Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tentang Jiwa yang Terbelah

Kisah John Nash, penderita skizofrenia yang memenangi hadiah Nobel, menerbitkan ilham bagi pemulihan penyakit gangguan mental itu.

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWAM mengenal penyakit skizofrenia sebagai penyakit kegilaan. Siapa sangka ”orang gila” bisa mendapatkan penghargaan se-prestisius hadiah Nobel? John Forbes Nash Jr. mungkin juga tak pernah menyangka ia bisa meraih Nobel di bidang ekonomi pada 1994 setelah semua penderitaan akibat skizofrenia yang dialaminya. Di catatan hariannya, pada 1995, Nash menulis: ”Banyak orang menduga aku telah meraih kembali otakku yang brilian. Namun sesungguhnya aku hanya berusaha keras untuk hidup dan berpikir lebih sederhana.” Lelaki kelahiran Bluefield, West Virginia, AS, 74 tahun silam itu memang brilian. Belum genap berusia 17 tahun, saat teman sebayanya sibuk berpesta dansa, Nash merilis sebuah tesis matematika. Pada usia 30 tahun, Nash mengguncang dunia dengan teori keseimbangan permintaan—yang menghadiahkan Nobel untuk bidang ekonomi baginya. Tak diragukan lagi, Nash seorang genius. Namun, dengan kedahsyatan otak yang dimilikinya, rupanya berpikir sederhana justru jadi soal pelik baginya. Seperti bisa dilihat dalam A Beautiful Mind, film yang mengisahkan hidup Nash (diperankan dengan cantik oleh aktor Russel Crowe), yang kini sedang beredar di bioskop di Jakarta, hidup Nash selalu diwarnai ketegangan untuk mencetak gagasan cemerlang. Hari-harinya dipenuhi obsesi untuk mencetak gagasan orisinal yang bukan kelas kacangan. Ketegangan yang timbul karena keinginan kuat mencetak ide brilian itu rupanya menjadi pemicu kemunculan skizofrenia. Inilah kelainan jiwa yang paling dahsyat (katastrofik) dibanding puluhan jenis gangguan kejiwaan lainnya. Karir, keluarga, bahkan kewarasan Nash nyaris melayang karena skizofrenia. Tiga sosok teman akrab Nash (Charles Herman dan keponakannya, serta agen misterius bernama William Pareher), yang selalu dia ajak bercakap-cakap, ternyata hanya ada dalam dunia Nash. Orang lain tak pernah men-jumpainya di dunia nyata. Untunglah, Nash perlahan bangkit dengan dukungan sang istri, Alicia Nash. Ia sendiri pun berhasil ”melawan” tiga tokoh khayal itu dengan cara tak menggubrisnya, meski ia selalu dibuntuti para sahabatnya itu. Dengan kiat itu, berbagai kekacauan yang ditimbulkan karena hubungannya dengan ketiga sosok fiktif itu pun tak terjadi lagi. Pada akhir 1980-an, kehidupan Nash sudah bisa dikatakan mendekati normal. Kalau Nash berhasil, adakah setiap pasien skizofrenia berpeluang kembali normal seperti dia? Pekan lalu, persoalan itu dibahas dalam sebuah seminar di Klinik Kesehatan Mental, Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta. Ini sebuah bahasan penting, mengingat selama ini skizofrenia sering dianggap penyakit yang tak terobati. Kisah Nash, seperti diyakini Agnes Tinneke, psikiater Sanatorium Dharmawangsa, menebarkan ilham dan harapan bagi pemulihan skizofrenia. Skizofrenia—artinya kira-kira jiwa yang terbelah—sampai kini memang masih misterius. Belum ada seorang ilmuwan pun yang sanggup memastikan penyebab gangguan mental ini. Berbagai faktor—lingkungan, genetis, tekanan hidup—turut bermain (lihat Perjalanan Skizofrenia). Kelainan itu diperkirakan menimpa satu dari 100 penduduk dunia. Di Indonesia, paling sedikit ada 2 juta warga yang menderita skizofrenia. Banyak di antara mereka harus menghabiskan sisa hidup di balik terali rumah sakit jiwa. Tak sedikit pula penderita yang sama sekali tidak tersentuh pengobatan. Mereka dipasung, diasingkan, atau berkeliaran di jalan dan divonis sebagai orang gila. Semua cerita sedih ini mestinya bisa dicegah. ”Mereka punya kesempatan hidup normal,” kata Irmansyah, Ketua Seksi Skizofrenia di Perhimpunan Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Caranya? Terapi medis pada tahap dini, saat jaringan saraf belum kelewat rusak gara-gara kerap berhalusinasi. Jika sudah parah, pemulihan jauh lebih sulit karena sebagian jaringan saraf sudah telanjur cacat. Obat-obatan hanya meredakan gejala yang muncul, misalnya halusinasi, gampang mengamuk tanpa sebab, apatis, putus asa, dan sering digelayuti rasa ingin bunuh diri. Persoalannya, mengenali pertanda awal skizofrenia bukan perkara enteng, bahkan bagi seorang segenius Nash. Ketika penderita baru menyadari batasan antara yang riil dan yang fiktif, skizofrenia sudah melaju ke tahap parah. Karena itu, dukungan keluarga dan orang-orang dekat sangat dibutuhkan. Ajaklah ke psikiater teman atau kerabat yang sering melamun, gelisah, suka berkhayal, bicara muluk-muluk, ketakutan berlebihan, sering mendengar suara gaib, atau mengaku diri sebagai utusan Tuhan untuk menyelamatkan dunia. Psikiater akan melakukan serangkaian tes untuk mengenali apakah seseorang potensial terkena skizofrenia. ”Jangan tunggu sampai terlambat,” kata Irmansyah. Jika keadaan sudah parah, dukungan keluarga makin mutlak diperlukan. Pasien perlu dorongan agar terus menjalani pengobatan yang bisa berlangsung enam bulan sampai dua tahun. Pengobatan yang mandek di tengah jalan hanya akan memacu halusinasi dengan kadar yang makin hebat. Buntutnya, pasien malah harus bergantung pada pengobatan seumur hidup. Memang, ada kasus ”perkecualian” seperti yang dialami Nash. Kondisinya malah makin baik setelah ia secara diam-diam menghentikan pengobatan. Si genius ini pada akhir tahun 1960-an—setelah 10 tahun keluar-masuk klinik psikiatri dan rumah sakit jiwa—menyetop segala jenis terapi. Dia tak mau lagi merasakan efek samping obat seperti tubuh kaku, malas bergerak, susah konsentrasi, dan libido seks merosot. Nash memilih mengendalikan halusinasi tanpa bantuan obat. Caranya, antara lain, dengan mencoba berpikir sederhana, menghindari pikiran ruwet yang jadi pemicu halusinasi. Ternyata Nash berhasil. Tapi keberhasilan itu harus digaris-bawahi. Nash adalah sosok yang genius, rasional, dan bertekad teguh. Ia pun mendapat dukungan yang hebat dari keluarga. Ini modal yang luar biasa karena tak semua penderita punya keberuntungan semacam itu. Bahkan, menurut Irmansyah, kebanyakan pasien skizofrenia adalah sosok rapuh yang merasa dicampakkan oleh keluarga dan masyarakat. Karena itu, Irmansyah tak yakin resep Nash bisa berlaku bagi semua orang. Lagi pula, berbeda dengan obat di era 1950-an, obat skizofrenia generasi baru sudah jauh lebih baik dengan efek samping yang sangat minimal. ”Jadi,” kata Irmansyah, ”mengapa harus mengambil risiko dengan mengabaikan pengobatan?” Mardiyah Chamim -------------------------------------------------------------------------------- Perjalanan Skizofrenia Genetika boleh jadi memegang kunci kepingan teka-teki skizofrenia. Asal-muasal kelainan jiwa ini memang masih misterius. Dugaan sementara, seseorang mengidap skizofrenia karena mewarisi gen tertentu dari leluhurnya. Hingga saat ini belum ada jawaban konkret yang memastikan keberadaan sang gen pemicu. Jurnal The Lancet, 1988, pertama kali melaporkan lokasi gen penyebab skizofrenia. Temuan ini dinilai belum cukup sahih karena hanya dijumpai pada dua pasien. “Hingga kini riset terus berlangsung, termasuk yang dikerjakan tim FKUI,” kata Irmansyah, spesialis penyakit jiwa dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Garis besar kemunculan skizofrenia sendiri bisa disederhanakan dalam bagan sebagai berikut.
  • Ibu mengandung janin yang membawa faktor genetis skizofrenia.
  • Janin mengalami kelainan perkembangan jaringan saraf.
  • Bayi lahir dan berkembang menuju dewasa.
  • Muncul gejala skizofrenia, misalnya halusinasi, kelainan konsep diri, paranoia.
  • Tanpa pengobatan, kemunduran saraf makin parah. Skizofrenia berlanjut sampai bertahun-tahun (kronik). Peristiwa lingkungan awal, misalnya si ibu meng-alami infeksi virus, komplikasi kehamilan atau persalinan. Peristiwa lingkungan lanjut, misalnya penyalahgunaan obat, masalah keluarga, tekanan pekerjaan, problem kepribadian. Terjadi efek sekunder, semakin sering muncul gejala skizofrenia (misalnya halusinasi), kerusakan jaringan saraf makin luas. Pada tahap inilah obat-obatan bekerja, yakni menekan terjadinya halusinasi.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus