Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta Biennale 2017 dan Biennale Jogja 2017 diperhelatkan dalam waktu hampir bersamaan pada November ini. Masing-masing memiliki pendekatan sendiri. Bertema "Age of Hope", Biennale Jogja memilih peserta para perupa muda dan bermitra dengan para seniman Brasil.
Sedangkan Jakarta Biennale, yang mengambil tajuk "Jiwa", bertaburan seniman dengan latar belakang bukan hanya seni rupa. Jakarta Biennale juga banyak diisi aksi performance dengan durasi berjam-jam. Sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya.
MASUKLAH ke sebuah ruangan boks di Hall A4 di Gudang Sarinah Ekosistem, kawasan Pancoran, Jakarta. Gelap sangat. Hanya ada berkas cahaya lemah dalam bentuk elips mengambang di atas. Dari berbagai penjuru, terdengar salakan anjing. Mula-mula terasa dari kejauhan, tapi kemudian salakan makin keras. Seolah-olah ada ratusan anjing ganas dengan lidah menjulur berebutan menggeram, mendengking, dan menggonggong. Suara itu tingkap-meningkapi. Berdiri makin ke tengah, makin terasa anjing-anjing itu dari segala penjuru mendekati kita.
Instalasi suara berjudul Ilulissat karya Willem de Rooij, seniman kelahiran Belanda dan tinggal di Berlin, di Jakarta Biennale 2017 ini cukup mencekam. Ilulissat nama sebuah kota kecil di kawasan Teluk Disco, Greenland bagian selatan. Greenland adalah wilayah di Amerika Utara yang sebagian besar areanya tertutup es-bahkan dengan ketebalan 3 kilometer. Pada 1997, De Rooij mengunjungi Ilulissat. Tatkala petang, menjelang malam, di tengah udara beku itu ia terperenyak mendengar munculnya suara lolongan anjing-anjing dari berbagai sudut kota. Di Ilulissat, warga memang sehari-hari biasa ke mana-mana menggunakan kereta luncur di atas es yang ditarik anjing.
Dengan kamera 16 milimeter, bersama sahabatnya, Jeroen de Rijke, ia saat itu mendokumentasikan perubahan warna lanskap saat kota menuju gelap. Dua puluh tahun kemudian, pada 2017, De Rooij kembali ke Ilulissat. Ia merekam berbagai lolongan anjing. Suasana samar-samar cahaya pudar di dalam boks mungkin merepresentasikan suasana petang Kota Ilulissat yang disaksikan De Rooij. Berdiri di kegelapan mendengarkan anjing-anjing yang berebutan menyalaki kita dari 12 pengeras suara membuat imajinasi kita ke mana-mana.
Masuklah ke ruangan tempat karya seniman asal Brasil, Rodrigo Braga, berada. Tapi kali ini bukan di Jakarta, melainkan di Yogyakarta, tepatnya di Jogja National Museum. Karya berjudul Alam’s Signs di Biennale Jogja 2017 itu sebuah instalasi video. Memang tak sedramatis instalasi suara Ilulissat karya De Rooij. Namun tak mungkin mata Anda tak menatap sesosok laki-laki di video tengah mengurung diri di dalam sangkar di gigir sebuah tebing curam di atas laut. Dari tebing itu, membentang tali menuju tebing lain.
Apa yang dilakukan orang itu pasti berbahaya. Dia Rodrigo Braga sendiri. Lelaki itu duduk dalam sebuah kurungan semacam sangkar ayam di ketinggian curam Pantai Kesirat, Gunungkidul, Yogyakarta. Ia akhirnya menjatuhkan kurungannya ke laut. Braga tertarik untuk memahami mengapa ada tradisi pulung gantung atau mati dengan cara gantung diri di Gunungkidul. Sebagian masyarakat daerah tersebut percaya, bila ada bola api berekor panjang melayang pada tengah malam, itu isyarat kematian. Braga tinggal selama sepekan di Gunungkidul untuk mengamati kehidupan di Dusun Wiloso, Girikarto, Panggang. Di tubir tebing itu, di ketinggian di atas laut, ia mengamati isyarat alam.
BIENNALE Jogja 2017 dan Jakarta Biennale 2017, dua pesta besar seni rupa dua tahunan, dibuka hampir bersamaan pada November ini. Biennale Jogja dimulai pada 2 November dan Jakarta Biennale 4 November. Biennale Jogja mengambil tema"Age of Hope", Jakarta Biennale menyuguhkan tema "Jiwa".
Dua biennale ini berlangsung sampai 10 Desember 2017. Kurator Biennale Jogja adalah Pius Sigit Kuncoro dengan Direktur Dodo Hartoko. Sedangkan Direktur Artistik Jakarta Biennale adalah Melati Suryodarmo beserta Annissa Gultom, Hendro Wiyanto, Philippe Pirotte, dan Vit Havranek sebagai anggota tim kurator. Kedua biennale ini terasa lain pendekatan. Pilihan penampil pada opening saja menandakan adanya perbedaan "selera". Pembukaan Jakarta Biennale menyajikan ritual komunitas Bissu dari Sulawesi. Para pelaku agama Bugis kuno itu melakukan maggirik-aksi menikamkan keris ke tubuh. Sedangkan Biennale Jogja dibuka oleh pentas musik musikus Jason Ranti, Jono Terbakar, dan Tetangga Pak Gesang di pendapa Jogja National Museum.
Jakarta Biennale tampak lebih lintas batas. Seniman yang diundang berlatar belakang bukan hanya seni rupa. Kesan yang kuat dalam Jakarta Biennale adalah hancurnya sekat-sekat tembok tebal di antara pelaku disiplin seni. Biennale ini banyak menampilkan seniman yang sehari-hari bukan perupa. Demikianlah karya Afrizal Malna, yang dikenal sebagai penyair dan pengamat teater, ditampilkan. Juga karya Wukir Suryadi (musikus eksperimental), Garin Nugroho (sineas), Yola Yulfianti (koreografer), PM Toh (pendongeng), dan Darlane Litaay (penari).
Jakarta Biennale bahkan menyajikan karya para pasien skizofrenia yang menggunakan lukisan sebagai terapi, misalnya Dwi Putro Mulyono (Pak Wi). Atau bahkan karya Ni Tanjung, perempuan tua tak waras di Bali yang tak sadar bahwa dalam kegiatan sehari-hari ia menampilkan karya seni "kontemporer". Jakarta Biennale juga menampilkan karya seniman yang telah meninggal, seperti I Wayan Sadra, Hendrawan Riyanto, dan Semsar Siahaan. Para perupa luar yang diundang adalah nama-nama yang melintang dalam pameran dunia, seperti Arin Rungjang, Nikhil Chopra, dan Chiharu Shiota.
Akan halnya Biennale Jogja memilih para perupa muda. Dari 27 perupa Indonesia, beberapa nama jarang terdengar dalam percaturan seni rupa. Misalnya kelompok musik indie bernama Sangkakala. Yang paling menarik adalah kedatangan karya 12 perupa Brasil. Kurator Pius Sigit melakukan survei ke Sao Paulo. Tiga perupa Brasil kemudian menjalani residensi di Yogyakarta.
Pius mengibaratkan Brasil dan Indonesia seperti siang dan malam. Dua negara ini punya banyak permasalahan yang sama tapi beda dalam membaca persoalan. Betapapun demikian, ia melihat rata-rata perupa berkarya dengan memulai dari pengalaman traumatis. "Aku ceritakan fenomena pulung gantung dan bunuh diri ketika berkunjung ke studio Rodrigo Braga di Rio de Janeiro. Dia kaget dan kepikiran terus," kata Pius.
MENGAMBIL tempat di depan Hall B Gudang Sarinah Ekosistem, Siti Adiyati, 66 tahun, perupa yang lama tak muncul, membuat sebuah kolam sepanjang 20 meter dengan lebar 8 meter. Ia menutupi seluruh permukaan kolam dengan eceng gondok. Di antara hijau dedaunan eceng gondok, ia memasang ratusan mawar plastik berwarna emas.
Karya berjudul Eceng Gondok Berbunga Emas itu pertama kali dibuat oleh Siti Adiyati pada 1979 untuk Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Karya ini merupakan pencapaian artistik seniman pada masanya. Eceng gondok adalah tanaman parasit. Dia memadukan tumbuhan itu dengan bunga mawar emas impor yang kala itu amat populer di kalangan orang kaya Jakarta. Siti saat itu hendak menyindir gaya hidup latah orang kaya Jakarta yang, menurut dia, lebih parasit daripada parasit.
"Harga setangkai mawar plastik itu setara dengan 3 kilogram beras untuk warga miskin," ujar Siti dalam catatan karyanya. Di depan Hall B, kolam eceng gondok berbunga mawar emas itu memang terlihat cantik. Yang jadi soal, lantaran kontras dengan suasana gudang yang cenderung "kumuh", beberapa pengunjung menganggap karya itu bukan sebuah karya eksperimen, tapi memang merupakan taman yang berfungsi sebagai hiasan atau aksesori molek untuk memperindah lokasi biennale di Gudang Sarinah.
Memasuki Hall B, kita melihat di sana-sini masih terasa longgar. Kondisi awal gudang yang seperti halnya hanggar itu membuat penataan karya merupakan unsur utama. Karya akan tenggelam atau flow-nya tak enak apabila penataannya kurang pas. Hall B dibagi menjadi dua bagian. Di bagian pertama, yang masih terasa lapang, ada 17 karya. Karya Hanafi, Perjumpaan Pertama dengan Bahasa, ditempatkan di sini.
Hanafi menancapkan ratusan pensil dengan ujung runcing ke sisi depan di sebuah dinding tripleks. Pada sebuah cantelan, ada jaket yang juga penuh tusukan pensil. Penonton diimbau mengenakan jaket itu dan masuk ke sebuah ruangan sempit. Senin sore pekan lalu, beberapa remaja masih berseragam sekolah mencoba jaket itu. "Pensil pada jaket menggoret dinding sehingga dinding penuh coretan," kata mereka. Begitulah para remaja itu akhirnya paham mengapa Hanafi memberi judul karyanya Perjumpaan Pertama dengan Bahasa.
Di pojok, I Made Djirna membuat sebuah tirai tebal dari roncean batu-batu apung. Tirai roncean itu terulur panjang dari langit-langit hingga lantai membentuk sebuah jalan setapak. Djirna memulung ribuan batu apung selama berbulan-bulan dari Pantai Beraban di Negara hingga Pantai Jumpai di Klungkung, Bali. Ia juga menempelkan di dinding ratusan batu yang diukir wajah manusia. Djirna ingin mengatakan bahwa dalam setiap benda, termasuk batu, terdapat jiwa. Karyanya terasa arkais. "Total berat batu yang digunakan Djirna 2,5 ton," Melati Suryodarmo menjelaskan.
Abdi Karya, performer dari Makassar, menghamparkan dengan rapi 30-an boneka dari lipatan sarung di lantai. Ia kemudian mengurai masing-masing boneka dan membelitkan sarung ke tubuh dan kepalanya. Makin lama Abdi makin tambun oleh belitan. Ia kesulitan berjongkok meraih boneka lain yang belum diurai.
Penempatan karya di bagian kedua Hall B terasa lebih padat. Seniman Thailand, Arin Rungjang, yang pada perhelatan Documenta di Kassel, Jerman, 2017, menghadirkan potret kekerasan politik di negaranya, kini menyajikan sejumlah video seseorang menggesek biola memainkan Bengawan Solo. Entah lagu itu memiliki makna khusus baginya entah tidak. Persis di samping karya Arin Rungjang dihadirkan karya Semsar Siahaan (almarhum), yang tatkala hidup dikenal memposisikan seninya sebagai seni pembebasan. Lukisan Transfusi (1987) dan Para Pekerja Perempuan di Antara Pabrik dan Penjara (1982) serta poster ikonik Marsinah dipajang.
Tapi yang menarik adalah disajikannya arsip-arsip pribadi Semsar Siahaan. Di sebuah kotak kaca, kita dapat membaca catatan harian Semsar mulai 1998 hingga 2002. Termasuk surat-surat yang ditulisnya ke sesama aktivis. Juga potret-potret keluarga: Semsar di masa kecil dan potret ayah Semsar, Ricardo M.J. Siahaan. Arsip-arsip tersebut didapatkan Melati dari adik Semsar, Dyani Siahaan, yang kini tinggal di Bogor, Jawa Barat. "Dyani mendirikan Pusat Pembelajaran Semsar Siahaan dan masih menyimpan rapi semua arsip pribadi Semsar," kata Melati.
Salah satu yang berharga adalah kita bisa membaca ketikan asli tulisan Semsar mengenai penjelasannya mengapa ia membakar patung karya Sunaryo, gurunya sendiri. Pada 1981, di Institut Teknologi Bandung, Semsar melakukan tindakan kontroversial membakar patung Sunaryo yang baru saja dipamerkan di Jepang dan memberi judul aksinya sebagai karya Oleh-oleh dari Desa 2. Ia menyebutnya seni kejadian. Abu patung itu lalu dibungkusnya dengan daun pisang dan disajikan dengan nasi kuning. Akibatnya, Semsar diskors dari kampus.
Selain karya Semsar, di ruangan B disajikan karya keramikus Hendrawan Riyanto dan komponis I Wayan Sadra. Sayang, tidak seperti karya Semsar, karya mereka tak disertai presentasi surat atau catatan pribadi. Padahal menarik, misalnya, membaca pikiran personal Hendrawan yang menyukai mistik. Adapun Wayan Sadra dikenal sebagai komponis radikal yang menganggap musik bisa memiliki unsur bau. Salah satu karyanya: telur sekeranjang dilemparkan ke pelat baja panas hingga lelehannya menghasilkan suara sekaligus bau kuat. Agaknya tim tak menemukan peninggalan arsip yang rapi dari para seniman itu.
Adalah sebuah keberanian Jakarta Biennale menempatkan karya Ni Tanjung di antara karya-karya kontemporer. Ni Tanjung adalah perempuan Desa Budakeling, Karangasem, Bali, yang mengalami gangguan jiwa. Pada awal 1990-an, perupa Made Budhiana menemukan dia di pinggir jalan Karangasem menggambari batu-batu sambil mengoceh. Batu-batu diberi mata, hidung, serta telinga dan tampak terlihat magis. Ia menumpuk-numpuk batu itu seperti persembahan megalitik. Budhiana kemudian memberikan cat kepada Ni Tanjung. Selain menggambari batu, Ni Tanjung suka menggunting-gunting kertas membentuk sosok-sosok manusia. Wayang-wayangan itu digantung-gantungkan di gubuknya. Sosok-sosok dari penglihatan alam bawah sadarnya itu yang ditampikan dalam pameran.
Tak jauh dari karya Ni Tanjung adalah karya Dolorosa Sinaga. Dolorosa memboyong hampir semua model patungnya. Dari patung penari, patung Sukarno berbagai ekspresi, sampai patung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tertawa sambil berbaring ala Buddha. Sekilas, Dolorosa tak membuat karya baru, hanya menghimpun karya-karya lamanya. Tapi memang ini adalah konsep yang disengaja. Melalui karya ini, Dolorosa sesungguhnya ingin menampilkan suasana studio tempat ia bekerja sehari-hari di Pondok Gede, Jakarta. "Jiwa Dolorosa adalah studionya, episentrum penciptaannya," ujar Melati.
Sebuah video yang sangat menarik datang dari perupa Jepang, Keisuke Takahashi, berjudul The Fictional Island. Memasuki sebuah ruangan lain, kita melihat seperti gundukan tanah dialiri lahar putih menyala. Lahar itu turun mengalir terus-menerus menjelajahi lekukan gundukan. Menghasilkan efek estetis yang sublim. Boleh dibilang ini salah satu karya terbaik di Jakarta Biennale.
Lantaran Melati Suryodarmo seorang performer, unsur performance di Jakarta Biennale berlimpah ruah. Ada 21 live performance yang ditampilkan selama 10 hari pertama perhelatan. Performance dari luar antara lain dilakukan oleh Alastair MacLennan, Jason Lim, Ho Rui An, dan Nikhil Chopra. Selain Abdi Karya, seniman Indonesia yang melakukan aksi performance adalah Aliansyah Chaniago, PM Toh, dan Marintan Sirait. Performance yang ditampilkan banyak yang berupa long duration. Pilihan ini diambil Melati karena performance panjang masih jarang ditemui di Jakarta.
Aliansyah Chaniago, misalnya, sejak pukul 11.00 pukul 19.00 selama lima hari terus-terusan meninju sebuah samsak hitam. Pertunjukan ini berjudul Sunda Kelapa: Selamat Datang Jakarta. Dia memadukan performance itu dengan instalasi dua video yang menampilkan kehidupan di Kampung Akuarium, Jakarta Utara, yang telah habis digusur. Satu video menampilkan Aliansyah memecah batu dan puing berserakan. Satunya lagi memperlihatkan batu-batu itu diseret di sepanjang jalan. Puing-puing itu menjadi isi samsak yang terus dipukul.
Performance Jason Lim dari Singapura lebih meditatif. Berjudul Under the Shadow of the Banyan Tree, ia membawa 3 ton tanah liat. Setiap hari selama 5 jam ia bekerja dengan lempung merah itu. Hari-hari pertama, Lim bisa menyelesaikan sebuah bonggol pohon beringin. Kemudian hari-hari berikutnya ia memilin-milin tanah liat merah itu menjadi bentuk akar-akaran atau oyot-oyotan beringin. Kemudian ia menempelkannya ke bonggol sehingga menyerupai akar betulan yang menghunjam kuat ke tanah. Demikian sampai beringin itu tumbuh membesar. Ada atau tidak ada penonton, Lim terus melakukan pekerjaan menumbuhkan beringin. Seperti juga karya Eva Kotatkova, seniman Republik Cek, In the Memory of the Bird, di Hall A4. Dia membuat instalasi pohon ranggas. Ia menyuruh seorang volunter naik ke atas pohon selama delapan jam. Senin pekan lalu, volunter itu tetap bertengger di atas pohon meski hanya dilihat seorang penonton.
SEBUAH lorong dengan dominan warna merah cukup membetot mata tatkala kita memasuki Jogja National Museum. Farid Stevy Asta menampilkan berbagai iklan di dinding. "Skripsi/Tesis 08996159150. Gaji 5 JT/Bln Tanpa Kerja. Sex Toys & Obat Perangsang. Perbesar Alat Vital. Hubungi 0815...." Semua iklan ini diambil Farid dari selebaran di jalanan Yogyakarta. Namun cara menampilkannya unik, dengan garis-garis grafik yang pop dan dinamis. Mural ditambah dengan aneka kalimat di Twitter yang merespons berbagai selebaran itu.
Permainan infografis itu senada dengan sensasi "pesta seismograf" yang disajikan Arin Dwihartanto Sunaryo. Memasuki ruangan pertama di lantai bawah, kita menyaksikan 28 light box dibuat seperti televisi dengan ukuran besar-kecil. Light box tersebut ditata acak memenuhi ruangan. Dalam light box itu, Arin membuat lukisan-lukisan abstrak dengan permainan gradasi warna-warna terang. Light box dinyalakan kedap-kedip. Efeknya, pada tiap light box itu kita seolah-olah seperti menyaksikan gambar di TV yang kehilangan frekuensi. Puluhan kedap-kedip light box menimbulkan sensasi visual dan ritme sendiri.
Seniman Bandung, Zico Albaiquni, melukis figur yang mirip dengan Ratu Kidul. Sesungguhnya lukisannya biasa saja. Mirip lukisan murahan yang dijual di Taman Suropati, Jakarta. Tapi, untuk melukisnya, Zico menyusuri Gunung Padang, Gunung Salak, dan Hotel Samudra Beach, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, yang memiliki kamar legendaris yang khusus diperuntukkan bagi Ratu Kidul. Setelah karyanya jadi, Zico lebih dulu meletakkannya di alun-alun Yogya, Plengkung Gading, Puro Pakualam, Pantai Parangkusumo, Kota Gede, dan Gunung Merapi. Ia meletakkan lukisan itu pada pukul 12 malam hingga pukul 4 dinihari. Tak terduga, banyak warga yang datang. Yang jadi soal, semua dokumentasi proses itu tidak dihadirkan di pameran, sehingga karya ini kurang "berbunyi".
Di lantai dua, yang menyita perhatian pengunjung adalah instalasi ciptaan Mulyana Mogus. Ia membuat odong-odong-alat permainan keliling seperti becak yang berisi tempat duduk bergoyang-berwarna pink. Odong-odong itu terdiri atas dua kursi yang berhadapan dengan pedal dan rajutan payung. Mulyana membuat rel panjang yang menghubungkan satu ruang dengan ruang lain. Pengunjung diperbolehkan mengayuh odong-odong sepanjang 30 meter lorong Jogja National Museum. Hanya pengunjung yang berbaju pink yang boleh mengendarai odong-odong ini.
Di ruangan lain, terdapat sebuah ruangan gelap dengan obyek sebuah patung bocah meringkuk di perahu. Bunyi teng-teng lonceng terus menggema di ruangan. Inilah karya Tattoo Merdeka yang bertolak dari riset terhadap anak-anak yang dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo, Jawa Tengah. "Bagi tahanan anak-anak, kebebasan mereka adalah tidur," kata kurator Pius Sigit. "Hidup mereka tergantung bunyi lonceng," Tattoo menambahkan.
Yang paling menarik adalah negosiasi-negosiasi yang dilakukan Pius Sigit dengan seniman Brasil. Beberapa seniman negara itu yang mengambil tema kekerasan memiliki gagasan liar. Lourival Cuquinha, misalnya, ingin membuat karya dengan cara menembaki gedung Jogja National Museum. "Dia berkeras ingin menembaki tembok bagian belakang museum. Tentu saja saya menolak. Menembakkan satu peluru saja bermasalah, apalagi memberondong gedung," ujar Pius.
Pius lalu mengambil jalan tengah agar Cuquinha tetap bisa berkarya. Ia kemudian dengan Cuquinha membuat tiga panel dinding dari glugu berukuran 4 x 3 meter dengan tebal 12 sentimeter. Masing-masing seberat 300 kilogram. Pius lalu melobi Pasukan Khas (Paskhas) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara untuk menembaki dinding tersebut. Ia kemudian membawa tiga dinding itu ke lapangan tembak Pangkalan Udara TNI Angkatan Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Anggota Pasukan Khas TNI Angkatan Udara Detasemen Pertahanan Udara 474 Maguwo ada yang membantu untuk mengangkut. "Sampai di sana oleh Paskhas, menggunakan peluru kaliber 9 milimeter, tembok itu ditembaki dari jarak 30 meter," katanya.
Clara Ianni, perupa perempuan Brasil, juga ingin menembakkan peluru. Ide dasarnya pertukaran amunisi militer. Ia ingin memuntahkan peluru ke sasaran enam panel galvalum seng 45 x 65 cm. Sebagaimana pemecahan untuk karya Lourival Cuquinha, Pius membawa galvalum seng itu ke Paskhas. "Galvalum itu ditembak dengan senapan M4 peluru kaliber 9 mm dan kaliber 5,6 mm." Kita melihat hasilnya berupa karya berjudul Still Life or Study for Vanishing Point.
BIENNALE Jogja mendapat bantuan keuangan dari Dana Keistimewaan Yogyakarta sebesar Rp 847 juta dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sebesar Rp 800 juta. Menurut Direktur Biennale Dodo Hartoko, jumlah duit dari Dana Keistimewaan kali ini turun bila dibandingkan dengan Biennale dua tahun lalu sebesar Rp 1,3 miliar. Semula Dinas Kebudayaan hanya menurunkan duit Dana Keistimewaan sebesar Rp 300 juta dengan alasan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta perlu membiayai kebutuhan infrastruktur. Tapi Dodo melobi Taman Budaya sebagai produser Biennale untuk menambah anggaran.
Menurut Dodo, kebutuhan riset ke Brasil dan mendatangkan seniman negara itu menyedot anggaran terbesar. Dia mengatakan perlu waktu setengah tahun untuk menyiapkan perjalanan ke Brasil. Dodo, Pius Sigit, dan anggota Yayasan Biennale Jogja, Yustina Neni, berangkat. Mereka mulanya bertemu dengan Gabriel Bogossian, kurator video Brasil. Bogossian-lah yang membantu membuat jadwal bertemu dengan seniman Brasil, berkunjung ke studio mereka, dan membicarakan proyek di Yogya.
Di Rio de Janeiro, tim Biennale Jogja berkesempatan keliling perkampungan kumuh. Mereka melihat bocah-bocah ada yang membawa senjata M16. Pius Sigit sempat menyaksikan Sao Paulo Biennale ke-32 bertajuk "Live Uncertainty". Itu mengilhami dia membuat tema kuratorial "Age of Hope". "Ini soal harapan-harapan di saat situasi yang tidak menentu," kata Pius.
Meski guyuran dana dari pemerintah cukup besar, Dodo menganggap itu belum cukup aman. "Standar biaya biennale internasional adalah Rp 3,4 miliar," ujarnya. Ia melakukan fundraising dari penjualan karya seniman Arin Sunaryo, yang laku US$ 16 ribu. Lima puluh persen duit hasil penjualan diberikan kepada Arin dan sisanya untuk Biennale. Duit itu digunakan untuk menyubsidi perupa peserta Biennale.
Adapun Jakarta Biennale, menurut Melati Suryodarmo, banyak terbantu oleh dukungan negara asal para seniman luar negeri. Ada lembaga donor luar negeri yang mau membiayai riset kurator. Dua kurator Jakarta Biennale, Philippe Pirotte dan Vit Havranek, dari Eropa. "Jakarta Biennale telah menjadi agenda seni penting skala internasional sehingga banyak lembaga luar mendukung," kata Melati. Menurut dia, Bekraf serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga membantu. Meski tak menyebut secara rinci total biaya, Melati menyatakan Jakarta Biennale sebelumnya mendapat kucuran dana yang lebih banyak. "Kali ini tak jauh beda dengan Jogja Biennale, sekitar segitu juga."
Masih banyak rangkaian acara di dua biennale ini sampai Desember nanti. Di Jakarta, simposium dan sejumlah performance akan berlangsung. Di Yogya, sejak 28 Oktober lalu dan dikoordinatori Rismiliana Wijayanti, parallel event Biennale berlangsung. Puluhan ruang seni membiayai penyelenggaraan program secara mandiri. Untuk parallel event ini, penyair Goenawan Mohamad pada 18 November ambil bagian dalam pameran bertajuk "Ke Tengah". Dodo Hartoko berkeliling ke puluhan pemilik ruang seni untuk meyakinkan mereka agar ikut meramaikan Biennale. "Saya bilang Biennale mutlak milik publik. Silakan ruang itu diambil," ujarnya.
Seno Joko Suyono, Moyang Kasih Dewimerdeka, Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo