DONOR kornea mata di negeri ini tidak sebanyak di negara maju. Padahal, jumlah orang Indonesia yang membutuhkan kornea justru jauh lebih banyak. Apa akal? Tak ada kornea, plastik pun jadi. Awal April ini, Jakarta Eye Center (JEC) meneken kerja sama dengan Lions Eye Institute (LEI) Australia untuk melakukan riset bersama dan membuat kornea mata buatan, yang umumnya terbuat dari plastik, silikon, atau akrilik. "Di negara-negara maju, problem kornea tidak banyak sehingga mereka tidak terlalu antusias mengembangkan (kornea mata buatan). Di sini, itu relevan karena selain donornya susah, jumlah kasusnya juga banyak yang mengharuskan tidak dilakukan transplantasi dengan kornea donor," kata Direktur Riset JEC, Tjahjono Gondhowiardjo.
Saat ini, angka kebutaan akibat kerusakan kornea di Indonesia memang lumayan tinggi: 0,3 persen dari total populasi penduduk. Ini membuat Bank Mata Indonesia kewalahan memenuhi kebutuhan itu. Selain itu, ternyata tak semua kasus kerusakan kornea mata bisa ditolong dengan kornea donor. Untuk memperbaiki penglihatan, diperlukan dua syarat mutlak: baik mata pasien maupun kornea donor harus dalam kondisi prima. Kondisi bola mata, air mata, dan saraf pasien, misalnya, harus memungkinkan kornea donor bisa tumbuh. Kalau salah satu unsur saja tidak terpenuhi, sebaik apa pun mata yang akan didonorkan, hasilnya tak akan sempurna, dan kegagalan menjadi lebih terbuka. "Dalam kondisi itu, alternatifnya adalah membuat kornea mata," kata Tjahjono.
Itu berbeda dengan kornea mata buatan. Organ artifisial ini tak memerlukan kelancaran air mata karena terbuat dari benda mati. Karena itu, permukaan kulit mata (mukosa) yang sudah mengering juga tak masalah bagi kornea mata buatan. Kornea mata buatan ini rancangannya seperti lensa kontak. LEI sudah mencobakan kornea mata buatannya pada enam pasien sejak Mei tahun lalu, dan saat ini mereka dalam pengawasan untuk keperluan riset. Kalau dalam uji coba itu terbukti tak bermasalah, barulah ia dikembangkan untuk keperluan massal.
Pencangkokan kornea buatan sebenarnya sudah dilakukan di Indonesia dengan kornea buatan dari Belanda. Hanya saja, yang dari Belanda ini sering kurang cocok untuk mata Indonesia. Itu pula sebabnya JEC menggandeng LEI untuk mengembangkan kornea buatan yang cocok untuk mata Indonesia. "Kita bisa belajar dari mereka dan kita bisa mengembangkan hal-hal yang lebih spesifik buat Indonesia," kata Tjahjono.
Menurut dokter ahli mata dari Rumah Sakit Mata Aini, Bondan Harmani, kornea mata buatan adalah jalan terakhir. "Misalnya, mata yang sudah payah sekali, mata tinggal satu-satunya tetapi sarafnya masih baik, bisa dipasangi kornea buatan plastik," katanya. Karena ini adalah jalan terakhir, upaya itu bisa berhasil, bisa pula tidak. Kegagalan terjadi bila tubuh menolak dan membuat permukaan menonjol ke luar, yang pada akhirnya bisa menyebabkan infeksi. "Kalau sudah begitu, ya, habis ceritanya," kata Bondan.
Toh Bondan tetap menyarankan penggunaan kornea mata buatan sebagai jalan terakhir. Namun, memang hanya pasien berduit yang mampu memperoleh kornea buatan. Di rumah sakit pemerintah, yakni Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, biaya operasi pencangkokannya bisa sebesar Rp 1 juta-Rp 2 juta. Itu pun perhitungan sebelum krisis moneter terjadi. Sedangkan harga satu kornea buatan, menurut Tjahjono, sebesar 700 gulden, atau sekitar Rp 3 juta.
Ma'ruf Samudra dan Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini