Ahmad Sahal
Kader NU, redaktur jurnal Kalam
Seorang kawan pernah berujar bahwa ada tiga hal di dunia ini yang tidak diketahui oleh manusia biasa: maut, jodoh, dan Gus Dur. Tentu saja kawan saya hanya bercanda. Hanya saja, candaan kawan tadi menyiratkan suatu gejala saat ini dalam menyikapi Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Pada mulanya orang kagum, lalu kaget, lalu tak habis pikir, lalu kecewa melihat Gus Dur. Langkah politiknya zig-zag. Pertemuannya dengan Soeharto bertentangan dengan agenda reformasi. Kegemarannya menuding dalang kerusuhan dengan inisial membuat wibawa pernyataannya merosot.
Padahal, beberapa tahun lalu, rasanya tidak sulit untuk meyakini Gus Dur sebagai pendekar demokrasi dan kampiun pluralisme di negeri ini. Ia memang punya rekor cukup tebal untuk itu. Pandangannya tentang Islam yang toleran, keterlibatannya di Forum Demokrasi, dan pembelaannya terhadap toleransi begitu menggugah. Visi dan aksi yang muncul dari dirinya merapat erat dengan citra diri sebagai guru bangsa.
Dalam melihat pergeseran Gus Dur ini, sikap orang berbeda. Bagi yang serta-merta antipati, Gus Dur langsung dicap sebagai sekadar ''politisi" dalam arti peyoratif, yang hanya memikirkan diri dan kelompoknya sembari menyodok kelompok lain yang mengancam kepentingannya. Sebaliknya, bagi pendukung setianya, langkah Gus Dur justru selalu dianggap menyimpan tujuan luhur atau strategi cerdas yang tersembunyi dari mata awam. Kalau ada yang kelihatan salah pada Gus Dur, pasti yang salah bukan Gus Dur, melainkan mata awam.
Ada pendukung setianya dari Nahdlatul Ulama yang percaya bahwa Gus Dur adalah wali yang hampir can do no wrong. Keanehan dan ketaktertebakan sikap Gus Dur adalah bagian dari gejala jadzab wali. Sementara itu, ada juga pendukungnya dari kalangan minoritas yang selalu pasrah bongko'an kepada Gus Dur karena mereka melihat hanya pada Gus Durlah, yang komitmennya pada pluralisme betul-betul tak terbantah, mereka merasa aman dan terlindungi.
Sebenarnya, yang menolak Gus Dur dengan serta-merta dan yang menerimanya bulat-bulat punya tabiat yang sama dalam melihat Gus Dur: hanya mengingat satu Gus Dur sambil melupakan Gus Dur yang lain. Kedua kutub tersebut, dengan kata lain, hanya melihat berdasarkan apa yang ingin mereka lihat.
Memang tidak semua terperosok dalam tatapan-satu-dimensi semacam itu. Nurcholish Madjid, misalnya, punya skema menarik dalam menafsirkan Gus Dur. Ada ''Gus Dur makro", yakni Gus Dur yang pandangan ke depannya adalah aset bagi bangsa ini. Tapi ada juga ''Gus Dur mikro", yang terlibat dalam pernik-pernik pertikaian dalam power politics dan tawar-menawar kepentingan jangka pendek. Bagi Cak Nur, Gus Dur mikro ini memang merepotkan. Tapi, kalau melihat arti penting Gus Dur makro, yang mikro ini harus dimaafkan. Terhadap Gus Dur mikro, Cak Nur lantas mengambil sikap bisa mengerti meski belum tentu menyetujui.
Problemnya dengan skema Cak Nur ini adalah, dalam prakteknya, yang disebut Gus Dur mikro tadi lama-lama menggerogoti yang makro. Lagi pula, yang mikro di sini ternyata tidak selamanya bisa dijelaskan dalam kerangka yang makro sehingga distingsi makro dan mikro itu sendiri seperti kehilangan arti.
Karena itu, saya cenderung berpendapat bahwa yang terjadi pada Gus Dur adalah duel antara Gus Dur dan Gus Dur. Duel ini terjadi karena antara cita-cita, obsesi, serta visi Gus Dur dan sikap serta tindakannya terdapat suatu discrepancy. Arus yang menyambungkan keduanya terganggu.
Kenapa itu terjadi? Saya kira karena dalam diri Gus Dur belakangan ini sedang terjadi proses penyempitan peran dan identitas diri.
Ketika Gus Dur secara tegas mengungkapkan ide-ide demokrasi dan pluralismenya, ia saat itu adalah sosok yang eklektis dan kosmopolit. Yang kita lihat adalah Gus Dur yang melampaui batas dan sekat apa pun. Ia adalah pemimpin NU, tapi sekaligus beyond NU, bahkan beyond Islam. Sesaat ia memang seperti orang asing di tengah kaumnya, seperti imam sendirian meninggalkan makmumnya. Tapi muncul dampak yang tak diniatkannya semula: pencerahan di kalangan NU sendiri. Siapa pun sulit menyangkal, dalam dua dasawarsa terakhir, diskusi dan pemikiran keislaman yang kritis dan terbuka justru lebih bersemai di kalangan anak muda NU. Dan itu dimungkinkan antara lain berkat Gus Dur turut menyediakan lahannya.
Selain itu, posisinya yang lintas batas dan beyond NU ini bukan saja menjadikan dirinya semacam suluh bagi bangsa, tapi juga menempatkannya dalam suatu eksperimen sejarah yang sangat strategis bagi umat Islam. Cita-citanya untuk menjadikan umat Islam sebagai ''umat beragama yang berpandangan luas, mampu memahami orang lain, menumpahkan kebersamaannya yang utuh dengan segala pihak, dan menjunjung tinggi kebebasan sebagai sarana demokrasi" adalah suatu proyek besar mengatasi ketegangan antara Islam dan Barat selama ini. Citra Barat yang orientalistis bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi akan terpental dan termentahkan dengan sendirinya oleh proyek Gus Dur tersebut.
Sayangnya, posisi eklektis dan lintas batas yang mewarnai Gus Dur semakin lama semakin tertimbun oleh tindakan Gus Dur sendiri untuk menyantuni kepentingan politik NU dalam percaturan power politics. Pada titik inilah Gus Dur mengalami penyempitan. Ia bukan lagi pelintas batas. Ia justru menarik batas. Identitas ke-NU-annya semakin sering ditegaskan. Gus Dur semakin meng-NU.
Sebagai pemimpin massa, kecenderungan Gus Dur untuk memikirkan kemenangan politik kelompoknya wajar. Hanya saja, pilihan semacam ini, kalau ditempatkan dalam bingkai cita-cita Gus Dur tersebut, akan menimbulkan problem tersendiri. Problem yang paling terasa adalah semakin kuatnya pengaruh kompleks dikotomi NU-Masyumi dan NU-Muhammadiyah dalam diri Gus Dur—bukan pada aras pertikaian khilafiah ibadat atau pemikiran, tapi pada persaingan dan perseteruan politik. Kompleks perseteruan itu memang punya akar dalam ingatan kolektif masing-masing. Gus Dur gagal mengatasinya. Perseteruan itu masih terasa dalam fiil (laku) politiknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini