OTO-KRITIK sedang berjalan di Departemen Kesehatan. Jumlah obat
yang mencapai 7200 macam sekarang ini dianggap terlalu banyak,
melebihi kebutuhan masyarakat. "Perlu diadakan penyederhanaan
dan rasionalisasi," kata Menteri Kesehatan dr Suwardjono
Surjaningrat. Membuka Simposium Obat di Jakarta pekan lalu, ia
menyatakan, terlalu beranekaragamnya obat yang beredar dapat
mendatangkan kerugian berganda. Umpamanya, dokter dan masyarakat
akan sulit memilih dan menggunakan obat, pemerintah akan sukar
mengawasi mutu dan distribusinya, dan persaingan tak sehat akan
muncul. Dan obat yang daluwarsa akan makin banyak tersisih dari
persaingan itu.
Simposium tersebut menjadikan pengadaan obat sebagai pokok
pembicaraan, di samping masalah harga dan distribusinya.
Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Dr Midian Sirait,
mengemukakan niat Depkes untuk menciutkan jumlah obat pada saat
pendaftaran kembali obatjadi, tahun 1979. "Di beberapa negara
sahabat dan Eropa, jumlah jenis obatjadi tidak sebanyak di
Indonesia ini. Kita perlu memikirkan daftar obat esensial yang
dibuat WHO untuk negara berkembang. Dengan 200 obat esensial,
dibuat WHO itu penyakit yang terdapat di Indonesia sudah dapat
disembuhkan," katanya.
Pendapat yang muncul dalam simposium itu ternyata bukanlah
semacam koor yang serempak. Eddie Lembong, ketua bidang industri
Gabungan Pengusaha Farmasi, misalnya, menemukakan omzet
penjualan obat di Indonesia Rp 12.104 juta perbulan, di
antaranya perusahn nasional hanya menikmati Rp 5.904 juta.
Jumlah perusahaan nasional 220, perusahaan asing 40. "Jika
jumlah obat diperkecil, pengusaha nasional jadi korban," kata
Lembong.
Untuk meratakan pengadaan obat sampai ke pelosok, ada hambatan
sekarang ini. Drs Soekarjo, Direktur Utama PT Kimia Farma dan
Ketua Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia memberi contoh Perumusan
obat esensial untuk kebutuhan Indonesia sendiri masih sulit
dibuat. Karena kurangnya tenaga farmasi di daerah yang bisa
memberikan informasi setempat yang terpercaya. Apa yang disusun
badan kesehatan dunia WHO, berdasarkan kondisi pukul rata untuk
negara-negara berkembang. Informasi tentang kebutuhan setempat
masih diperlukan.
Buah pikiran yang terkumpul dari simposium yang dihadiri oleh
berbagai ahli ditampung Depkes, yang sedang membuat rencana
untuk Pclita 111. Sementara simposium berlangsung, Menteri
Kesehatan sendiri meninjau ke beberapa pabrik, antara lain milik
pemerintah seperti Kimia Farma dan Pabrik Farmasi TNI Angkatan
Laut, Slipi. Sebelumnya, ia bersama Menpan Sumarlin meninjau
Pabrik Obat Manggarai. Disempatkannya juga melihat pabrik swasta
Dupa dan Darya Varia. "Kita sedang mempelajari di mana harga
naik. Di pabrik atau di distribusinya," kata Dirjen POM yang
menyertai Menkes dalam peninjauan itu.
Tender?
Mungkin akan terjadi perubahan perimbangan antara penyediaan
obat oleh swasta dan pemerintah. Midian Sirait mengatakan dalam
tahun 1977/78 tersedia 7,7 milyar tablet, di antaranya 2,4
milyar buatan pemerintah, termasuk dari pabrik Manggarai dan
Kimia Farma. "Kapasitas 30% yang berada di tangan pemerintah ini
akan terus ditingkatkan. Pemerintah malahan tidak hanya akan
mensuplai rumahsakit dan puskesmas, tapi juga apotik. Kita akan
turun bersaing. Diharapkan Manggarai dan Kimia Farma bisa jadi
price leader," katanya.
Jika begitu, apakah tender obat untuk kebutuhan pemerintah
sendiri akan dihapuskan? Midian belum bisa menjawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini