Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Spesies Baru Orang Utan di Ekosistem Batang Toru

Peneliti Indonesia dan sembilan negara lain mengidentifikasi spesies baru orang utan di Tapanuli. Rentan punah.

12 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Spesies Baru dari Batang Toru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUJI Rianti semakin penasaran. Hasil analisis genetika yang ia lakukan untuk program doktor di laboratorium Evolutionary Genetics Group di Department of Anthropology University of Zurich, Swiss, menemukan perbedaan yang besar antara orang utan di ekosistem Batang Toru, Tapanuli, Sumatera Utara, dan orang utan dari daerah-daerah di utara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perbedaan itu sangat mencolok sehingga orang utan Batang Toru seperti terisolasi dari spesies orang utan Sumatera, Pongo abelii. "Ada 10-20 lokus yang berbeda dibandingkan dengan populasi orang utan Sumatera lainnya. Perbedaan itu cukup besar," ujar Puji, yang ditemui di kantornya, Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor (IPB) di Dramaga, Bogor, Jawa Barat, Senin pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Analisis genetika Puji yang dimulai pada 2009 itu bagian dari penelitian gabungan bidang konservasi genomik-genetika, morfologi, ekologi, dan perilaku primata yang melibatkan 37 peneliti dari 35 institusi ilmiah dari 10 negara. Laporan mereka yang berjudul "Morphometric, Behavioral, and Genomic Evidence for a New Orangutan Species" terbit di jurnal terkemuka Current Biology dua pekan lalu. Itu artinya penetapan orang utan Batang Toru sebagai spesies baru dengan nama Pongo tapanuliensis diakui masyarakat ilmiah internasional.

Ian Singleton, Direktur Program Konservasi Orangutan Sumatra (SOCP) Yayasan Ekosistem Lestari, mengatakan, di dunia, hanya Republik Demokratik Kongo yang memiliki tiga spesies kera besar dan kini Indonesia menjadi negara kedua. "Sumatera Utara satu-satunya provinsi yang punya dua spesies orang utan," ujar Singleton, yang ikut penelitian ini, dalam konferensi pers di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu dua pekan lalu.

Penetapan spesies baru ini membuat jumlah spesies kera besar di dunia menjadi tujuh, yakni gorila dataran tinggi (Gorilla gorilla) dan gorila dataran rendah (Gorilla beringei); simpanse (Pan troglodytes); bonobo (Pan paniscus); orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus); orang utan Sumatera (Pongo abelii); serta orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis).

Sri Suci Utami-Atmoko, peneliti Pusat Riset Primata Universitas Nasional, Jakarta, menyebutkan penelitian ini bukan penemuan orang utan baru, melainkan pengkategorian baru berdasarkan hasil riset karena teknologi untuk menganalisis semakin baik. Orang utan, kata dia, sudah lama diketahui ada di hutan Batang Toru, yang berada di tiga kabupaten di Tapanuli. "Awalnya ada informasi dari masyarakat, lalu pada 1997 kolega kami dari Belanda, Erik Meijaard, melakukan ground checking," ujarnya.

Puji menambahkan, Erik Meijaard dan timnya kala itu tengah mencari lokasi untuk reintroduksi orang utan. "Waktu itu Bukit Lawang (Pusat Rehabilitasi Orang Utan Sumatera) belum ada," katanya.

Kemudian, pada 2003, Suci bersama Ian Singleton dan Serge A. Wich dari Liverpool John Moores University, Inggris, menyurvei populasi orang utan liar yang ada di Sumatera. Ada sembilan lokasi yang disurvei. Suci mengatakan area survei cukup luas sampai ke Gunung Sitoli, Padang, hingga Jambi, termasuk Batang Gadis dan Batang Toru. Di Batang Toru, di sebelah selatan Danau Toba itu, mereka menemukan sarang yang ada orang utannya. Penemuan itu dipublikasikan di jurnal Oryx.

Penemuan populasi orang utan Batang Toru pun menjadi perhatian banyak peneliti, di antaranya penelitian perilaku oleh Orangutan Foundation International di Sibualbuali, Sumatera Utara. "Sejak kami mempunyai strategi dan rencana aksi konservasi orang utan, Batang Toru agak dipisahkan dalam analisisnya karena memang perlu kerja lebih di sana," ujar Suci, yang tak ikut menulis laporan di Current Biology itu.

Penelitian genetika juga dilakukan meski memakai teknologi konvensional yang menggunakan sampel feses dan rambut orang utan. Menurut Suci, pada 2011, dalam penelitian Alexander Nater, yang menjadi penulis utama laporan di Current Biology itu, sudah terlihat bahwa orang utan jantan di Batang Toru lebih dekat kekerabatannya dengan orang utan Kalimantan ketimbang orang utan Sumatera yang ada di atasnya.

Kekhasan orang utan Batang Toru itu dibicarakan dalam lokakarya internasional di Universitas Nasional pada 2013. "Tapi saat itu sampel yang dipakai masih belum cukup untuk bisa membuktikan apakah Batang Toru ini subspesies atau spesies tersendiri," ucap Suci, dosen Sekolah Pascasarjana Magister Biologi Universitas Nasional yang menjadi nomine penerima penghargaan bidang konservasi satwa Indianapolis Prize 2017.

Persoalan minimnya sampel itu terjawab dengan penelitian Puji Rianti yang memakai mitokondria DNA, kromosom Y, dan penanda mikrosatelit atau penanda runutan DNA inti yang berulang. "Awalnya topik penelitian kerja sama IPB dan University of Zurich itu adalah genetika populasi orang utan. Tapi saya berfokus hanya pada orang utan Sumatera karena sudah banyak yang meneliti orang utan Kalimantan," kata Puji.

Penelitian genetika Puji itu kemudian dilengkapi oleh kolega sesama almamaternya, Alexander Nater dan Maja P. Mattle-Greminger, dengan melakukan analisis genomik orang utan Sumatera dan membandingkannya dengan orang utan Kalimantan. Mereka menemukan perbedaan signifikan antara orang utan Batang Toru dan dua spesies lain. Perbedaan itu bahkan lebih besar dari perbedaan genetik antarspesies gorila ataupun antara simpanse dan bonobo.

Bukti genetik itu dirasa belum cukup sehingga penelitian morphometry dilakukan untuk mencari bukti perbedaan dari sisi ukuran tulang dan tubuh. Peneliti Indonesia yang tengah menempuh sekolah doktoral di School of Archaeology and Anthropology, Australian National University, Anton Nurchayo, pun turun tangan. Ia membandingkan data ukuran tulang dari 33 orang utan jantan yang diperoleh dari 10 lembaga penyimpan spesimen di dunia dengan tengkorak dan kerangka orang utan jantan Batang Toru yang disimpan di Museum Zoologicum Bogoriense Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Cibinong, Bogor.

"Kebetulan sekali ada laporan seekor orang utan jantan yang mati akibat konflik dengan penduduk dekat Sugi Tonga, Marancar, Tapanuli Selatan, di kawasan hutan Batang Toru pada November 2013," ujar Puji.

Menurut Yenny Saraswati, senior veterinarian di karantina Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP), Raya, orang utan yang diselamatkan dari kondisi luka parah akibat penyiksaan, dirawat sepekan sebelum akhirnya mati. "Setelah dilakukan nekropsi (bedah) untuk mengetahui penyebab kematiannya, Raya dikuburkan di area khusus karantina," ujar Yenny. Untuk keperluan ilmu pengetahuan, kerangka Raya diserahkan ke LIPI pada 8 Desember 2016.

Anton menggunakan tengkorak dan kerangka Raya sebagai pembanding untuk 33 sampel penelitian. Menurut Puji, perbedaannya sangat jelas. Ukuran tengkorak dan tulang rahang Raya lebih kecil daripada dua spesies orang utan lainnya.

Penetapan Pongo tapanuliensis sebagai spesies ketiga orang utan dibayangi ancaman kepunahan jenis ini. Populasinya diduga tersisa kurang dari 800 individu. Populasi itu pun terpecah menjadi tiga blok habitat di Ekosistem Batang Toru, yang luasnya 150 ribu hektare. "Ironisnya, di blok barat itu yang populasinya paling tinggi atau sekitar 400 individu, status kawasannya adalah area penggunaan lain yang tak dilindungi pemerintah," kata Suci.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno mengatakan perlu ada pengelolaan efektif kawasan yang didukung masyarakat, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat. "Akan kami lakukan dialog publik untuk membahas opsi menjadikan Ekosistem Batang Toru itu sebagai kawasan lindung atau suaka margasatwa ataupun opsi membangun tiga koridor yang menghubungkan antarblok itu," ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Spesies Baru dari Batang Toru"

Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus