UNTUK pertama kali setelah 10 tahun usia Kode Etik Kedokteran
Indonesia, para dokter memperbincangkan aruran permainan mereka.
Persoalannya mendapat sorotan tajam akhir-akhir ini Pada mulanya
IDI Cabang Semarang menyelenggarakan simposium (2 - 3 Desember
tentang kode etik yang mendapat perhatian besar dari dokter
berbagai daerah. Hasil simposium Semarang itu menjadi bahan
pembicaraan utama pula di Muktamar IDI XVI, Denpasar, Bali (7
-10 Desember).
"Simposium Semarang itu antara lain mengajukan pemisahan yang
jelas antara pasal-pasal kode etik mana yang dapat diberi
landasan hukum untuk ditindak dan pasal mana yang hanya dapat
ditangani secara intern," urai dr Kartono Mohamad, ketua IDI
Cabang Jakarta sekembalinya dari Bali.
Pemisahan itu rupanya dianggap perlu, sebab kode etik memang
seharusnya merupakan pedoman aturan permainan di dalam kelompok
profesi itu sendiri. Tidak semuanya dapat dikenakan sanksi
hukuman secara formil oleh instansi pemerintah atau pengadilan.
Niat pemisahan tersebut disambut Bismar Siregar SH, Ketua
Pengadilan Negeri di Jakarta. "Kalau ada persoalan yang bisa
diselesaikan secara intern, memang sebaiknya begitu dijalankan.
Tapi jika tindakan seorang dokter menyangkut orang luar,
sebaiknya persoalannya dibawa ke pengadilan. Supaya orang yang
bersangkutan tahu kedudukannya di depan hukum," katanya.
Rekomendasi lain yang juga penting dari simposium Semarang
adalah anjuran supaya kode etik diajarkan kepada mahasiswa
dengan contoh praktis dan bukan dengan pengajaran filosofis,
apalagi teori saja. Juga diharapkan agar pendidik memberikan
contoh nyata bahwa mereka juga melaksanakan kode etik. "Memang
sulit untuk meminta yang muda menjalankan etik sementara yang
tua secara nyata melanggarnya," sambung dr Kartono.
Muktamar IDI berusaha memperinci bagaimana pelaksanaan kode etik
itu. Antara lain untuk mempertegas hubungan antara Majelis Etika
Kedokteran milik IDI dengan Panitia Pertimbangan Kode Etik milik
Depkes. "Selama ini hubungan itu belum terjalin sebagaimana
mestinya," sela Ketua Umum IDI, dr Utoyo Sukaton.
Dalam kedua pertemuan itu Departemen Kesehatan juga mengajukan
rancangan Antara lain dianjurkannya kepada Majelis Etika
Kedokteran untuk memanggil sampai tiga kali para dokter yang
melakukan pelanggaran. Kalau panggilan itu tak diindahkan,
Majelis bisa memutuskan dengan memakai Peraturan Menkes No. 2
tahun 1975 untuk memberi nasehat sampai pun mengusulkan tindakan
administratif terhadap yang bersangkutan. Dan kalau pelanggaran
dilakukan dokter ahli, maka brevet keahliannya terancam untuk
dicabut.
Untuk tegaknya etika kedokteran ini tugas berat berada di pundak
dr WAFJ Tumbelaka, spesialis anak yang lugu. Muktamar di Bali
telah memilihnya sebagai ketua Majelis. Tugasnya cukup berat,
apabila kalau diingat banyak dokter menganggap kode etik dan
kolegialitas merupakan kewajiban dokter bawahan saja.
Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat berpesan: "Kode etik
kedokteran itu harus diselamatkan dari para pelanggar." Tidak
ditegaskannya apa yang telah dilanggar, tapi jelas sasarannya
adalah soal uang jaminan sebelum dapat pengobatan, pengguguran
dan "permainan" dokter-farmasi dalam soal obat.
Pelanggaran etik, tentu, lebih luas lagi. Misalnya, perebutan
pasien antara sesama dokter, dan pemanfaatan keawaman pasien
untuk mengeruk uangnya.
Sungguh berat, dok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini