Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pameran Besar: Penting, Tidak

Pameran besar seni lukis Indonesia tahun ini menampilkan aneka ragam karya. Tapi, ternyata tak semua pelukis terkenal ikut. memang, ada yang meragukan manfaat pameran ini. (sr)

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Ruang Pameran TIM ada lukisan Sadali dan Srihadi yang baru Nopember lalu terdapat dalam pameran tunggal mereka. Ada lukisan Amang Rahman yang memberi gambaran mimpi entah apa, tapi judulnya Kumambang dan Warisan. Ada gambar kereta api, sinyal dan kawat-kawat karya Warsito. Judulnya memang Gubeng -- setasiun kereta api di Surabaya. Ada juga lukisan Nasyah Djamin yang beberapa waktu lalu terdapat dalam pameran tunggalnya di ruang ini juga. Ada Dinamika Ruang Fadjar Sidik, ada lukisan dekoratif Widajat, ada karya non-figuratif Nuzurlis Koto dan lain-lain dan lain-lain. Lalu, Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (baiklah disingkat PBSLI) yang diadakan dua tahun sekali ini, kali ini 14-30 Desember, dari Ruang Pameran dilanjutkan ke Galeri Baru. Di GB ada karya Baharuddin MS berjudul Generasi Penerus. Ada gambar sepeda motor Daryono. Ada lukisan iring-iringan temanten Yogya karya Kuncana. Ada lukisan kompleks pertokoan lengkap dengan iklan-iklannya karya Jeihan. Ada juga Monumen Nasional 1978 Bonyong Munni Ardhi, yang berwujud almari sederhana yang isinya patung kepala perempuan, bekas sabun B-29, lelehan cat, jam kuno, radio kuno dan beberapa benda kuno lagi. Dan di Ruang Pameran ada karya Jim Supangkat, dua relief yang serem: satu, buah dada yang penyok hitam dan penuh tulisan macam di kamar kecil umum, satunya lagi kerangka orang yang diberi nama Jim Jones -- dari kerangka itu terkesan si Jim Jones ini orang cacat atau mungkin juga matinya karena kecelakaan atau disiksa. Dan judul kedua karya ini: Salon -- seperti biasanya Supangkat kalau memberi judul karya-karyanya, ngeledek. Meski PBSLI ketiga ini masih tetap menampilkan aneka-ragam karya -- seperti yang dulu-dulu juga -- tapi nampak kurang ramai. Beberapa pelukis yang sudah punya nama, seperti But Muchtar, Kaboel Soeadi, Affandi, Handrio kemudian yang muda-muda: Prijanto, Sutanto, Sukamto, AS Budiono Harsono dan sejumlah yang lain, tak muncul. Bahkan Nashar sendiri, anggota Komite Seni Rupa DKJ -- yang punya kerja -- tak serta. Sejak dulu ia memang menghindar dari pameran bersama ini sebab "ada hadiahnya." Dan sebagai anggota komite ia sudah berusaha untuk menghapus hadiah itu, tapi tak berhasil. Tak ada memang, kegiatan yang bisa memuaskan semua orang. Sejak pertama kali PBSLI selalu mendapat kritik. Paling seru adalah reaksi terhadap pemilihan pemenangnya pertama, 1974, yang ternyata semuanya lukisan dekoratif. Tapi PBSLI yang pertama itulah kiranya yang paling lengkap memberi gambaran perkembangan dunia seni lukis kita mutakhir, dibanding yang kedua apalagi yang ketiga. Apologinya, tentu, ialah biaya. Tahun Pembuatan Yang pertama memang tak tanggungtanggung mengambil tiga ruang untuk pameran: di TIM sendiri, di Gedung Kebangkitan Nasional dan di Museum Pusat. Setiap pelukis yang diundang diminta memamerkan tiga lukisan yang dibuatnya tahun 1974 atau 1973. PBSLI kedua hanya meminta dua lukisan. Persyaratan kapan dibuatnya, tetap dipertahankan. Kini, tiap peserta diminta dua karya juga, dan kapan dibuatnya terserah. Untunglah kebetulan semua lukisan yang dipamerkan karya baru -- 77-78 -- paling ada dua tiga karya bertahun 76. Tapi dihapuskannya persyaratan tahun pembuatan memang merugikan usaha pemberian gambaran dari perkembangan mutakhir. PBSLI bisa menjadi acara penting atau hanya semacam kumpul-kumpul - bagi yang sempat -- tergantung bagaimana penyelenggaraan dan terutama sekali kriterianya. Agaknya diperlukan kegiatan monitoring. Bagaimana anggapan yang muda terhadap yang tua atau sebaliknya, satu misal. PBSLI ketiga sendiri, yang tak diikuti sebagian besar pelukis yang punya nama, bisa melemahkan mereka yang masih mengharap acara ini menjadi penting. Dede Erri Supria (23 tahun), jebolan Sekolah Seni Rupa Indonesia Yogyakarta yang mulai dikenal dengan realisme barunya, menyesal karena "pameran ini tidak memenuhi harapan saya, bahwa nantinya karya saya akan bersaing dengan karya-karya yang mengagumkan." Sukarno di Bangka Dua karya Dede memang dikerjakan bukan saja dengan sungguh-sungguh, tapi berhasil. Kakekku dan Kaleng Cat adlah gambar kakeknya almarhum (dari potret) yang sedang duduk di kursi bertelekan pada tongkat, dan di lantai ada sekaleng cat plus kwasnya. Sementara latar belakang lukisan adalah bidang yang baru dicat dan belum selesai. Cerita yang disuguhkan memang tak tajam, tetapi lukisan ini bisa memberi simbolik bergantinya generasi. Dan memang si kakek masih hidup, meski tak lama lagi (warna lama itu tinggal sedikit). Adapun lukisan kedua Dede terhitung tajam. Bidang gambar dari triplek, dipotong-potong seperti permainan pusel (jigsaw), menyuguhkan gambar presiden RI pertama, Soekarno, di pembuangannya, Mentok (Bangka), 1948. Gambar itu diangkat dari potret, tetap dipertahankan hitam putih, tapi dilukis seperti kalau sebuah foto dicetak tanpa raster. Yang ada kemudian ialah garis-garis hitam pada bidang putih, sementara detail abu-abu (raster) lenyap. Dede menambahkan tulisan: "Di Pembuangan Mentok, Bangka" -- merah, dengan huruf balok. Aneh, yang kita lihat bukan Soekarno presiden atau politikus. Di karya Dede ini lelaki itu adalah bapak yang sayang pada anak-anak. Judul karya ini: Pusel Nostalgia. Jadi memang ada bedanya: apa yang harus kita cari dalam pameran tunggal seorang pelukis dan pameran bersama yang mencoba memberi gambaran perkembangan mutakhir. Tak perlu karya empu yang serta dalam PBSLI ini. Tapi bagaimana setiap pelukis merasa terlibat dalam pameran dua tahun sekali ini, hingga tak sayang menyertakan karya mutakhirnya. Bahkan andaikata ia tak diundang-padahal merasa berhak ikut -- ia akan berusaha serta. Yang macam terakhir ini memang ada. Hardi, yang tak diundang, tak merasa kecil diri berusaha bisa serta. "Saya ikut pameran ini memang bukan diundang DKJ. Tapi saya 'kan tetap konsisten melukis, jadi punya hak untuk ikut." Tapi memang tak banyak yang seperti itu. Masalahnya juga: adakah manfaatnya. Beberapa yang serta mengatakan mereka ikut "sekedar basa-basi" -- sambil mengharap lukisannya ada yang beli. Apalagi yang tidak serta. Yang jadi masalah akhirnya tak lain konsep.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus