Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBENARNYA Ferry tak meragukan keterampilan dan pengetahuan dokter Indonesia. Namun, ketika manajer sebuah perusahaan swasta di Jakarta yang usianya belum genap 40 tahun itu divonis harus menjalani operasi bedah jantung, ia memilih terbang ke Perth, Australia. Teknologi dan fasilitas rumah sakit di Jakarta, yang sebenarnya cukup memadai untuk sebuah operasi bedah jantung, rupanya belum cukup meyakinkannya. Di sebuah rumah sakit di Perth, akhirnya ia menjalani operasi berbiaya A$ 33 ribu atau setara dengan Rp 160 juta. ”Saya pilih yang servis pascaoperasinya bagus,” katanya.
Anjloknya nilai rupiah rupanya tak menciutkan upaya orang untuk menjalani operasi jantung di luar negeri. Alasan yang kerap muncul, rumah sakit di luar negeri—tentu di negara maju—menyediakan layanan pascaoperasi yang lebih meyakinkan. Pasien dirawat di ruang perawatan intensif (ICU) dengan pantauan ketat menit per menit. Dokter dari berbagai bidang seperti jantung, saraf, dan ginjal terlibat aktif dalam monitoring ini. Alhasil, semua reaksi penolakan tubuh pasca-operasi ditangani dengan pendekatan multidisiplin.
Penanganan pascaoperasi yang multidisiplin inilah yang tampaknya kurang digarap rumah sakit lokal. Hal itu tertangkap dalam ”Weekend Course in Cardiology”, dua pekan lalu, di Jakarta. Sekitar seribu dokter dari seluruh Nusantara mengikuti forum kerja sama Bagian Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita ini.
Iqbal Mustafa, spesialis pascaoperasi bedah jantung di RS Harapan Kita, mengakui bahwa layanan pascaoperasi adalah titik lemah bedah jantung di negeri ini. Tak sedikit dokter yang menilai suksesnya sebuah operasi tanpa menghitung kondisi pasien setelah keluar dari ruang bedah. Perawatan di ruang ICU kerap hanya dinilai sebagai proses pemulihan yang kurang diperhitungkan. Padahal, di luar ruang bedah, masih banyak persoalan yang harus ditangani.
Misalnya operasi jantung yang menggunakan alat jantung dan paru-paru (heart & lung machine). Operasi ini potensial mengundang berbagai reaksi seperti pendarahan, luka pada jaringan tubuh, atau kerusakan fungsi organ penting seperti paru-paru, ginjal, dan otak. Yang juga fatal adalah bila terjadi resepsis atau infeksi pada darah yang kemudian beredar menginfeksi seluruh tubuh.
Beragam reaksi fatal tersebut lazimnya muncul 24-76 jam setelah operasi rampung. Reaksi juga bisa berlanjut hingga sindrom gagal multiorgan yang seperti efek domino: satu demi satu organ gagal berfungsi. Akibatnya, antara lain, muncul serangan stroke atau gagal ginjal yang mematikan. Itulah sebabnya dokter yang memantau pascaoperasi harus sanggup melakukan intervensi dari tahap ringan sampai agresif. ”Bila perlu,” kata Iqbal, ”dilakukan saring darah lanjutan untuk mengambil alih fungsi ginjal.”
Reaksi yang fatal semacam itu bisa dicegah dengan penanganan pascaoperasi yang benar. Ini membutuhkan pemantauan ketat yang mesti didukung rekaman semua indikator tubuh dalam komputer. Dengan demikian, dokter bisa mencegah perluasan gejala abnormal sejak dini. Sayangnya, fasilitas ini agaknya masih tergolong ”mewah” buat banyak pasien di negeri ini. Soalnya, hanya rumah sakit besar dengan peralatan ICU dan tenaga paramedis memadai yang mampu memberikan ”kemewahan” itu.
Apa boleh buat, bagi kebanyakan pasien jantung Indonesia, penanganan penyakit jantung memang tidak bisa diperoleh dengan murah. Operasi bypass koroner di dalam negeri saja membutuhkan paling sedikit Rp 50 juta. Padahal, setiap tahun muncul 700 pasien penyakit jantung yang sebagian besar ternyata datang dari kalangan kurang mampu. Memang, bagi kalangan seperti ini, pemerintah setiap tahun mengulurkan subsidi untuk operasi jantung di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, sebesar Rp 3,5 miliar. Tapi, dalam prakteknya, RSCM membayar Rp 7,5 miliar untuk subsidi pasien yang tidak mampu. Akhirnya, ”RSCM terpaksa nombok,” kata Profesor Ahmad Djojosugito, Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan.
Yayasan Jantung Indonesia (YJI) pun turut ambil bagian dengan membantu 25 persen ongkos operasi pasien yang miskin. Hanya, kemampuan finansial yayasan ini juga terbatas, sehingga bantuan bagi penderita enyakit yang paling banyak menyebabkan kematian di Indonesia itu disalurkan sangat selektif. Guna memastikan bantuan tepat sasaran, ”Kami langsung mendatangi rumah pasien,” kata Profesor Asikin Hanafiah, Ketua Badan Ilmiah YJI.
Berkibarnya ongkos operasi, menurut Hafil Abdulgani, ahli bedah jantung di Rumah Sakit Pusat Pertamina, bersumber pada mahalnya peralatan operasi. Mesin heart & lung, misalnya, bernilai Rp 12 miliar per unit. Alat ini berfungsi menggantikan kerja jantung, yakni memompa darah ke seluruh tubuh, selama proses pembedahan berlangsung.
Komponen lain yang dibutuhkan dalam operasi yang harus diimpor juga menyebabkan operasi tak bisa ditekan lebih murah. Klep jantung buatan untuk mengganti katup jantung yang rusak, misalnya, berharga Rp 12 juta. Selain itu, mesin jantung dan paru-paru memerlukan penunjang oksigenator—berfungsi mengubah CO2 menjadi O2—yang bernilai Rp 10 juta. ”Alat ini sekali pakai langsung buang,” kata Hafil.
Berkaitan dengan ongkos inilah terobosan metode operasi jantung sangat dibutuhkan. Syukurlah bagi pasien, belakangan berkembang teknologi operasi yang tidak membutuhkan mesin heart & lung plus oksigenator yang mahal. Operasi yang dilakukan selagi jantung berdenyut ini berlangsung dengan bantuan penyangga (octopus arm). Tetap berfungsinya jantung selama operasi ini membuat reaksi penolakan tubuh bisa ditekan. Dan tingkat keberhasilan operasi pun relatif tinggi.
Metode yang dikembangkan Profesor Federico J. Benetti dari Argentina ini sanggup menekan ongkos operasi sampai 25-35 persen. Namun, operasi jantung berdenyut ini tak berlaku bagi semua pasien. Operasi jantung berdenyut membutuhkan syarat khusus, misalnya diameter pembuluh darah cukup lebar (lebih dari 1,5 milimeter), lokasi penyumbatan ada di permukaan jantung (epikardial), dan tidak ada pengapuran pada dinding arteri yang akan dibedah.
Menurut Hafil, baik operasi jantung konvensional maupun operasi jantung berdenyut sudah bisa dilakukan dengan baik oleh dokter ahli Indonesia. Hanya, Hafil menekankan, rumah sakit di Indonesia memang masih perlu menggenjot mutu pelayanan pascaoperasi, sehingga pasien tak perlu terbang ke luar negeri mengupayakan kesembuhan dengan biaya yang jauh lebih mahal.
Mardiyah Chamim, Dwi Arjanto, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo