Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

1979, Menciut Jumlahnya

Obat yang beredar sekarang dianggap terlalu banyak macamnya, hingga pengawasannya sulit dilakukan. Karena itu, Depkes berminat menciuntukannya pada saat pendaftaran kembali obat jadi. (ksh)

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OTO-KRITIK sedang berjalan di Departemen Kesehatan. Jumlah obat yang mencapai 7200 macam sekarang ini dianggap terlalu banyak, melebihi kebutuhan masyarakat. "Perlu diadakan penyederhanaan dan rasionalisasi," kata Menteri Kesehatan dr Suwardjono Surjaningrat. Membuka Simposium Obat di Jakarta pekan lalu, ia menyatakan, terlalu beranekaragamnya obat yang beredar dapat mendatangkan kerugian berganda. Umpamanya, dokter dan masyarakat akan sulit memilih dan menggunakan obat, pemerintah akan sukar mengawasi mutu dan distribusinya, dan persaingan tak sehat akan muncul. Dan obat yang daluwarsa akan makin banyak tersisih dari persaingan itu. Simposium tersebut menjadikan pengadaan obat sebagai pokok pembicaraan, di samping masalah harga dan distribusinya. Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Dr Midian Sirait, mengemukakan niat Depkes untuk menciutkan jumlah obat pada saat pendaftaran kembali obatjadi, tahun 1979. "Di beberapa negara sahabat dan Eropa, jumlah jenis obatjadi tidak sebanyak di Indonesia ini. Kita perlu memikirkan daftar obat esensial yang dibuat WHO untuk negara berkembang. Dengan 200 obat esensial, dibuat WHO itu penyakit yang terdapat di Indonesia sudah dapat disembuhkan," katanya. Pendapat yang muncul dalam simposium itu ternyata bukanlah semacam koor yang serempak. Eddie Lembong, ketua bidang industri Gabungan Pengusaha Farmasi, misalnya, menemukakan omzet penjualan obat di Indonesia Rp 12.104 juta perbulan, di antaranya perusahn nasional hanya menikmati Rp 5.904 juta. Jumlah perusahaan nasional 220, perusahaan asing 40. "Jika jumlah obat diperkecil, pengusaha nasional jadi korban," kata Lembong. Untuk meratakan pengadaan obat sampai ke pelosok, ada hambatan sekarang ini. Drs Soekarjo, Direktur Utama PT Kimia Farma dan Ketua Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia memberi contoh Perumusan obat esensial untuk kebutuhan Indonesia sendiri masih sulit dibuat. Karena kurangnya tenaga farmasi di daerah yang bisa memberikan informasi setempat yang terpercaya. Apa yang disusun badan kesehatan dunia WHO, berdasarkan kondisi pukul rata untuk negara-negara berkembang. Informasi tentang kebutuhan setempat masih diperlukan. Buah pikiran yang terkumpul dari simposium yang dihadiri oleh berbagai ahli ditampung Depkes, yang sedang membuat rencana untuk Pclita 111. Sementara simposium berlangsung, Menteri Kesehatan sendiri meninjau ke beberapa pabrik, antara lain milik pemerintah seperti Kimia Farma dan Pabrik Farmasi TNI Angkatan Laut, Slipi. Sebelumnya, ia bersama Menpan Sumarlin meninjau Pabrik Obat Manggarai. Disempatkannya juga melihat pabrik swasta Dupa dan Darya Varia. "Kita sedang mempelajari di mana harga naik. Di pabrik atau di distribusinya," kata Dirjen POM yang menyertai Menkes dalam peninjauan itu. Tender? Mungkin akan terjadi perubahan perimbangan antara penyediaan obat oleh swasta dan pemerintah. Midian Sirait mengatakan dalam tahun 1977/78 tersedia 7,7 milyar tablet, di antaranya 2,4 milyar buatan pemerintah, termasuk dari pabrik Manggarai dan Kimia Farma. "Kapasitas 30% yang berada di tangan pemerintah ini akan terus ditingkatkan. Pemerintah malahan tidak hanya akan mensuplai rumahsakit dan puskesmas, tapi juga apotik. Kita akan turun bersaing. Diharapkan Manggarai dan Kimia Farma bisa jadi price leader," katanya. Jika begitu, apakah tender obat untuk kebutuhan pemerintah sendiri akan dihapuskan? Midian belum bisa menjawab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus