DI LANTAI dua Gedung Kardiologi Preventif (KP) yang terletak di kompleks Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, terdengar suara gaduh. Bunyinya mirip suara gelegak air yang mendidih. Sumber suara itu ternyata adalah perangkat enhanced external counter-pulsation (EECP) yang tengah dioperasikan bagi penderita penyakit jantung. Alat yang memakai manset yang dililitkan di betis, paha, serta pinggul ini memang membuat tubuh bagian bawah pengguna melonjak-lonjak, menimbulkan suara yang lumayan berisik.
''Agak kemeng rasanya," ujar Suparman, sang pengguna alat. Suparman, 56 tahun, adalah sukarelawan yang dipakai tim kardiologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) untuk menguji manfaat EECP, yang selama ini dipergunakan KP. Dalam brosur yang diterbitkannya, KP mengklaim EECP sebagai alat yang bermanfaat untuk mencegah dan mengobati secara dini penyakit jantung koroner, penyakit lain yang disebabkan gangguan peredaran darah, dan rehabilitasi pascaserangan jantung.
Menurut seorang dokter yang menjadi anggota tim penguji, penelitian ini menjadi penting karena hasilnya akan bisa menjawab kontroversi yang merebak seputar terapi nonstandar tersebut. Kontroversi merebak setelah terapi alternatif yang sudah beberapa tahun dilakukan KP itu dikecam beberapa ahli jantung. Oleh pemerintah, peralatan terapi alternatif untuk penyakit jantung (yang bukan hanya EECP) akhirnya hanya diperbolehkan untuk keperluan penelitian. Dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, pertengahan Maret lalu, Dirjen Pelayanan Medik Sri Astuti S. Suparmanto mengungkapkan bahwa peralatan milik KP itu diserahkan ke Bagian Kardiologi FKUI sejak November lalu, untuk keperluan penelitian.
Sebanyak 20 pasien, yang rata-rata menderita penyakit jantung koroner, selama dua sampai tiga tahun terakhir akan dijadikan obyek penelitian oleh delapan kardiolog dari FKUI. Pasien akan mendapat terapi sebanyak 35 kali, yang dilakukan lima kali dalam seminggu, masing-masing selama satu jam.
Sebenarnya, EECP bukan alat baru. KP sudah mengoperasikan pompa jantung kejut itu sejak awal berdirinya, pada 1994. Lembaga swasta yang meski berada dalam kompleks RS Harapan Kita tapi manajemennya ditangani tersendiri itu menawarkan berbagai menu pengobatan yang tak dikenal dalam standar kedokteran konvensional. Selain EECP, ada Trombo-Free, Svate-3 (terbuat dari bisa ular), Kelasi—yang diinfuskan ke tubuh pasien—dan terapi ozon. Terapi alternatif yang ditawarkan KP rupanya cukup memancing minat publik. Mungkin karena pengobatan ini menawarkan penyembuhan tanpa operasi.
Namun, lain lagi tanggapan para ahli jantung yang tergabung dalam organisasi profesi kardiolog, Perki (Perhimpunan Ekokardiologi Indonesia). ''Secara ilmu kedokteran, EECP sudah melanggar standar pelayanan di rumah sakit. Perki juga sudah melarang penggunaan alat itu," kata kardiolog RS Harapan Kita yang menjadi salah satu pengurus Perki, Hamed Oemar.
Menurut Hamed, alat seperti EECP hanya memberikan rasa nyaman secara psikologis. Ia merujuk pada beberapa penelitian rutin tentang alat itu yang dilakukan beberapa peneliti Amerika Serikat yang memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan pada pasien yang menggunakan alat tersebut dan yang menggunakan plasebo. Presentasi Kepala Bagian Kardiologi FKUI, Dr. Otte J. Rachman, dalam sarasehan ilmiah tentang pelayanan nonstandar pada penyakit jantung koroner yang diadakan pada November 1997 di Jakarta, kata Hamed, juga mengajukan bukti serupa. Dari 10 literatur terbaru tentang EECP yang disodorkan Otte, nyaris semuanya tak merekomendasikan terapi itu.
Sebagai Ketua Yayasan Pengayoman Kesehatan Masyarakat—lembaga swadaya masyarakat advokasi medis yang mengusahakan perlindungan hak-hak pasien—Hamed pun melihat terapi alternatif yang ditawarkan KP itu sebagai usaha membohongi pasien. ''Saat pasien berobat ke dokter jantung, ada beberapa dokter yang dibujuk dengan imbalan Rp 500 ribu per pasien bila si dokter mau mengirimkan (pasien) ke sana (KP—red). Saya juga pernah diming-imingi, tapi enggak mau," kata Hamed.
Yang lebih mengkhawatirkan Hamed adalah bahaya di balik terapi pompa jantung kejut itu. Secara teoretis, manset pada alat EECP yang mengembang dan mengempis sesuai irama jantung ini memang akan membantu memompa darah bersih pada arteri koroner. Namun, problem penyempitan pembuluh koronernya sendiri sebetulnya tak teratasi. Pada pembuluh darah balik (vena), tempat terdapat bekuan darah, bila dipompa secara paksa, bekuan darah tersebut lambat laun akan terkumpul di paru-paru. ''Lama-lama (pasien) akan terjangkit hipertensi permonal yang tidak ada obatnya. Ini bahayanya," kata Hamed.
Menurut Direktur RS Harapan Kita, Djoti Atmojo, komentar miring yang menyudutkan penggunaan alat EECP sebenarnya terlalu berlebihan. Perdebatan manfaat EECP, katanya, adalah masalah pro dan kontra biasa yang lazim dalam profesi tenaga medis. ''Masing-masing punya literatur. Yang penting, prinsip pengobatan alternatif harus aman," ujar dokter anak itu.
Pendapat ini dikuatkan rekannya, Raymond Suwita, ahli fisiologi klinik yang menjadi penanggung jawab penggunaan EECP. ''Di Amerika Serikat, tingkat keberhasilannya mencapai hampir 85 persen, sama dengan di Indonesia," ujar Raymond, yang mengaku mendapat keahliannya dari sebuah universitas di Jerman. ''Sejak 1984, saya sudah terjun di klinik-klinik di Jerman," kata Raymond, yang meskipun merasa lebih berpengalaman di bidang kardiologi, selama di Jerman ia mengaku belum pernah menerapkan EECP.
Menurut Raymond, terapi dengan EECP efek positifnya baru terasa setelah pasien menjalani satu paket terapi sebanyak 36 kali—yang tarifnya Rp 4,86 juta. ''Efeknya baru benar-benar terdeteksi setelah paling tidak lima tahun," ujarnya.
Klaim semacam itu dibenarkan oleh Ngakan Putu Mandhia, salah seorang pasien yang tiga tahun lalu mengikuti terapi EECP. ''Sehabis terapi, biasanya badan terasa segar dan peredaran darah lancar sampai ke kaki," tutur pria berusia 67 tahun itu. Kini, ia memang tak lagi menjalani terapi dengan pompa jantung kejut karena gejala jantung koroner yang dideritanya tak lagi muncul. Namun, setelah itu, Mandhia mencoba terapi lain seperti bisa ular, Trombo-Free, Kelasi, dan terapi ozon.
Aman? ''Sudah bertahun-tahun saya menjalani terapi ozon tak ada efek samping apa-apa. Setiap usai terapi ozon, rasanya enteng dan gembira. Yang ini memang yahud," ujar salah seorang direktur pemasaran PT Krakatau Steel itu. Karena itu, Mandhia mengaku tak terlalu peduli dengan peringatan dari para ahli yang menentang pengobatan alternatif itu.
Mungkin karena itu, pihak Departemen Kesehatan lebih suka persoalan kontroversi pengobatan alternatif ini disikapi dengan luwes. ''Dalam program pelayanan, kita selalu melihat bahwa perkembangan ilmu dan teknologi itu selalu terjadi. Dulu, penemu-penemu juga dianggap kontroversial. Kami serahkan pada profesi karena ilmu itu selalu berkembang. Kami di birokrat hanya mengurusi masalah administratif. Kalau kadang terjadi kontroversi, ya, harus dilakukan pengujian secara profesional. Pasien itu kan kadang-kadang juga ingin mencoba," kata Sri Astuti.
Masalahnya, keinginan pasien untuk mencoba pengobatan alternatif sering kali tak dibekali dengan informasi yang lengkap. Agar tak membingungkan pasien, klinik pengobatan alternatif mestinya tak berada dalam kompleks rumah sakit yang juga menyediakan pengobatan untuk penyakit yang sama. Dengan identitas yang jelas, kapasitas seorang penanggung jawab klinik mungkin tak akan digugat. Jadi, kalaupun pasien tetap memilih menjalani terapi alternatif, ia sudah tahu risiko pilihannya.
Yusi A. Pareanom, Dewi Rina Cahyani, Nurur Rokhmah Bintari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini