Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HIDUP Ng Sek Ho berubah 180 derajat setelah pindah dari daratan Cina ke Hong Kong pada 1963. Datang sebagai imigran gelap yang tak punya apa-apa, Ho kemudian menjelma menjadi orang yang kaya raya di wilayah jajahan Inggris itu. Ini semua bisa terjadi karena dia berhasil memimpin salah satu gangster di Hong Kong dan menguasai bisnis narkotik, terutama heroin.
Dengan segala drama dan konflik, cerita "sukses" Ho itu tersaji dalam film Chasing the Dragon (judul aslinya Chui Lung) bikinan rumah produksi Cina dan Hong Kong, Mega-Vision Project Workshop dan Bona Film Group. Film bergenre drama kriminalitas- lengkap dengan unsur laga- ini tayang perdana di Hong Kong pada 28 September lalu. Tapi Chasing the Dragon baru diputar di bioskop-bioskop Indonesia mulai Rabu pekan lalu.
Chasing the Dragon merupakan daur ulang To Be Number One, film buatan 1991 yang kala itu meraih sukses besar di Hong Kong. Ide ceritanya terinspirasi kisah nyata Ng Sek Ho yang berhasil membangun kerajaan bisnis narkotik di Hong Kong. Dalam Chasing the Dragon, Ho digambarkan menjalin kerja sama dengan seorang polisi korup, Lee Rock, untuk menjalankan bisnis haram itu. Lee Rock merupakan penjelmaan tokoh nyata Lui Lok, polisi paling korup dalam sejarah Hong Kong.
Boleh dibilang kekuatan film berdurasi 2 jam 8 menit ini ada pada kelihaian sutradara Jason Kwan dan Wong Jing dalam menghidupkan karakter Ng Sek Ho (diperankan Donnie Yen) dan Lee Rock (Andy Lau). Lewat aktingnya, Donnie Yen berhasil mengajak penonton menyelami sosok Ho yang temperamental dan ambisius. Adapun Andy Lau juga dengan baik menampilkan Lee yang dingin dan tenang. Andy Lau barangkali tak kesulitan karena karakter yang sama pernah dia perankan dalam film Lee Rock dan Lee Rock II pada 1991.
Satu hal yang patut dicatat dari akting Donnie Yen dan Andy Lau adalah keberhasilan mereka membangun hubungan emosional di antara dua tokoh utama dalam Chasing the Dragon. Ini boleh dibilang sebagai sebuah pencapaian karena di sinilah untuk pertama kalinya mereka berkolaborasi, meski keduanya sama-sama telah puluhan tahun berkarier di dunia perfilman Hong Kong dan Tiongkok.
Kelebihan lain dari Chasing the Dragon adalah plotnya yang jelas, lugas, dan tidak bertele-tele. Mulanya digambarkan kemunculan Ho dan kerabatnya. Kemudian ditampilkan perebutan kekuasaan antargangster, maraknya korupsi di kepolisian Hong Kong, serta kerja sama antara gangster dan polisi Hong Kong dalam menjalankan bisnis narkotik. Penutupnya adalah kemunculan Independent Commission Against Corruption (ICAC) atau Komisi Pemberantasan Korupsi Hong Kong pada 1974 yang memaksa Ho dan Lee menghentikan bisnis haramnya.
Chasing the Dragon juga menyuguhkan sejumlah adegan laga yang menegangkan tapi terasa wajar. Tak ada yang berlebihan dari adegan perkelahian dalam film berbahasa Kanton, Tiochiu, Inggris, dan Thai ini. Semuanya pas untuk menggambarkan permusuhan dan balas dendam yang menjadi aroma dalam film ini. Yang membingungkan barangkali adalah memilah kubu protagonis dan antagonis. Sebab, semuanya berjuang untuk melanggengkan bisnis hitam mereka.
Di balik segala konflik yang ada, Chasing the Dragon sebenarnya menyisipkan pesan tentang integritas dan kejujuran. Dalam salah satu adegan, ditampilkan seorang polisi bernama Jan yang menolak sogokan uang, berkotak-kotak kue bulan, dan anggur dari Ho. Jan beralasan dia adalah pejabat publik yang tak bisa menerima pemberian semacam itu. Jan kemudian marah kepada Ho sambil berkata, "Selama 20 tahun menjadi polisi, saya tidak pernah menerima suap!"
Prihandoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo