budaya (CDA) dengan pakar kesehatan Indonesia dan aktivis LGBT+. CDA adalah metode berdasarkan eksplorasi bagaimana orang memikirkan daftar hal-hal yang terkait satu sama lain (seperti tantangan dan fasilitator yang mempengaruhi akses layanan kesehatan). Selain itu, saya memfasilitasi diskusi kelompok fokus (FGD) dengan peserta yang sama dan tambahan partisipan lainnya.

Akses ke Layanan Kesehatan

Penelitian saya tersebut menemukan bagaimana pandemi menyebabkan ruang perawatan kesehatan yang aman, yang menargetkan individu LGBT+, menghentikan sementara layanan mereka atau menghilang sepenuhnya.

Selain itu, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh pemerintah Indonesia membatasi mobilitas warga negara, yang mempersulit minoritas gender dan seksual untuk mengakses layanan kesehatan di tengah pembatasan mobilitas.

Klinik kesehatan masyarakat yang dikenal sebagai puskesmas kewalahan dengan jumlah pasien, yang mengganggu layanan pemeriksaan penyakit infeksi menular seksual (IMS). Beberapa klinik ini, yang menawarkan pemeriksaan IMS gratis sebelum masa Covid, berhenti melakukannya dan meminta pasien menemui dokter hanya jika mereka menunjukkan gejala.

Petugas tenaga kesehatan melakukan screening dengan tes cepat HIV AIDS kepada warga di Gasibu, Bandung, Jawa Barat, 20 November 2022. ANTARA/Novrian Arbi

Selama diskusi kelompok terarah, seorang peserta menjelaskan bagaimana puskesmas, yang sebelumnya menawarkan tes HIV cepat serta menyediakan kondom dan pelumas, tidak dapat lagi memberikannya di “hotspot”, tempat bagi laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) biasa bertemu langsung. Seperti yang dijelaskan oleh seorang aktivis, “Orang tidak diizinkan berkumpul, sehingga sulit untuk melakukan pemeriksaan HIV serta mendorong orang untuk melakukan pemeriksaan penyakit infeksi menular seksual. Semuanya online, dan staf kami sekarang menggunakan aplikasi gay untuk menjangkau klien.”

Di tengah krisis ini, kita juga harus merefleksikan implikasi kelas dalam mengakses layanan kesehatan. Sebab, individu LGBT+ dari latar belakang sosial-ekonomi yang lebih rendah paling terpengaruh oleh tidak adanya layanan penjangkauan langsung.

Sistem kesehatan nasional berbasis keluarga di Indonesia juga berdampak pada akses masyarakat LGBT+ menjangkau layanan kesehatan. Seperti yang dikatakan seorang ahli kesehatan, “Ada 'penjaga gerbang', misalnya orang tua, karena skema asuransi kesehatan nasional berbasis keluarga, jadi kartu asuransi Anda terkait dengan keluarga. Dengan demikian, anak muda queer harus melalui orang tua mereka untuk mengakses layanan kesehatan, yang menimbulkan masalah ketika mereka menjelaskan mengapa ingin ke dokter.”

Akses ke Obat-obatan dan Vaksinasi Covid-19

Akses ke obat-obatan merupakan tantangan bagi banyak orang LGBT+. Aktivis di Bali, Jakarta, dan Yogyakarta menggambarkan bagaimana beberapa orang yang hidup dengan HIV tidak dapat mengakses rejimen obat antiretroviral mereka karena kekurangan. Dengan demikian, berarti mereka diberi terapi kombinasi lain yang berbeda dari yang mereka gunakan sebelum masa pandemi.

Seperti yang dikatakan seorang aktivis, “Orang-orang harus mengubah jenis pengobatan mereka menjadi sesuatu yang baru, dan mereka berubah dari merasa baik-baik saja menjadi mengalami efek samping.”

Orang LGBT+ telah memenuhi syarat untuk menerima vaksin Covid. Tapi diskriminasi, masalah aksesibilitas (seperti masalah transportasi ke pusat vaksinasi), dan misinformasi muncul sebagai tantangan.

Sejumlah waria yang tergabung dalam Forum LGBTIQ Indonesia di Jakarta. TEMPO/Amston Probel

Di Indonesia, kelompok LGBT+ juga mengalami kesulitan mendapatkan vaksinasi karena kendala transportasi dan tidak memiliki KTP. Hal ini menyebabkan beberapa badan amal mendukung perempuan transgender dan tunawisma untuk mendapatkannya.

Misalnya, badan amal Kebaya di Yogyakarta mendukung waria untuk mencapai pusat vaksinasi dengan membayarkan biaya transportasinya. Tidak bisa mendapatkan vaksinasi berarti mengurangi mobilitas minoritas seksual dan gender. Seperti yang dijelaskan oleh seorang aktivis Indonesia, “Kalau tidak punya data vaksinasi, tidak bisa ke mana-mana, tidak bisa masuk ke gedung pemerintahan. Kita punya aplikasi, dan sebuah tantangan lagi kalau tidak punya smartphone.

Hentikan Diskriminasi

Di Indonesia, pandemi Covid-19 secara tidak proporsional berdampak pada individu LGBT+, khususnya mereka yang hidup dengan HIV, pekerja seks, individu transgender, dan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Hal ini terutama dirasakan dalam kaitannya dengan layanan kesehatan, yang sulit diakses oleh mereka yang berasal dari latar belakang sosial-ekonomi rendah.

Indonesia memiliki kewajiban hak asasi manusia (HAM) internasional yang berlaku sama bagi kelompok LGBT+ dan memberikan panduan untuk melindungi serta memenuhi hak-hak tersebut bagi semua warga negara. Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik pada 2005 dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada 2006, serta merupakan negara yang mendukung Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Meski meratifikasi konvensi semacam itu, sejak 2016, kepanikan moral menjadikan orang-orang LGBT+ di Indonesia sebagai orang yang mengancam prinsip-prinsip moral bangsa.

Sikap diskriminatif dan sulitnya memperoleh KTP membuat mereka kesulitan mendapatkan perawatan. Hal ini menunjukkan perlunya segera menerapkan pendekatan berbasis HAM untuk lebih memahami kebutuhan populasi LGBT+ dan melindungi hak-hak mereka sebagai manusia.

---

Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus