Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ophthalmic trauma atau trauma mata berpotensi terjadi kapan saja dan tak bisa diantisipasi karena berlangsung tiba-tiba. Trauma mata merupakan kondisi yang dapat merusak kelopak mata, tulang orbita atau dinding bola mata, bola mata, dan syaraf mata akibat benturan keras benda tajam atau tumpul pada area sekitar mata, serta dapat disebabkan juga oleh trauma panas, radiasi dan trauma kimia. Dampak kerusakan dapat terlihat/dirasakan seketika setelah kejadian, ataupun lambat.
Pada individu yang mengalami trauma mata ringan, seperti kelilipan atau menggosok-gosok mata, acapkali tidak segera memeriksakan diri karena merasa penglihatannya tidak terganggu. Padahal, pengaruh pada penglihatan bisa jadi baru muncul beberapa hari setelah kejadian. Lebih dari itu, trauma pada mata atau ophthalmic trauma berisiko menurunkan tingkat penglihatan secara tajam, bahkan hingga kebutaan. Kebutaan bisa berdampak pada berkurangnya kualitas hidup dan produktivitas penderita. "Artinya, dampak trauma mata tidak hanya dirasakan penderita, tetapi juga keluarga. Penanganan sedini mungkin dan menyeluruh menjadi kunci,” kata Ketua Ophthalmic Trauma Service Jakarta Eye Center, Yunia Irawati pada webinar pada Sabtu 15 Agustus 2020.
Secara umum, ophthalmic trauma terbagi ke dalam dua kategori. Pertama, trauma tertutup (closed-globe injury), yaitu terjadinya kerusakan intraokuler meskipun dinding bola mata (sklera dan kornea) tidak mengalami luka. Beberapa contoh trauma mata tertutup terdiri atas contusio atau kerusakan pada lokasi benturan, dan laserasi lamellar atau luka yang tidak sepenuhnya menembus lapisan sklera dan kornea. Kedua, trauma terbuka (open-globe injury), yakni terjadinya luka yang menembus seluruh lapisan dinding mata. Contoh trauma terbuka adalah ruptur atau luka pada dinding bola mata akibat benda tumpul. Luka itu disebabkan meningkatnya tekanan intraokuler secara tiba-tiba melalui mekanisme inside-out. Contoh trauma mata terbuka lain adalah laserasi luka pada dinding mata akibat benda tajam, disebabkan mekanisme luar ke dalam/outside-in. Trauma juga dapat diakibatkan oleh panas, radiasi dan zat-zat kimia. Beberapa gejala yang perlu diwaspadai setelah area mata mengalami benturan, antara lain pandangan buram mendadak, pendarahan, nyeri pada area bola mata, mata terlihat merah, gerakan bola mata terhambat, dan mata terasa mengganjal.
Di Indonesia, selama ini belum ada data terkini jumlah kejadian trauma pada mata. Namun, jumlah kunjungan pasien trauma mata di JEC bisa memberikan gambaran. Sepanjang 2012 hingga 2019 di JEC @ Menteng dan JEC @ Kedoya terdata adanya 534 kasus trauma mata, yang terdiri dari 161 kasus trauma tertutup dan 167 kasus trauma terbuka. Beberapa di antaranya bahkan harus menjalani tindakan pembedahan lebih lanjut.
Masih dari data JEC, Yunia menyebutkan bahwa trauma mata juga banyak terjadi karena olahraga khusus. Salah satu olahraga yang banyak mengakibatkan trauma mata adalah badminton. Tim dokter menangani 37, 5 persen kasus di JEC. Olahraga lainnya adalah bola basket sebanyak 25 persen. "Rata-rata masalahnya, mata pemain badminton terkena bulu kok. Akibatnya penglihatan jdi buram atau pendarahan bola mata," katanya.
Yunia mengatakan kasus trauma mata yang dialami atlet semakin banyak sehingga ia dan timnya membahas tentang alat perlindungan mata kepada organisasi dan lembaga yang berkepentingan.
Memahami kegawatdaruratan ophthalmic trauma, JEC telah menghadirkan Ophthalmic Trauma Service yang menyediakan penatalaksanaan trauma mata dengan diperkuat tenaga medis dari berbagai subspesialis/multidisiplin serta teknologi pendukung terdepan. Kasus trauma mata tidak selalu berdampak pada bagian mata yang mengalami benturan, tetapi juga pada jaringan di sekitarnya. "Penanganan trauma mata yang JEC tawarkan melalui Ophthalmic Trauma Service mengimplementasikan sistem yang komprehensif, mulai diagnosis hingga tatalaksana, serta tahap pemantauan dan rehabilitasi pasca tindakan, untuk mengantisipasi risiko dampak hingga penanganan pasien berlangsung tuntas,” kata Yunia Irawati.
Indonesia salah satu negara berkembang dengan kejadian trauma mata yang masih sering dijumpai. Hal ini mendorong JEC Eye Hospitals and Clinics untuk mengadakan webinar tentang ophthalmic trauma dengan tema 'Overcoming the Challenges in Ophthalmic Trauma'. Webinar ini bekerja sama dengan Asia Pacific Ophthalmic Trauma Society (APOTS). Oleh karena dokter JEC Eye Hospitals and Clinics tergabung dalam organisasi tersebut, maka webinar ini juga termasuk dalam rangkaian APOTS Webinar (the 4th APOTS Webinar) – yang melibatkan narasumber dan moderator dari 9 negara yaitu Amerika Serikat, Australia, Singapura, Malaysia, India, Pakistan, Taiwan, Nepal, dan tentunya Indonesia.
Sebelumnya, fokus JEC terhadap ophthalmic trauma juga telah direalisasikan lewat fasilitas Ophthalmic Trauma Service yang menjadi sentra penanganan trauma mata mandiri terkomprehensif di Tanah Air. Selama pandemi COVID-19, sepanjang Mei-Agustus 2020, JEC telah menjalankan sepuluh seri webinar dengan jumlah keikutsertaan hingga lebih dari 11.500 partisipan dari seluruh Indonesia.
“Tidak hanya memberikan pelayanan klinis berkualitas dan penerapan teknologi mutakhir, JEC Eye Hospitals and Clinics juga berupaya mengimplementasikan misi kami untuk mengembangkan kompetensi dokter dan staf melalui riset dan pendidikan. Sebab, JEC memahami betul, bahwa untuk meningkatkan kualitas kesehatan mata masyarakat Indonesia sekaligus menurunkan angka kebutaan, perlu adanya dukungan kebersamaan dan semangat untuk maju dari berbagai kalangan, utamanya para praktisi kesehatan mata. Di tengah pandemi COVID-19 ini, JEC tetap bertekad untuk melanjutkan kegiatan tersebut yang kini kami implementasikan lewat platform digital, yakni berupa JEC Saturday Webinar,” kata Presiden Direktur JEC Korporat Johan A Hutauruk. Presiden Direktur Jakarta Eye Center (JEC) Korporat Johan A Hutauruk/JEC
Khusus pada “The 4th Asia Pacific Ophthalmic Trauma Society (APOTS) Webinar”, bahasan trauma mata akan dikupas tuntas bersama para ahli dan narasumber serta moderator dari 9 negera. “Dengan konsep science sharing, para pembicara tersebut, bersama ahli-ahli kesehatan mata Indonesia, khususnya dokter-dokter mata JEC, saling bertukar wawasan keilmuan dan studi kasus untuk tindakan medis, yang kami yakini bisa memperluas cakrawala pengetahuan para praktisi kesehatan mata di Tanah Air,” lanjut Johan A Hutauruk.
Keterlibatan para pembicara global tersebut juga memperlihatkan relasi kuat JEC dengan berbagai organisasi bidang kesehatan mata terkemuka dunia, seperti Asia Pacific Ophthalmic Trauma Society (APOTS), ASEAN Association of Eye Hospital (AAEH), dan World Association of Eye Hospital (WAEH).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini