Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marco Kusumawijaya
Pada ulang tahun Jakarta kali ini, pemerintah DKI Jakarta seharusnya sudah menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah untuk kota ini. Rencana yang berlaku sekarang segera habis masanya tahun depan. Penataan ruang adalah tugas pemerintah yang tidak dapat didelegasikan kepada siapa pun.
Karena ruang itu sendiri merupakan sumber daya. Penataan ruang berfungsi mengatur sumber daya paling penting dalam kehidupan bersama. Ruang adalah tempat peristiwa transaksi ekonomi maupun sosial-budaya. Pada ruang melekat sejarah dan makna-makna yang mengalir sampai jauh tanpa dapat dipotong-potong semena-mena.
Suatu Rencana Tata Ruang Wilayah pada dasarnya memaparkan atau setidaknya bersandar pada suatu visi. Visi ini tidak terkira pentingnya untuk memandu kita menuju masa depan, termasuk dalam memecahkan masalah yang ada sekarang.
Kita memang harus menyelesaikan masalah yang selama ini tertunda, misalnya banjir, kemacetan, dan demam berdarah. Tetapi menyelesaikan masalah di depan mata memerlukan visi yang jauh ke masa depan sebagai panduan. Untuk menyelesaikan kemacetan, kita perlu visi tentang angkutan umum dan integrasinya dengan landuse untuk Jakarta hingga akhir abad ini. Untuk menyelesaikan masalah banjir, kita perlu visi tentang pengelolaan air secara komprehensif 100 tahun ke depan. Itulah yang dilakukan oleh para pemimpin dan perencana sepanjang sejarah manusia.
Sekarang kita sudah tahu harganya keterlambatan. Bukan saja biaya untuk memperbaiki menjadi mahal tidak terkira, tetapi juga biaya sosial dan budaya yang membuat kita ribut satu sama lain. Saluran dan kanal di Jakarta yang karena tidak dirawat (antara lain dikeruk) secara berarti selama lebih dari 30 tahun, menurut suatu studi, telah menurun kapasitasnya hingga 40 persen. Menurut studi itu, banjir akan cukup tertanggulangi kalau kapasitas itu dikembalikan seperti semula dan dirawat.
Tindakan tanpa visi komprehensif juga mudah menyebabkan inkonsistensi. Gubernur baru-baru ini mengeluhkan betapa tidak mungkinnya mencapai target jumlah ruang terbuka 30 persen sebagaimana disyaratkan undang-undang. Pada saat yang sama ruang terbuka di bawah jalan layang kereta api di Gondangdia, yang selama ini telah digunakan untuk instalasi komposting dan pembiakan tanaman hias atas prakarsa masyarakat dan kantor kelurahan, telah sebagian digusur untuk perluasan lapangan parkir Buddha Bar.
Inkonsistensi bukan soal sepele. Untuk berubah segera dan besar-besaran, orang perlu percaya bahwa semua pihak akan melakukan bagiannya secara konsisten. Lebih dari sebelumnya, kita kini sungguh memerlukan pemerintah yang dapat dipercaya untuk membuat dan melaksanakan kebijakan dengan konsisten. Tidak ada hal yang terlalu kecil dalam hal ini, sebab taruhannya adalah kepercayaan, yang menjadi dasar bagi keinginan untuk berubah secara mendasar serentak bersama-sama.
Visi diperlukan untuk memberikan jiwa kepada tindakan, sehingga tidak bertentangan satu dengan lain. Kelestarian tidak bisa tidak harus menjadi jiwa baru dalam kita membangun. Soalnya sudah mendesak. Air laut sudah dipastikan akan naik. Gejala urban heat islands (temperatur di tengah kota meningkat melebihi pinggiran, sementara aliran udara melambat) sudah nyata. Tidak ada yang dapat lebih dirusak. Yang dapat dilakukan hanya memperbaiki, ”membangun” kembali.
Tiba-tiba kata ”membangun” berbunyi lain dalam sukma kita. Di dalamnya harus ada paham tentang akumulasi, tentang kelestarian. Kita membangun bukan hanya untuk kita yang hidup di masa kini, tetapi juga untuk hidup yang akan datang. Sebab, kita sekarang sudah menjadi korban dari cara ”membangun” yang tidak lestari dari generasi sebelumnya. Kita tidak ingin mengulanginya. Sudah lama dikatakan bahwa green is the new red, yang saya mengerti sebagai solidaritas intra dan antar-generasi, serta antar-spesies.
Kesempatan membangun yang lestari tak dapat ditunda lagi. Solidaritas pun sedang merebak dalam bentuk prakarsa kelompok-kelompok masyarakat yang berjuang memperbaiki lingkungan. Masyarakat kita telah makin tumbuh sebagai kelas menengah yang jauh lebih cerdas dan mandiri dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Prakarsa dari bawah ini sangat strategis karena mengakar melalui praktek dalam tubuh masyarakat—tempat terjadinya perubahan efektif. Prakarsa ini tidak boleh hilang akibat tindakan atau kebijakan yang salah—yang sayangnya juga masih terus kita alami dari waktu ke waktu.
Sebenarnya berlebihan untuk mengatakan bahwa unsur terpenting sebuah kota adalah warganya. Namun, anehnya sepanjang sejarah ada saja orang yang merasa perlu mengingatkannya kembali. Shakespeare menulis begitu. Sebelumnya Sophocles juga. Kini para pengusung ekonomi kreatif berpendapat hal yang sama juga.
Warga sekarang mudah menyebarkan dan mendapatkan informasi. Proses belajar dan meniru pun makin mudah dan cepat. Tetapi perubahan sistemik memerlukan peran negara, yang harus menjamin bahwa perubahan yang dimulai, didukung, dijaga warga dan ditiru semua pihak, termasuk pemerintah. Negara juga harus memaksa yang bandel. Karena perubahan hanya efektif bila terjadi bersama-sama dan menyeluruh.
Salah satu kelemahan manusia ialah ia tidak ingin berubah sendirian, dan selalu menunggu teladan atau pemimpin. Sebab itu kata-kata Mahatma Gandhi, ”You ought to be the change you wish to see in this world.” Selain itu, manusia juga tidak ingin ”menahan diri sendirian” dalam memanfaatkan sumber daya bersama seperti alam. Sebab, ”Kalau bukan aku, toh ada orang lain yang akan menghabiskannya.”
Kini kita mencatat di seluruh Jakarta ada beragam prakarsa masyarakat. Ada kumpulan ibu-ibu yang ingin mengaktifkan taman lingkungan dan tepian kali untuk berbagai kegiatan. Ada yang memilah sampah dan bikin kompos. Ada yang membangun pusat kesenian. Ada yang mengembangkan komunitas sepeda, peta hijau, tur tempat bersejarah, dan banyak lagi. Pemerintah perlu mendukung semua prakarsa itu supaya beranak-pinak dengan cepat dan masif. Pemerintah dapat memudahkan dan memberikan insentif, alokasikan dana untuk memajukan kompetisi positif di kalangan masyarakat. Warga kadang memerlukan venture capital untuk prakarsa yang hasilnya akan berguna bagi khalayak.
Di Seattle, Amerika Serikat, tersedia anggaran pemerintah kota bagi warga yang memulai bisnis car-pooling, misalnya. Di Aichi, Jepang, ada dana untuk masyarakat yang menggunakan peta hijau untuk mengidentifikasi tindakan meningkatkan kualitas lingkungannya.
Warga perlu mendapat jaminan bahwa pemerintah juga melakukan tugasnya, sehingga ada saling percaya bahwa semua pihak melakukan bagiannya. Di Santa Monica, Amerika Serikat, ada peraturan daerah zero run-off. Warga dilarang membuang air apa pun, termasuk air hujan yang jatuh ke halamannya, ke saluran kota. Sebaliknya pemerintah juga mengumpulkan air hujan yang jatuh di ruang khalayak untuk didaur ulang pada suatu instalasi yang sengaja dibuat mencolok.
Yang perlu dilakukan pemerintah sungguh berat. Diperlukan perombakan epistemologi, metodologi, dan nomenklatur yang telanjur terlembaga dalam undang-undang, pendidikan, dan praktek profesional penataan ruang. Pada suatu diskusi di University of British Columbia, Vancouver, Maret lalu, yang dihadiri ahli Asia seperti Terry McGee (”Desa-Kota”), Michael Leaf, John Friedmann, Jo Santoso, Abidin Kusno, dan beberapa pejabat Bappeda Jakarta, disimpulkan bahwa tanpa perombakan itu, tidak akan diperoleh Rencana Tata Ruang Wilayah yang berguna. Saya menganjurkan bagaimana juga Jakarta harus mencari celah untuk menjadi pionir dengan menerapkan metodologi dan nomenklatur baru. Tapi entah itu mungkin atau tidak, termasuk ada-tidaknya energi di kalangan birokrasi untuk keperluan tersebut. Kalau ada, kita wajib mendukungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo