Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tersesak Napas Akibat Asbes

WHO menyatakan ribuan kematian setiap tahun berhubungan dengan paparan asbes di rumah. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat memaparkan risiko asbes bagi kesehatan, akhir Oktober lalu.

12 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tersesak Napas Akibat Asbes

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELAKI berkulit cokelat itu tersenyum ramah saat ditemui di tempat tinggalnya di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Sekali lirik, tubuh Sri Yono, pria 43 tahun itu, terlihat kurang proporsional. Dengan tinggi 164 sentimeter, beratnya cuma 39,5 kilogram. "Dulu enggak sekurus ini, belakangan turun 9 kilogram," kata Sri, Rabu dua pekan lalu.

Bobot yang abnormal itu mengundang curiga Indonesian Ban Asbestos Network (Ina-Ban), wadah pelbagai lembaga swadaya masyarakat yang mengkampanyekan bahaya asbes, saat mendatangi pabrik pengolah asbes di Cibinong, akhir tahun lalu. Mereka meminta Sri, yang bekerja di sana 24 tahun terakhir, ikut tes kesehatan, bersama lima orang lainnya.

Benar saja, hasil roentgen menunjukkan ada codetan di paru-paru Sri. Hasil pemeriksaan lanjutan, dokter spesialis paru dan okupasi menyatakan Sri menderita asbestosis, yakni parut pada paru yang muncul akibat menghirup asbes. "Saya memang sering batuk dan sesak napas, tapi ya batuk biasa saja," ujarnya. Tanpa dia sadari, keluhan itu adalah efek dari penyakit tersebut. Mei lalu, klaim Sri bahwa penyakit tersebut akibat pekerjaan diterima Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Dua rekan Sri juga positif asbestosis.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat sering memperingatkan bahaya asbes ini dalam beberapa tahun lalu. Akhir Oktober lalu, Ina-Ban memaparkan risiko asbes bagi kesehatan di depan utusan berbagai kementerian. Pesan mereka: pemerintah perlu lebih memperhatikan bahaya asbes bagi kesehatan. "Apalagi Indonesia termasuk negara pengimpor asbes terbesar kelima di dunia dengan memasukkan lebih dari 1 juta ton meter kubik asbes mulai 2012 sampai 2015," kata Firman Budiawan, anggota Ina-Ban. Sebagian besar asbes tersebut digunakan untuk atap, plafon, dan sekat rumah atau gedung.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga sudah lama mewanti-wanti ihwal dampak asbes ini. Lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut menyatakan segala bentuk asbes bersifat karsinogen, pemicu kanker buat manusia. Selain mengakibatkan asbestosis, asbes menyebabkan kanker paru, kanker laring, kanker ovarium, dan mesothelioma-kanker perusak lapisan tipis yang menyelimuti organ bagian dalam, seperti paru-paru dan perut.

WHO memperkirakan setengah kematian karena kanker akibat kerja disebabkan oleh asbes. Ribuan kematian setiap tahun juga diperkirakan berhubungan dengan paparan asbes di rumah.

Serangan pelbagai penyakit ini bisa terjadi karena serat asbes yang tajam masuk ke tubuh. Dokter spesialis paru-paru Agus Dwi Susanto menjelaskan, jika terhirup, serat berbentuk partikel mini tersebut akan masuk ke saluran napas, lalu bersarang di paru-paru. Kalau unsur yang masuk sedikit, tubuh sanggup bertahan. Tapi kalau debu asbes yang masuk banyak, apalagi terus berulang dalam waktu lama, pertahanan tubuh tak mampu lagi menangkisnya.

Dampak serangan dimulai dari munculnya plak atau pengapuran di lapisan tipis yang menyelimuti paru-paru dan dada. Pengapuran tersebut muncul setelah sekitar 10 tahun terpapar debu asbes. Lambat-laun partikel yang menumpuk akan merusak paru-paru dan menyebabkan fibrosis atawa parut, yang disebut asbestosis.

Gurat yang kelewat banyak akan menyusahkan oksigen menembus paru-paru dan masuk ke dalam darah. Pertukaran oksigen jadi terganggu dan membuat kadar oksigen yang masuk ke tubuh jadi lebih sedikit. "Efek pertama yang dirasakan adalah sesak napas," ujar Agus, dokter Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta.

Asbestosis biasa terbentuk setelah 20 tahun terpapar. Tanpa pengobatan, tumpukan serat di paru-paru tersebut akan membentuk sel kanker paru dan mesothelioma. Rata-rata kanker paru muncul setelah 30 tahun dan mesothelioma sekitar 40 tahun. "Kalau sudah sampai mesothelioma, ujungnya meninggal," kata Agus.

Bahaya asbes itu membuat Yv Bonnier Viger, profesor dari Université Laval, Quebec, Kanada, datang ke beberapa negara, termasuk Indonesia, Juli lalu. Viger merasakan sendiri pahitnya dampak asbes. Istrinya meninggal akibat mesothelioma paru pada 2002. Dia mengatakan asbes mengakibatkan 1.530 orang menderita mesothelioma paru dan 170 divonis terjangkit mesothelioma perut sejak 1982 sampai 2002 di Kanada. "Yang bilang asbes aman itu tidak benar," ucap Direktur Kesehatan Masyarakat Otoritas Quebec tersebut.

Hingga tahun ini, 65 negara melarang penggunaan asbes, seperti Jerman, Italia, dan Prancis. Tahun depan, beberapa negara menyusul penerapan larangan tersebut, seperti Kanada. Bagaimana dengan Indonesia? "Penggunaannya sudah mulai dikurangi. Plafon sudah mulai pakai gipsum," kata Kartini Rustandi, Direktur Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementerian Kesehatan.

Pemerintah sebatas mendaftarkan asbes sebagai bahan berbahaya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Aturan itu mewajibkan asbes diperlakukan khusus, termasuk memeriksa kesehatan para pekerja yang mengolah bahan-bahan tersebut secara berkala.

Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan juga mengatur kadar maksimal asbes di udara. Masalahnya, asbes masih menjadi primadona, terutama untuk atap. "Pengetahuan orang masih sangat rendah. Tahunya hanya asbes lebih murah daripada genting," tutur Kartini.

Menurut Agus, meski Indonesia mengimpor asbes dalam jumlah besar, efeknya tak akan sama dengan Kanada. Jumlah penderita penyakit akibat asbes di Kanada tinggi karena negara tersebut merupakan salah satu produsen asbes terbesar. Serat asbes yang beterbangan tak hanya dihirup oleh pekerja tambang, tapi juga masyarakat sekitarnya. Maka, kata dia, di mana pun ada tambang asbes, jumlah penderita mesothelioma pasti tinggi.

Sedangkan di Indonesia, asbes diolah di pabrik dan sampai ke tangan masyarakat sudah dalam bentuk padat, seperti atap dan plafon. Karena itu, risiko terpapar penyakit pun lebih kecil. Asbes baru akan mengakibatkan masalah pada kesehatan jika debunya beterbangan. "Misalnya dari atap asbes yang rapuh," ujar Kartini.

Agus dan kawan-kawan pernah meneliti dampak paparan asbes pada pekerja di industri pengolahan asbes pada 2009. Dari empat perusahaan yang dia teliti, asbestosis paling banyak terjadi pada 2 persen pekerja. Selama 15 tahun bekerja sebagai dokter spesialis paru pun, Agus baru mendapati satu orang yang menderita plak di paru-parunya karena asbes. Catatan Rumah Sakit Persahabatan pun hanya mendapati 21 kasus mesothelioma selama 21 tahun.

Walaupun jumlah penderitanya tak banyak, asbes tetap berbahaya bagi kesehatan. Untuk mengurangi risiko, Firman Budiawan menyarankan mengganti asbes dengan bahan lain, misalnya genting. Kalaupun sudah telanjur menggunakan asbes sebagai atap, sebaiknya mengecatnya sehingga asbes tak gampang rapuh. Juga lebih baik ditutup dengan plafon yang tak terbuat dari asbes. "Jadi serbuknya tak langsung jatuh," katanya.

Nur Alfiyah, Avit Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus