Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Tix-Oi Sek-et Sev-eh, Wahai Trekkies

Kegemaran terhadap Star Trek tak sebatas film. Mereka menjadikan kisah fiksi sains itu bagian dari cara hidup mereka, selain untuk hobi. Kegiatan terbaru komunitas trekkies di Indonesia, menerbitkan buku kumpulan cerita pendek sains akhir Juni ini.

22 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan orang berkostum aneh terselip di antara ratusan penonton di Teater IMAX Keong Emas Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Mereka mengenakan kaus lengan panjang berpenutup sampai leher, dengan warna-warna kusam. Terkesan futuristik. Itulah bagian dari kemeriahan di antara acara pemutaran Star Trek, The Future Begins, film layar lebar Star Trek yang kesebelas.

Minggu pagi dua pekan lalu itu adalah hari berkumpulnya trekkies terbesar di Indonesia. Sekitar 800 orang penggemar Star Trek menyaksikan film layar lebar produksi Paramount Pictures itu. Acara tambahannya adalah lomba pengguna kostum ala Star Trek.

Pemutaran film di layar supergede adalah buah kegigihan trekkies yang tergabung dalam komunitas Indo-Star Trek. ”Ada keraguan apakah film Star Trek masih diminati di sini,” kata Bowo Trahutomo, 36 tahun, salah satu penggiat. Menurut manajer di sebuah perusahaan consultant engineering di Jakarta itu, indikasi keraguan terlihat dari catatan bahwa hanya film layar lebar Star Trek ketujuh, Generations, yang masuk Indonesia pada 1994.

Komunitas Indo-Star Trek kemudian melobi PT Kamila Internusa, pengimpor film, agar mendistribusikan film Star Trek terbaru di sini. Komunitas memberi jaminan sukses, antara lain dengan menggelar acara nonton bareng itu. Ternyata responsnya bagus: dua minggu 600 tiket ludes. Sampai penjualan ditutup, masih tercatat 150 orang dalam daftar tunggu.

Pemutaran film itu, selain menjadi pengobat rindu penggemar lama Star Trek, juga upaya mendapat penggemar baru. ”Star Trek tidak hanya menawarkan action science fiction yang memukau, juga menyimpan banyak pesan moral dan kearifan,” kata Bowo.

Gene Roddenberry memang menciptakan Star Trek melewati batas zamannya. Bayangkan, pertama kali tayang dalam serial televisi di Amerika Serikat pada 1966, film ini sudah mengantarkan fantasi ke ruang keluarga tentang petualangan pesawat ruang angkasa raksasa USS Enterprise di abad ke-23 yang dihela ratusan manusia lintas bangsa.

Tokohnya antara lain Captain James T. Kirk, Mr. Spock—bangsa cerdas tanpa emosi dari Planet Vulcan—Dr. Leonard McCoy, Sulu, Lt. Uhura. Misi pesawat itu mencari kehidupan dan menjalin hubungan dengan kehidupan di luar bumi. Hingga kini kisah itu menelurkan lebih dari 700 episode film seri, 11 versi layar lebar, serta ratusan novel, buku, atau video games. Di Indonesia, awal perkenalan dengan Star Trek adalah ketika film serinya diputar di TVRI pada 1970-an dan RCTI pada 1990-an.

Kegilaan trekkies diwujudkan dengan melahap kisah-kisahnya dalam film, buku, novel, sampai mengoleksi pernak-pernik Star Trek. Itu tidak cukup. Para ”penggila” ini mencecap dalam-dalam pesan Star Trek untuk kemudian diterapkannya dalam kehidupan mereka. Trekkies sejati pun pasti punya idola dalam Star Trek.

Ismanto Hadi Saputro, 30 tahun, mempraktekkan nilai-nilai Star Trek dalam menjalani profesi desainer grafis. Dia menjaga semangat dengan slogan-slogan di film. ”Berkembang atau mati, itu yang saya pegang,” katanya.

Penggemar lain, Monang Pohan, 40 tahun, lain lagi. ”Rumus-rumus yang kita pelajari di sekolah menjadi nyata di Star Trek,” kata karyawan perusahaan teknologi informasi itu. Monang meyakini spekulasi-spekulasi dalam Star Trek bisa menjadi kenyataan pada masanya nanti. Dari sisi teknologi, dia mencontohkan dengan penggunaan communicator mirip handphone clip yang digunakan Captain Kirk. ”Pada 1966, siapa yang menyangka alat komunikasi itu, 30 tahun kemudian, bertebaran di mana-mana,” ujarnya.

Dalam bidang hukum, misalnya, Monang menambahkan, hubungan makhluk antarplanet mulai terlihat relevansinya dalam kasus hangat belakangan ini, Manohara versus suaminya yang berbeda kewarganegaraan. ”Mau pakai hukum negara yang mana?”

Kerja sama antarmanusia yang berbeda latar belakang ditonjolkan dalam Star Trek. Itu terlihat dari karakter awak Enterprises yang berbeda-beda baik ras, bangsa, maupun agama. Bowo menggarisbawahi, pesan itu menjadi kritik sosial atas kondisi dunia yang masih rentan dengan potensi konflik karena perbedaan.

Ketika kisah Star Trek diciptakan, Inggris dan Irlandia, misalnya, sering bentrok senjata karena perbedaan ras, agama, dan wilayah. Tahun itu juga potensi perang nuklir blok barat dan timur seakan tinggal menunggu knop ditekan. ”Utopia sebuah harmoni, tapi bukan tidak mungkin kita perjuangkan bersama,” kata Bowo.

Bowo mencukil ucapan Mr. Spock menjelang ajalnya pada akhir film Star Trek kedua, The Wrath of Khan, yang diulangi pada awal pembuka film Star Trek ketiga, The Search for Spock. ”Kepentingan dan keselamatan orang banyak jauh lebih utama dan penting daripada kepentingan segolongan atau satu orang.” Baginya, ucapan itu relevan terus sepanjang masa.

Akhmad Pompom Hersapto, 30 tahun, pun terpesona dengan model penyelesaian konflik. ”Diplomasi dulu baru militer, beda dengan film-film lain yang langsung membudayakan kekerasan,” kata pengusaha event organizer itu.

Bagaimana penggemar menyerap ”ajaran” Star Trek memang bergantung pada latar belakang pendidikan, profesi, dan sudut pandang masing-masing. Sehingga ada kebutuhan mendiskusikan dengan sesama trekkies. Lahirlah komunitas yang memungkinkan anggotanya berbagi dan menyebarluaskan nilai-nilai yang diyakini.

Komunitas penggemar Star Trek di Indonesia sejauh ini terbangun dalam tiga generasi. Pada 1995, komunitas diberi nama USS Batavia, digagas Monang Pohan. Berawal dari kegiatan Monang dan tiga temannya menonton Star Trek layar lebar ketujuh, Origins, lalu mereka memburu penggemar lain dengan memasang iklan di majalah remaja Hai dan Aneka. Terkumpullah 80 orang. ”Belum ada Internet, waktu itu kami berkirim info via pos,” dia mengisahkan. Sempat jumpa darat di sebuah kafe di Ratu Plaza, Jakarta. Tapi komunitas generasi pertama ini mati suri.

Generasi kedua muncul pada 1999, yang ditandai pembentukan e-groups bernama Trekkliestlist, digagas Puruhito Sidikerto. Komunikasi dimatangkan melalui mailing list oleh generasi ketiga, pada 2003, yang dirintis Ismanto Hadi. Komunitas benar-benar berdiri formal pada 15 April 2006, ketika para anggotanya menggelar pertemuan perdana yang diistilahkan dengan First Contact. Istilah ini diambil dari judul film layar lebar Star Trek kedelapan. Tanggal pertemuannya pun bertepatan dengan dimulainya misi NX-01 Enterprise dalam kisah saga Star Trek dengan setting waktu 2151.

Hingga kini komunitas Indo-Star Trek terus bergairah. Mereka punya website, mailing list, juga forum dan grup di situs jejaring sosial Facebook. Anggota yang terdaftar mencapai 500 orang. Kegiatannya mencakup diskusi sains, pembuatan kostum, wargames, pameran di World Book Day, dan ajang lain. Komunitas ini juga menciptakan boardgames Battle of Starships dan Q Cardgame. Yang jelas, fungsi komunitas adalah mempermudah akses anggota untuk memperoleh film Star Trek, buku, novel, kostum, hingga koleksi lain.

Proyek komunitas setelah nonton bareng adalah penerbitan buku kumpulan 11 cerita pendek fiksi sains yang ditulis 11 trekkies. Rencananya diluncurkan pada 27 Juni mendatang. ”Angka 11 itu untuk menyambut film layar lebar yang kesebelas,” kata Bowo.

Komunitas ini menjaga komitmen minimal dalam hal berkomunikasi dengan moto ”to boldly go where no Indonesian has gone before”. Lagi-lagi, baris ini juga diadopsi dari kisah Star Trek yang aslinya menunjukkan visi mengarungi angkasa luar: to boldly go where no man has gone before.

Seruan-seruan dalam kisah memang populer dalam komunitas. Misalnya Qapla!, dari bahasa Klingon dalam Star Trek untuk menggugah semangat. Lainnya, Tix-Oi Sek-et Sev-eh, yang lebih populer dengan Live Long and Prosper, panjang umur dan sejahtera.

Bicara tentang bahasa fiksi itu, bukan hanya komunitas penggemar Star Trek yang menggunakan. Pada 2004 radio internasional Jerman Deutsche Welle mengadopsi bahasa Klingon untuk menambah bahasa baru dari 30 bahasa yang digunakannya, sekaligus menandai semangat era keruntuhan Tembok Berlin yang menandai usainya Perang Dingin.

Star Trek memang milik dunia. Hampir setiap negara memiliki komunitas penggemar Star Trek. Mereka memiliki mimpi tentang harmoni dalam perbedaan, kerja sama, perdamaian, juga capaian teknologi mutakhir. Qapla!

Harun Mahbub

Star Trek pun Punya Bahasa
Inilah beberapa contoh bahasa Klingon, makhluk dalam Star Trek yang berasal dari Planet Klingon.

quchjaj qoSlIj!selamat ulang tahun
qapla!sukses (salam Klingon)
qaparHa!aku cinta kamu
qatlho!terima kasih
be!nalistri
majQa!bagus
jIyajsaya mengerti
jIyajbe!saya tak mengerti
nuqneHmau kamu apa sih?
nuqDaq?di mana?
qaSuj’asaya mengganggu?
qay’begak masalah!
Ha’DibaH!binatang! (makian Klingon)
HighoSke sini dong
vIta’pu’be’bukan saya yang melakukannya
(Sumber: Klingon Language Institute, Amerika Serikat)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus