Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pintu dua lapis setinggi tak sampai 2 meter yang menempel pada tembok tebal di sudut persimpangan Jalan Pemuda, Kota Lama, Semarang, itu menjadi jalan masuk satu-satunya menuju Restoran Toko Oen. Tak terlalu lebar ukuran pintu kayu bersayap dua bergaya Belanda tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski terlihat kecil, dari konstruksinya, pintu itu tampak kokoh dibingkai bangunan yang menjulang tinggi khas arsitektur kolonial. “Silaken masuk.” Malam itu, Kamis, 19 Juli 2018, seorang perempuan berwajah oriental menunggu di dalam sambil menyapa kami para tamunya —Tempo dan tim Kampung Legenda Mal Ciputra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia berambut pendek, hampir semua beruban. Sandangannya batik lurik kombinasi. Sewaktu bicara, logatnya Melayu-Jawa kuno. Perempuan inilah pemilik restoran Toko Oen di Semarang, Jawa Tengah. Ia adalah generasi ketiga pemegang tampuk kepemimpinan sejak toko itu didirikan pertama kali pada 1922 di Yogyakarta. Lalu membuka cabang di Semarang pada 1936. Namanya Jenny.
Ia mempersilakan kami duduk. Seluruh isi ruangannya membawa kami bernostagia pada era penjajahan. Kami bak kembali ke masa para pendulu berjaya di awal 1900-an. Ada meja-meja lawas, pajangan lawas, bingkai foto lawas, lemari kue lawas, dan semua interior yang serba lawas. Pun makin tampak lawas dengan pemandangan atap tinggi dan sudut-sudut ruangan yang melengkung.
Toko Oen yang berkiprah sejak zaman Belanda bukan lagi tampak seperti restoran. Namun museum yang menampilkan sejarah Kota Atlas pada tempo dulu. Musababnya, diding di toko itu ditempeli sejumlah potret penampakan Semarang masa silam.
Ada juga koran-koran media lokal, nasional, dan mancanegara yang dibingkai. Kertasnya kekuningan, sementara tulisannya adalah cetakan mesin ketik manual. Ejaannya adalah ejaan lama. Semisal: ‘yang’ ditulis ‘jang’. Sedangkan vokal ‘u’ diliterasikan ‘oe’.
Kekunoan lainnya tampak pada lemari-lemari kaca klasik menyekat ruangan demi ruangan. Ada yang menarik di antaranya: mesin penyimpan sekaligus penghitung uang koin bernama Guldens Cents. Saya perkirakan mesin ini hanya digunakan sampai 1945-an. Sebab, gulden di Indonesia segera diganti dengan rupiah sesaat pasca-merdeka.
Ruangan dalam Toko Oen memang benar-benar seperti mesin waktu. Jenny berkukuh mempertahankan penampakan restorannya yang bergaya lawas. “Kami sempat gamang pada era 1980-an. Saat modernitas terjadi, restoran cepat saji menyeruak, kami harus memutuskan ikut modern atau mempertahankan keaslian,” kata Jenny, mengenang.
Katanya, itu opsi yang berat. Dengan warisan dari keluarga, ia akhirnya memutuskan mempertahankan orisinalitas Toko Oen. “Dengan banyak konsekuensi yang harus saya terima waktu itu.”
Satu-satunya penanda pergantian zaman yang ia ikuti hanya penambahan alat penyejuk ruangan alias AC. Itu pun dengan banyak pertimbangan. Lantaran gedungnya yang benar-benar sudah tua, ia tak boleh salah langkah menambahkan fasilitas ini-itu, bahkan mengubah bentuk.
Bukan hanya bangunan, menu juga dipertahankan. Mereka konsisten menyajikan sejumlah sajian bergaya Indische--yakni menu dengan rasa perpaduan bumbu Eropa dan Jawa. Lalu ditambahi sedikit ornamen bumbu Chinese.
Menu-menu yang dipertahankan tak jauh-jauh dari lidah kucing atau katetong, es krim tropic, lunpia, dan aneka masakan bestik. “Bestik lidah sapi. Inilah yang juara dari dulu,” katanya.
Jenny mengatakan pelanggannya kebanyakan orang-orang tua. Namun ada juga para cucu yang dulu kabarnya kakek atau neneknya sering makan di Toko Oen.
Kisah tentang Toko Oen tak jarang disebut dalam buku harian orang-orang di masa lalu yang telah tutup usia. Buku harian itu dibaca oleh anak dan cucunya, yang kemudian menimbulkan rasa penasaran. “Keluarga mereka ini sengaja datang hanya karena ingin tahu dan ingin merasakan suasana tempat kakek dan neneknya dulu menghabiskan waktu muda untuk mengobrol,” tutur Jenny.
Toko Oen konsisten menjaga resep. Bahkan, menjaga alat masak. Utamanya khusus untuk es krim. Alat pembuat es krim yang dipakai di Toko Oen didatangkan langsung dari Italia sejak toko itu pertama kali dibuka. Alat itu didatangkan awal 1920-an. Saat ini, toko es krim yang masih mempertahankan menggunakan alat serupa hanya Es Krim Ragusa di Jakarta.
Jenny enggan menggunakan mesin baru karena akan berpengaruh pada rasa dan tekstur yang dihasilkan. Untuk merawatnya, ia sengaja membeli sparepart rongsokan seharga puluhan juta. “Tidak apa-apa dibeli, daripada kami tidak produksi lagi sama sekali,” katanya.
Ia bahkan memiliki teknisi khusus untuk merawat alat es krim ini. Bagi Jenny, merawat Toko Oen bukan hanya upaya untuk melanggengkan bisnis keluarga, tapi juga menghidupkan sejarah masa lalu agar tidak mati. Sebab dari restoran ini, ia tidak hanya mengejar untung, tapi juga mengawetkan kenangan.