Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dua orang warga Gunungkidul, Yogyakarta telah dirawat akibat terpapar antraks. Sebanyak 15 warga lainnya masih dalam status suspek. Hal ini bermula dari seorang warga di Pedukuhan Kayoman, Kelurahan Serut, Gedangsari yang membawa kambing yang sudah disembelih dari Sleman.
Setelah diteliti, kambing yang dibawa warga tersebut sudah terpapar virus antraks. Kemudian kambing tersebut dikuliti dan dikonsumsi di Pedukuhan. Warga yang membawa kambing tersebut akhirnya terpapar antraks dan dua ekor kambing serta sapinya mati. Dua kambing sempat disembelih, tapi tidak dikonsumsi sedangkan sapinya langsung dikubur.
Penyebab Wabah Antraks
Sudah kesekian kalinya, antraks Gunungkidul terjadi. Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM), Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni, adanya penyakit tersebut dikarenakan spora dari lingkungan ternak yang bersumber dari bakteri Bacillus anthracis pada hewan ternak yang disembelih.
“Di tubuh hewan, saat hidup, spora ini belum terbentuk. Namun, saat disembelih, bakteri yang ada dalam darah itu keluar lalu berinteraksi dengan udara dan membentuk spora,” kata Wahyuni, dikutip dari laman resmi UGM pada Ahad, 10 Maret 2024.
Ia juga mengatakan bakteri antraks sulit dihilangkan dan bisa bertahan selama puluhan tahun di tanak. Spora yang terbentuk karena interaksi udara ini membuat spora ini tidak pernah dijumpai dalam tubuh penderita manusia maupun bangkai hewan yang tidak dipotong atau dibuka.
Nanung Danar Dono selaku Dosen Fakultas Peternakan UGM mengatakan peternak tidak boleh memotong hewan yang sakit apalagi mengonsumsi hewan yang sudah menjadi bangkai. “Daging bangkai tidak boleh dikonsumsi karena matinya karena zoonosis bisa menular ke manusia,” katanya.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, Spora penyebab antraks akan bertahan puluhan tahun di tanah. Maka dari itu, Nanung mengatakan hewan yang mati akibat antraks harus dikubur atau dikremasi.
“Jika tidak ada alat kremasi, maka dikubur saja. Ditimbun lalu disemen, tidak boleh dibongkar selamanya karena spora sangat awet.” kemudian ia juga berpesan untuk tidak memindahkannya karena akan menyebabkan spora antraks tersebar “Jika dipindah, besar kemungkinan spora tercercer ke mana-mana,” kata dia.
Daerah Gunungkidul sudah memiliki sejumlah riwayat penularan penyakit zoonosis sejak 2019. Pada tahun tersebut, terdapat 12 orang yang dinyatakan positif tertular anthrax di Kapanewon Karangmojo dan Kapanewon Ponjong. Saat itu satu orang meninggal akibat penyakit ini. Kemudian pada 2021 antraks menyerang 7 warga desa Hargomulyo, Kecamatan Gedangsari. Pada 2022, sebanyak 87 warga Desa Candirejo dan pada 2023 antraks menelan satu korban jiwa.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni, menyarankan untuk melakukan isolasi terhadap hewan ternak yang terkena antraks. Isolasi ini dimaksud untuk melarang lintas ternak keluar masuk.
“Tidak boleh juga sembarang orang keluar masuk di wilayah tersebut dan hanya petugas yang sudah ditetapkan,” ujarnya.
Upaya lain yang menurutnya harus dilakukan adalah memberikan vaksinasi pada hewan yang sehat selama dua kali selama setahun. Kemudian, para peternak juga harus meningkatkan biosekuriti dan mengobati hewan yang sakit.
Bagi hewan yang terkena antraks sebetulnya masih bisa diobati karena bakteri anthrax mudah mati jika diberi antibiotik, antiseptik, atau desinfektan. Virus itu juga mati jika terkena suhu lebih dari 54 derajat Celcius selama 30 menit.
ADINDA ALYA IZDIHAR | YOHANES PASKALIS | ANTARA
Pilihan Editor: 17 Warga Gunungkidul Suspek Antraks Konsumsi Daging Kambing dari Sleman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini