DI Ruang Pameran TIM ada lukisan Sadali dan Srihadi yang baru
Nopember lalu terdapat dalam pameran tunggal mereka. Ada lukisan
Amang Rahman yang memberi gambaran mimpi entah apa, tapi
judulnya Kumambang dan Warisan. Ada gambar kereta api, sinyal
dan kawat-kawat karya Warsito. Judulnya memang Gubeng --
setasiun kereta api di Surabaya. Ada juga lukisan Nasyah Djamin
yang beberapa waktu lalu terdapat dalam pameran tunggalnya di
ruang ini juga. Ada Dinamika Ruang Fadjar Sidik, ada lukisan
dekoratif Widajat, ada karya non-figuratif Nuzurlis Koto dan
lain-lain dan lain-lain.
Lalu, Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (baiklah disingkat
PBSLI) yang diadakan dua tahun sekali ini, kali ini 14-30
Desember, dari Ruang Pameran dilanjutkan ke Galeri Baru. Di GB
ada karya Baharuddin MS berjudul Generasi Penerus. Ada gambar
sepeda motor Daryono. Ada lukisan iring-iringan temanten Yogya
karya Kuncana. Ada lukisan kompleks pertokoan lengkap dengan
iklan-iklannya karya Jeihan. Ada juga Monumen Nasional 1978
Bonyong Munni Ardhi, yang berwujud almari sederhana yang isinya
patung kepala perempuan, bekas sabun B-29, lelehan cat, jam
kuno, radio kuno dan beberapa benda kuno lagi.
Dan di Ruang Pameran ada karya Jim Supangkat, dua relief yang
serem: satu, buah dada yang penyok hitam dan penuh tulisan macam
di kamar kecil umum, satunya lagi kerangka orang yang diberi
nama Jim Jones -- dari kerangka itu terkesan si Jim Jones ini
orang cacat atau mungkin juga matinya karena kecelakaan atau
disiksa. Dan judul kedua karya ini: Salon -- seperti biasanya
Supangkat kalau memberi judul karya-karyanya, ngeledek.
Meski PBSLI ketiga ini masih tetap menampilkan aneka-ragam karya
-- seperti yang dulu-dulu juga -- tapi nampak kurang ramai.
Beberapa pelukis yang sudah punya nama, seperti But Muchtar,
Kaboel Soeadi, Affandi, Handrio kemudian yang muda-muda:
Prijanto, Sutanto, Sukamto, AS Budiono Harsono dan sejumlah yang
lain, tak muncul. Bahkan Nashar sendiri, anggota Komite Seni
Rupa DKJ -- yang punya kerja -- tak serta. Sejak dulu ia memang
menghindar dari pameran bersama ini sebab "ada hadiahnya." Dan
sebagai anggota komite ia sudah berusaha untuk menghapus hadiah
itu, tapi tak berhasil.
Tak ada memang, kegiatan yang bisa memuaskan semua orang. Sejak
pertama kali PBSLI selalu mendapat kritik. Paling seru adalah
reaksi terhadap pemilihan pemenangnya pertama, 1974, yang
ternyata semuanya lukisan dekoratif. Tapi PBSLI yang pertama
itulah kiranya yang paling lengkap memberi gambaran perkembangan
dunia seni lukis kita mutakhir, dibanding yang kedua apalagi
yang ketiga. Apologinya, tentu, ialah biaya.
Tahun Pembuatan
Yang pertama memang tak tanggungtanggung mengambil tiga ruang
untuk pameran: di TIM sendiri, di Gedung Kebangkitan Nasional
dan di Museum Pusat. Setiap pelukis yang diundang diminta
memamerkan tiga lukisan yang dibuatnya tahun 1974 atau 1973.
PBSLI kedua hanya meminta dua lukisan. Persyaratan kapan
dibuatnya, tetap dipertahankan.
Kini, tiap peserta diminta dua karya juga, dan kapan dibuatnya
terserah. Untunglah kebetulan semua lukisan yang dipamerkan
karya baru -- 77-78 -- paling ada dua tiga karya bertahun 76.
Tapi dihapuskannya persyaratan tahun pembuatan memang merugikan
usaha pemberian gambaran dari perkembangan mutakhir.
PBSLI bisa menjadi acara penting atau hanya semacam
kumpul-kumpul - bagi yang sempat -- tergantung bagaimana
penyelenggaraan dan terutama sekali kriterianya. Agaknya
diperlukan kegiatan monitoring. Bagaimana anggapan yang muda
terhadap yang tua atau sebaliknya, satu misal. PBSLI ketiga
sendiri, yang tak diikuti sebagian besar pelukis yang punya
nama, bisa melemahkan mereka yang masih mengharap acara ini
menjadi penting. Dede Erri Supria (23 tahun), jebolan Sekolah
Seni Rupa Indonesia Yogyakarta yang mulai dikenal dengan
realisme barunya, menyesal karena "pameran ini tidak memenuhi
harapan saya, bahwa nantinya karya saya akan bersaing dengan
karya-karya yang mengagumkan."
Sukarno di Bangka
Dua karya Dede memang dikerjakan bukan saja dengan
sungguh-sungguh, tapi berhasil. Kakekku dan Kaleng Cat adlah
gambar kakeknya almarhum (dari potret) yang sedang duduk di
kursi bertelekan pada tongkat, dan di lantai ada sekaleng cat
plus kwasnya. Sementara latar belakang lukisan adalah bidang
yang baru dicat dan belum selesai. Cerita yang disuguhkan memang
tak tajam, tetapi lukisan ini bisa memberi simbolik bergantinya
generasi. Dan memang si kakek masih hidup, meski tak lama lagi
(warna lama itu tinggal sedikit).
Adapun lukisan kedua Dede terhitung tajam. Bidang gambar dari
triplek, dipotong-potong seperti permainan pusel (jigsaw),
menyuguhkan gambar presiden RI pertama, Soekarno, di
pembuangannya, Mentok (Bangka), 1948. Gambar itu diangkat dari
potret, tetap dipertahankan hitam putih, tapi dilukis seperti
kalau sebuah foto dicetak tanpa raster. Yang ada kemudian ialah
garis-garis hitam pada bidang putih, sementara detail abu-abu
(raster) lenyap. Dede menambahkan tulisan: "Di Pembuangan
Mentok, Bangka" -- merah, dengan huruf balok. Aneh, yang kita
lihat bukan Soekarno presiden atau politikus. Di karya Dede ini
lelaki itu adalah bapak yang sayang pada anak-anak. Judul karya
ini: Pusel Nostalgia.
Jadi memang ada bedanya: apa yang harus kita cari dalam pameran
tunggal seorang pelukis dan pameran bersama yang mencoba memberi
gambaran perkembangan mutakhir. Tak perlu karya empu yang serta
dalam PBSLI ini. Tapi bagaimana setiap pelukis merasa terlibat
dalam pameran dua tahun sekali ini, hingga tak sayang
menyertakan karya mutakhirnya.
Bahkan andaikata ia tak diundang-padahal merasa berhak ikut --
ia akan berusaha serta. Yang macam terakhir ini memang ada.
Hardi, yang tak diundang, tak merasa kecil diri berusaha bisa
serta. "Saya ikut pameran ini memang bukan diundang DKJ. Tapi
saya 'kan tetap konsisten melukis, jadi punya hak untuk ikut."
Tapi memang tak banyak yang seperti itu. Masalahnya juga: adakah
manfaatnya. Beberapa yang serta mengatakan mereka ikut "sekedar
basa-basi" -- sambil mengharap lukisannya ada yang beli. Apalagi
yang tidak serta. Yang jadi masalah akhirnya tak lain konsep.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini