Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=verdana size=1>Butet Kartaredjasa:</font><br />Nanti Saya Contreng Semua

22 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN Butet namanya kalau tak senggol-sini-sentil-sana. Biar ditambahi Kartaredjasa, tetap saja presiden ecek-ecek dan ”raja monolog” tanpa mahkota—tapi pecandu jamu mahkota dewa—itu sekali waktu bisa bikin setori. Misalnya ketika ”ngamen” dalam Deklarasi Pemilu Damai yang digelar Komisi Pemilihan Umum, Rabu malam dua pekan lalu.

Dalam acara yang dihadiri tiga pasang calon presiden/wakil presiden itu—Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, dan Jusuf Kalla-Wiranto—Butet menyindir lembaga survei pemilu yang dianggapnya tidak independen. ”Mau menang satu putaran bisa, mau yang paling populer juga bisa,” katanya.

Butet juga ”memuji” kehebatan pesawat-pesawat TNI. ”Enggak dipakai perang, jatuh sendiri,” katanya, disambut gelak ramai hadirin. Adapun mengenai Komisi Pemilihan, ”KPU memang konsisten,” kata Butet, ”yaitu konsisten untuk tidak capable.”

Tak dinyana, ada bagian seloroh Butet yang membuat kubu SBY-Boediono tidak nyaman. Apalagi putra sulung mendiang Bagong Kussudiardjo itu tampil atas permintaan tim kampanye Mega-Prabowo.

Namun Butet kalem-kalem saja. Dia yakin, SBY tak tersinggung oleh isi monolognya. ”Mereka yang teriak-teriak itu kan yang ada di belakang?” katanya Rabu pekan lalu, ketika berada di Pantai Sanur, Bali. Kepada Rofiqi Hasan dari Tempo, ia menjawab berbagai pertanyaan seraya sesekali berkelakar.

Ini bukan pertama kalinya Anda ”bermasalah” dengan SBY?

Konon begitu. Ceritanya..., dalam perayaan Natal 2005, saya bersama Nano Riantiarno dan Djaduk Ferianto diminta Konferensi Wali Gereja Indonesia mentas dengan cerita Habitus Baru atau impian mengenai masa depan. Nah, saya kan mesti cerita apa yang terjadi di masa lalu? Maka kami tampilkan juga kisah seorang penguasa yang terlalu lama memerintah. Di situ saya sesekali menirukan suara Presiden Soeharto.

Bukankah isinya tidak menyinggung Presiden SBY?

Waktu itu SBY datang, dan rasanya memang tidak ada apa-apa. Kami percaya diri, karena naskah yang dibuat Nano kan juga disortir oleh Konferensi Wali Gereja? Waktu latihan dan geladi resik, ada juga menteri yang datang, dan tidak ada masalah. Jadi, kalau kemudian ada orang-orang di sekitar SBY yang ribut, kami cuek saja. Tapi ternyata masalahnya benar-benar serius. Sebab, dua tahun kemudian, ketika Konferensi Wali Gereja mengajukan nama saya untuk tampil lagi, ternyata ditolak oleh Istana.

Apa yang terjadi pada ulang tahun koran Jurnal Nasional, dua tahun lalu?

Saya diundang tampil membaca puisi, bersama SBY dan Sutardji Calzoum Bachri. Dalam jumpa pers, Andi Mallarangeng juga jelas mengatakan, malam itu akan ditampilkan bersama tiga presiden: Presiden Republik Mimpi, Presiden Penyair, dan Presiden Republik Indonesia. Nah, ternyata saya dipaksa pembawa acara naik ke panggung sebelum SBY datang. Saya keki juga, kok beda dengan rencana awal. Tapi akhirnya saya ngerti. Begitu saya selesai membaca puisi Tanah Air Mata karya Sutardji, hadirin langsung diminta berdiri karena SBY memasuki ruangan. Wah, jan lucu tenan....

Setelah semua kejadian itu, bagaimana SBY di mata Butet Kartaredjasa?

Saya berprasangka baik, SBY itu seorang demokrat. Tapi mungkin orang-orang di sekitarnya ingin memagari. Sebab, setiap kali Andi Mallarangeng menjadi tamu di Republik Mimpi, pasti dia bilang ada titipan salam dari Pak SBY. Setelah acara Natal itu, saya juga beberapa kali bertemu SBY, dan beliau biasa-biasa saja mengajak saya ngobrol.

Kabarnya, Anda malah sempat memberikan buku untuk SBY?

Ya. Waktu itu beliau sedang di Yogya, dan karena saya baru saja meluncurkan buku baru, saya hubungi Andi untuk minta waktu. Akhirnya, saya diterima di Gedung Agung ketika sarapan pagi. Jadi, kesan saya: beliau seorang demokrat sejati karena tak marah ketika dikritik. Kalau zaman Pak Harto, kan tidak mungkin seperti itu?

Ada maksud khusus memberikan buku Presiden Guyonan itu?

Saya harap beliau sempat membaca buku itu, dan bisa tertawa. Ada beberapa bagian yang mengkritik kebijakan beliau, seperti soal Padi Supertoy dan Blue Energy. Sampai saya bilang, daripada sok serius dan terus salah, kenapa tidak jadi presiden guyonan saja yang sesekali benar? Ha-ha-ha….

Ketika acara di KPU itu, apa sudah menduga akan ada masalah?

Yang ada dalam benak saya hanyalah, mereka orang matang, jadi bisa diajak bercanda. Saya sempat melihat dari panggung, SBY kelihatan berubah gesture tubuhnya, tapi saya ragu apakah dia marah. Mereka yang teriak-teriak itu kan yang ada di belakang? Kalau ternyata benar-benar marah, berarti saya salah.

Anda kok mau diminta tampil mewakili tim Mega-Prabowo?

Ceritanya, sebelum itu saya sebetulnya sudah tampil memparodikan sosok Boediono yang tayang di JakTV dan sebuah TV lokal. Saya bersedia karena mestinya acara itu berlangsung terus, dan saya diminta memparodikan masing-masing capres dan cawapres. Nah, sebelum memparodikan Boediono, saya sempat di-briefing tentang materinya oleh Rizal Mallarangeng, anggota tim kampanye SBY-Boediono. Dia minta supaya saya bisa membantu (SBY-Boediono), dan saya jawab, ”Gampanglah....” Ternyata, seminggu kemudian malah tim Mega-Prabowo yang menghubungi saya. Dan karena secara politik saya netral, ya saya iyakan saja.

Ada syarat-syaratnya?

Syaratnya, tidak ada propaganda harus memilih ini atau itu. Saya juga meminta tidak ada sensor naskah untuk pertunjukan lima belas menit itu. Mereka ternyata setuju. Ketika saya bacakan naskahnya, hanya ada satu koreksi, yang meminta kata ”pertama-tama” diubah menjadi ”yang nomor satu”.

Apakah ini bisa diartikan mendukung Mega-Prabowo?

Ini bukan keberpihakan. Hal itu juga saya katakan di panggung. Saya di situ ibarat tukang jahit, terima pesanan saja. Kalau Jusuf Kalla ingin saya tampil untuk dia, ya saya iyakan juga. Memang bisa dicap oportunis, tapi saya kan memang bukan politikus? Saya ini aktor.

Bayarannya lebih tinggi dari biasanya?

Dibayar lebih tinggi, cukup untuk beli kuda kerakyatan, ha-ha-ha.... Persisnya berapa, itu aurat, tidak boleh diperlihatkan.

Setelah kejadian itu, apakah sempat kontak dengan SBY atau tim suksesnya?

Enggak. Ya, ketemu di acara itu saja. Malah yang kemudian mengontak saya tim Mega-Prabowo. Saya diminta menjadi bintang iklan mereka. Mereka menanyakan tarifnya. Saya bilang, kalau yang itu, ceritanya lain. Saya tolak.

Ada kesulitan memparodikan pasangan calon presiden itu?

Kesulitannya, saya bukan mengimitasi, tapi mengartikulasikan harapan khalayak kepada mereka langsung di depan mereka. Kalau di Republik Mimpi, lebih gampang karena Effendi Gazali yang mengatur, saya tinggal main.

Dari ketiga pasangan calon itu, Anda sebenarnya condong ke mana?

Semua bagus, tapi sekaligus bermasalah. SBY itu bagus, tapi Partai Demokrat mendukung Undang-Undang Pornografi. Kalau pasangan lainnya, saya khawatir rekam jejak calon yang berasal dari militer. Kita sama-sama tahulah.... Jadi, posisi saya berprasangka baik pada semuanya. Nanti bisa saya contreng semua, kecuali kalau ada malaikat yang membisikkan harus contreng yang mana. Ini namanya golput plus.

Tidak memilih yang paling peduli pada kebudayaan dan seni?

Faktanya, selama lima tahun ini tidak ada perubahan yang mendasar pada bidang kebudayaan. Kebudayaan hanya jadi kelangenan untuk dijual sebagai bagian dari pariwisata. Bukan sebagai upaya nation and character building, seperti kata Bung Karno. Saya belum melihat ketiga pasangan itu paham dan punya komitmen.

Apa pentingnya masalah kebudayaan itu sekarang?

Di tengah pergaulan dunia, kebudayaan sangat penting karena memberikan ciri dan karakter suatu bangsa. Apa beda Jakarta dengan Singapura, kan hanya seperti mata rantai industri kapitalis? Hanya jadi outlet saja. Lihat saja Yogyakarta, kok sampai ada tujuh mal, padahal kota kebudayaan. Beda kalau kita ke India dan Cina, rasanya ada atmosfer lain. Kalau melihat anak muda Indonesia sekarang, hanya genetiknya yang tampak sebagai orang Indonesia, bukan budayanya.

Sepertinya Anda yang lebih layak jadi presiden?

Jangan begitulah.... Ini omongan serius. Kan karena Anda bertanya? Jadi saya mesti menjawab, ha-ha-ha....

Bagaimana kalau banyak yang serius mendukung?

Jadi presiden itu susah, full penderitaan. Ke mana-mana dikawal, isi dompet harus diperlihatkan dengan laporan harta kekayaan. Padahal, soal itu bagi saya merupakan aurat. Lebih ueeenak jadi manusia merdeka, bebas ketawa-ketawa seperti sekarang. Cukup di dunia teater saya jadi presiden. Penampilan dimirip-miripkan dengan SBY, padahal wajah tentu beda.

Apa sudah ada yang pernah menggugat Anda?

Belum. Saya sudah mempelajari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kayaknya belum ada yang berbahaya. Semoga tidak ada peninjauan kembali pada undang-undang itu.

Sebetulnya posisi Anda di mana?

Saya suka pada komentar Veven Sp. Wardhana. Dia bilang, saya ini seperti pemain sandiwara dalam cerita Hamlet yang disewa Hamlet untuk membuat pertunjukan. Isinya mengkritik dan menelanjangi kekuasaan.

Jadi, akan terus berada di luar lingkaran politik?

Pokoknya emoh, lebih baik berteman saja dengan mereka. Kebetulan saya dekat dengan banyak di antara mereka, dan kalau ketemu ya tetap bercanda dan saling maki. Lagi pula saya tahu, kok, tim-tim sukses itu kalau di luar juga teman-teman sendiri, saling bercanda dan main-main. Jadi, boleh dibilang, pemilihan presiden sekarang ini juga semacam sandiwara besar.

Tapi sebagian besar rakyat menganggapnya sangat serius?

Sebaiknya rileks sajalah. Serius boleh, tapi tidak usah terlalu kenceng, sampai bertengkar. Jangan terlalu muluk-muluk berharap. Jangan menyangka semua serius dan mampu melakukan perubahan besar.

Atau ada calon lain yang lebih pantas versi Butet?

Siapa, ya? Apa Sumanto? Slogannya, ”Bersatu Padu Memilih yang Keliru”, ha-ha-ha....

Anda sepertinya selalu penuh tawa. Memang hidup Anda seperti itu?

Kesalahan pertama saya, seperti yang saya tulis di Facebook, adalah saya selalu percaya filsafat ”Urip mung mampir ngguyu” (hidup itu hanya mampir tertawa). Ternyata saya sering salah, karena ada banyak orang yang selalu serius. Padahal, bagi saya serius itu pun hanya guyonan belaka....

Butet Kartaredjasa Lahir: Yogyakarta, 21 November 1961 Pendidikan: Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (tidak tamat, 1982) Karier: Teater Dinasti (1982-1985) | Teater Gandrik (1985-sekarang) | Komunitas Pak Kanjeng (1993-1994) | Komunitas Seni Kua Etnika (1995-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus