ORGANISASI Kesehatan Dunia (WHO) melansir sebuah data mengejutkan tahun lalu. Ada 400 juta penduduk dunia yang, menurut lembaga itu, menderita gangguan jiwa. Tentu saja dengan tingkat keragaman yang tinggi?dari stres, depresi, paranoid, hingga skizofrenia (gila) yang akut. Di Indonesia sendiri, jumlah penderita gangguan jiwa mengalami peningkatan pesat. Kini, menurut data resmi Departemen Kesehatan, ada 20 juta orang Indonesia yang terganggu jiwanya.
Penyebabnya memang amat beragam. Tapi Louis Suryantha Chandra, seorang dokter yang menjabat Direktur Sanatorium Dharmawangsa, menyebut tiga penyebab utama gangguan itu. Pertama, adanya gangguan pada organ tubuh atau otak. Biasanya gejala ini muncul akibat pengalaman gegar otak atau hantaman benda keras. Tapi gejala yang sama didapat pada pasien yang terserang malaria atau hepatitis. Kedua penyakit itu mengeluarkan toksin yang mempengaruhi kerja otak.
Penyebab gangguan jiwa lainnya adalah pengalaman psikologis yang menyesakkan. Seseorang yang biasa hidup dalam keadaan "serba enak" bisa jadi akan mengalami gangguan jiwa bila kenikmatan itu dicabut. Di samping kedua faktor itu, masih ada faktor budaya yang mengakibatkan orang hilang ingatan. "Orang yang selalu hidup di kampung terpencil bisa menjadi gila bila langsung dikirim ke Amerika," kata Louis Suryantha Chandra.
Untuk menyembuhkan penderita gangguan jiwa, saat ini telah berkembang pelbagai pendekatan. Selain pemberian obat-obatan, ada dua terapi penting yang harus dijalani pasien: psychotherapy (pendekatan psikologis) dan sociotherapy (pendekatan sosial). Untuk itu, peran keluarga dan masyarakat menjadi sangat vital. "Berbeda dengan penyakit lain," ujar Louis Suryantha Chandra, "gangguan jiwa tak bisa disembuhkan hanya oleh dokter."
Sty, Edu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini