Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sumatera, Lumbung Padi, dan Angka Stunting Tinggi

Sumatera merupakan pulau penghasil padi. Ironisnya, angka stunting di Aceh dan Sumatera Barat tinggi.

3 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sumatera merupakan pulau penghasil makanan bergizi, tapi angka stunting-nya tinggi.

  • Gizi rendah dampak dari sulitnya akses terhadap protein dan masalah sanitasi.

  • Perlu penempatan kader gizi di tiap desa.

Pulau Sumatera merupakan salah satu pusat lumbung padi di Indonesia bagian barat. Namun keadaan ini tidak menjamin bahwa penduduk di pulau ini cukup asupan gizi berkualitas, terutama untuk anak-anak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasil Survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2022 menunjukkan dua provinsi di Sumatera memiliki angka prevalensi stunting (tinggi badan di bawah standar menurut umur) di atas rata-rata angka nasional (21,6 persen).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua provinsi tersebut adalah Aceh (31,2 persen) dan Sumatera Barat (25,2 persen). Dengan angka prevalensi tersebut, artinya 2-3 dari 10 bayi usia di bawah lima tahun (balita) di wilayah ini mempunyai status gizi rendah sehingga anak-anak tumbuh pendek.

Mengapa kekurangan gizi terjadi di daerah yang kaya bahan makanan bergizi dan bagaimana pula mencegah hal itu terjadi?

Masalah Protein dan Sanitasi

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus kurang gizi dipengaruhi secara langsung oleh kurangnya asupan gizi pada makanan atau makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) pada anak. Asupan gizi ini seperti bahan bakar pada mobil: tidak jalan, mandek, dan lama-lama rusak jika tidak diisi.

Kekurangan gizi di Sumatera ini menjadi ironi karena sebagian besar wilayah ini terkenal dengan lumbung padi. Sumatera Barat merupakan sentra produsen beras yang terkenal di Sumatera dengan varietas beras lokal kualitas unggulan. Ternyata, kota dan kabupaten yang termasuk lumbung padi malah memiliki prevalensi stunting yang cukup tinggi, seperti Kabupaten Pasaman Barat (35,5 persen) dan Solok Selatan (31,7 persen).

Petugas kesehatan memberikan vaksin polio tetes (Oral Poliomyelitis Vaccine) kepada murid sekolah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 1 Banda Aceh, di Desa Ateuk Pahlawan, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh, Aceh, 12 Januari 2023. ANTARA/Ampelsa

Setali tiga uang, di Aceh juga terdapat Kabupaten Gayo Luwes, yang terkenal dengan komoditas beras pulen terpusat di kawasan aliran sungai Aih Tripe. Jadi, soal akses terhadap beras dan karbohidrat lainnya (kentang dan ubi) sepertinya bukan masalah untuk wilayah ini.

Tapi ada masalah lain yang perlu dilihat: asupan protein sebagai sumber pembangun tubuh. Sebuah riset terbaru di Jakarta dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa, selain asupan energi, protein mempunyai peran penting dalam pencegahan stunting. Sekitar 30 persen anak stunting memiliki riwayat asupan protein di bawah kebutuhan harian tubuhnya. Konsumsi protein pada anak berkorelasi positif terhadap pertumbuhan tinggi badan dan kecerdasan anak.

Menurut data di Sumatera Barat, ikan laut (tongkol, tuna, cakalang, kembung, dan teri) menjadi idola masyarakat setelah telur ayam ras. Sisanya, tidak lebih dari 5 persen berasal dari daging, telur, dan susu. Di sini salah satu potensi permasalahannya.

Sebagian wilayah dengan permasalahan gizi di Sumatera bukan pesisir pantai sehingga tak tersedia ikan laut segar sepanjang hari. Butuh waktu beberapa jam untuk mengirim ikan laut dari pesisir pantai ke perdesaan wilayah ini.

Bukan tidak mungkin ikan datang dalam kondisi tidak segar sehingga kurang menarik untuk dibeli. Apalagi harganya cenderung lebih mahal karena perlu biaya distribusi. Sebagai contoh, menurut data pemerintah, harga ikan air tawar hampir setengah dari harga ikan air laut per Januari 2023.

Karena harga ikan laut relatif mahal, potensi yang perlu dipertimbangkan adalah produk perikanan air tawar.

Ada berbagai potensi ikan air tawar, seperti nila, lele, mas, mujair, patin, sarai, bilih, dan gabus. Ikan jenis ini harus mulai dilirik orang tua, terutama untuk campuran makanan anak balita. Soal kandungan gizinya, ikan air tawar tak kalah oleh ikan air laut: sama-sama punya sumber protein hewani mumpuni.

Program pemerintah Biskuit MP-ASI perlu didampingi dengan pangan lokal, seperti telur, susu, dan kacang hijau (kacang padi). Tak jarang anak menolak biskuit karena tidak sesuai dengan selera lokal sehingga pangan lokal bisa menjadi solusi.

Selain asupan gizi, yang tak kalah penting diperhatikan adalah infeksi dan faktor penyebabnya. Penelitian UNICEF Indonesia pada 2016 mengungkap stunting di negeri ini juga dipengaruhi oleh peran higienis, sanitasi, dan akses terhadap air bersih.

Menurut peta penelitian ini, lebih dari 40 persen rumah tangga di Sumatera Barat dan Aceh tidak memiliki cukup akses sanitasi yang memadai. Ketiadaan akses air bersih, sanitasi, dan peran higienis ini dapat berpengaruh terhadap infeksi yang berkepanjangan pada anak. Kondisi ini disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme berbahaya dari lingkungan yang tidak bersih, menyebabkan diare dan berbagai jenis penyakit infeksi lainnya.

Mikroorganisme berbahaya ini juga dapat menyebabkan terganggunya penyerapan zat gizi di dalam tubuh anak. Jika penyerapan terganggu, makanan tidak dapat dikonversi dengan baik menjadi bahan bakar pertumbuhan pada tubuh.

Di sisi lain, protein di tubuh yang seharusnya untuk mendukung pertumbuhan juga terkuras untuk memperkuat antibodi melawan infeksi yang sering terjadi. Dampaknya adalah risiko malnutrisi atau stunting meningkat.

Kader gizi membagikan makanan untuk anak-anak untuk pencegahan stunting di Rumah Gizi Puskesmas Parak Karakah, Padang, Sumatera Barat, 19 September 2022. ANTARA/Iggoy el Fitra

Inovasi Program Pemerintah

Pemerintah daerah merasa telah melakukan upaya optimal, terutama para ahli gizi garda terdepan di puskesmas. Namun sepertinya kita perlu sedikit berbenah untuk perencanaan program ke depan, selain terus mengencangkan ikat pinggang mengawal cakupan ASI eksklusif dan menurunkan kasus berat badan lahir rendah (BBLR), yakni kurang dari 2,5 kg.

Kita perlu memperkuat pendidikan orang tua. Hal ini bisa dimulai dari pengantin baru. Program ini perlu dikuatkan di tingkat puskesmas dan Kantor Urusan Agama (KUA). Selain membekali ilmu agama terkait dengan pernikahan dan rumah tangga kepada calon pengantin, petugas perlu menambahkan pesan-pesan kesehatan, termasuk penyediaan air bersih dan sanitasi.

Calon pengantin harus mengetahui konsekuensi bahwa menikah bukan hanya punya keturunan, tapi bertanggung jawab memiliki keturunan yang sehat dan produktif. Pesan-pesan singkat ini bisa berisi gizi yang baik untuk kehamilan, menyusui, ASI eksklusif, menyiapkan MP-ASI yang bergizi, dan kebersihan pada lingkungan sekitar.

Calon suami pun perlu tahu bahwa, setelah menikah, ia akan bertanggung jawab pada asupan makanan anak dan istri. Suami juga harus terlibat mengasuh anak, mengajari anak, menyulang anak, dan mendampingi istrinya.

Kita perlu memperkuat edukasi dan penyebaran informasi secara masif melalui media massa soal gizi berkualitas ke masyarakat. Iklan layanan kesehatan di televisi dan radio agaknya kurang kekinian mencapai daerah terpencil. Lebih dari 40 persen individu di wilayah Sumatera adalah pengguna Internet aktif. Harus ada perluasan di media sosial, seperti Facebook, Instagram, YouTube, Twitter, dan TikTok.

Selain itu, pemerintah perlu mendekati pemimpin opini di masyarakat, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, dai, dan perangkat desa, untuk berkampanye soal pentingnya gizi dan kesehatan untuk anak-anak. Mereka memiliki pengaruh di komunitas masing-masing.

Pendekatan Komunitas: Satu Desa, Satu Ahli Gizi

Satu orang ahli gizi tentu tidak akan cukup menangani masalah gizi satu kecamatan dengan ratusan keluarga dan balita. Harus ada tenaga gizi bantuan. Mahasiswa jurusan gizi bisa diberdayakan atau ada program penguatan kader kesehatan di desa.

Pilih kader unggulan masing-masing nagari (desa) yang akan menjadi penggerak. Pemerintah daerah juga dapat memperkuat jejaring dengan universitas yang memiliki jurusan gizi.

Mahasiswa dapat diberdayakan untuk mengawal setiap kecamatan atau bahkan desa. Mahasiswa bersama kader posyandu bisa menjadi pengawal ketika ada masalah gizi. Mereka bisa langsung melapor dan menindaklanjuti.

Kolaborasi dan komitmen keluarga, masyarakat, petugas kesehatan, serta pemerintah bisa menjadi kunci untuk mencegah anak-anak kita berkembang kurang optimal karena kurang gizi. Saya yakin dan optimistis bahwa tahun-tahun berikutnya Sumatera bisa bangkit serta kembali berlari menuju masyarakat yang lebih sehat dan sejahtera.

---

Artikel ini ditulis oleh Mahmud Aditya Rifqi, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan mahasiswa doktoral Hokkaido University. Pertama kali terbit di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus