Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Sulitnya Mencari Setetes Air Bersih

Air bersih ternyata masih menjadi barang mewah di Jakarta, meski kampiun Prancis dan Inggris sudah diusung ke sini.

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Swastanisasi air minum menjanjikan pelayanan yang istimewa: pada 2007 nanti, seluruh air yang dipasok Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya bebas bakteri, bersih, dan bisa langsung diminum. Bagi Ny. Ratnasari, sebut saja begitu, pelayanan seperti itu terlalu muluk, kalau tak mau disebut sebagai mimpi buruk. ”Ya, kalau masih hidup sampai tahun itu. Kalau tidak, dan kita keburu mati karena mengonsumsi air yang tidak bersih dari PAM, bagaimana?” ujar ibu rumah tangga yang tinggal di Kelapagading, Jakarta Timur, itu. Nyonya Ratnasari adalah satu dari sejumlah konsumen yang sangat dirugikan oleh pelayanan perusahaan air minum milik negara itu. Menjadi pelanggan PAM sejak 1988, dua tahun kemudian ia dan warga di kawasan Kelapagading itu menyadari bahwa air yang dikonsumsi ternyata tidak sehat dan kotor. Airnya keruh dan berwarna kekuning-kuningan, bahkan sekali waktu pernah juga seburam air kopi. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk tidak menggunakan air PAM untuk makan dan minum. ”Untuk mandi saja,” ujarnya. Langkah alternatif itu ternyata melahirkan persoalan baru. Gara-gara mandi dengan air PAM, seluruh keluarganya kini terjangkit penyakit kulit. Suaminya, misalnya, permukaan wajah, tangan, dan kaki berubah warnanya menjadi kemerah-merahan dan gatalnya bukan main. Lalu ia beserta anaknya, selain terserang penyakit gatal-gatal, juga mengalami infeksi saluran kemih. ”Analisis dokter, ya karena mengonsumsi air yang kotor,” kata Ny. Ratnasari. Berkali-kali ia menyampaikan pengaduan ke PAM Jaya, tetapi hasilnya nyaris tak ada perubahan. Sekali-sekali saja air yang diterima bersih, lalu pada tempo lainnya, air menjadi keruh kembali. Puncaknya Rabu pekan lalu. Air berwarna cokelat pekat kehitam-hitaman. Ny. Ratnasari kembali menyampaikan pengaduan. Dari petugas diketahui bahwa pipa utama dekat Boulevard Kelapagading pecah dan kini sedang diperbaiki. ”Dan bukan cuma ibu saja yang mengalami, tetapi juga warga yang lain,” kata petugas PAM seperti ditirukan Ny. Ratnasari. Buruknya kualitas air PAM juga dirasakan Ny. Andrea—nama disamarkan. Warga Kelurahan Bidaracina, Jakarta Timur, itu sudah dua tahun ini harus membeli air mineral untuk makan dan minum. Sedangkan mandi serta mencuci piring dan baju terpaksa dilakukan dengan menggunakan air PAM yang keruh dan sesekali berbau anyir. Sejak saat itu pula, ia harus menyiapkan tenaga ekstra untuk dijadikan ”bola pingpong” petugas PAM Jaya. Ia pernah mengadu ke rayon, tetapi petugas tak mau melayani karena urusan air bersih adalah tanggung jawab petugas di wilayah. Namun, oleh petugas wilayah ia malah disarankan kembali ke rayon. Lain waktu, ia datang lagi karena kualitas air yang diterima kembali buruk. Dengan entengnya petugas menjawab bahwa hujan bisa menjadi penyebab keruhnya air PAM. Sekali tempo, petugas berdalih tentang adanya pipa yang bocor. Alasan ini tentu saja tak bisa diterima Ny. Andrea. Katanya, sebelum PAM melakukan swastanisasi, dalam kondisi hujan atau tidak, toh air tetap bersih. Merasa dipermainkan, ia lantas membuat surat pengaduan ke PAM Jaya yang diteken tiga orang ketua rukun tetangga dan seorang ketua rukun warga, yang ditembuskan ke PAM Wilayah dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), pekan pertama Februari silam. ”Syukurlah. Setelah itu, airnya bersih kembali,” ujar Ny. Andrea. Dari penelitian yang dilakukan Dinas Kesehatan DKI Jakarta memang ditemui beberapa daerah yang kualitas airnya memburuk. Di wilayah Jakarta Timur, misalnya, sudah dua tahun belakangan ini air bersih sulit dicari, terutama di Kecamatan Makassar dan Kecamatan Cakung. Pada 1997/1998, dari 21 sampel yang diambil di kedua wilayah itu, hanya sembilan sampel yang layak disebut bersih dan sisanya kotor sekali. Ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Pada penelitian yang dilakukan pada 1996, empat sampel yang diambil di Kecamatan Cakung seluruhnya dinyatakan jernih. Sedangkan dari 40 sampel yang dipungut di Kecamatan Makassar, hanya lima sampel saja yang buram. Menurunnya kualitas air yang dipasok dari PAM Jaya menyebabkan YLKI kebanjiran keluhan dari pelanggan. Sepanjang 1998, misalnya, tak kurang dari 34 konsumen mengeluhkan kualitas air yang selain berbau, juga warnanya keruh. Selain itu, ada pula konsumen yang protes soal tagihan yang tak sesuai dengan pemakaian. ”Sering kejadian, petugas yang menagih tidak melihat meterannya. Dia main pukul rata, seperti petugas PLN melihat meteran listrik,” ujar Agus Pambagio, Wakil Ketua Pengurus Harian YLKI. Buruknya mutu dan pelayanan air minum yang dikelola PAM, menurut Agus, tak lain karena pembangunan instalasinya tak mengikuti tata kota (master plan) serta tuanya pipa saluran yang diyakini telah bocor di sana-sini. Kebocoran itu sendiri diperkirakan mencapai 50 persen. Kebocoran itu pula yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan menurunnya debit air. Buntutnya, konsumen yang dirugikan: membeli air berkualitas buruk dengan harga mahal, karena biaya kebocoran itu harus ditanggung konsumen melalui penghitungan tarif yang ditentukan PAM Jaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus