Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan cuma irama Latin yang bisa membuat Venna Melinda bergoyang. Mantan Putri Indonesia itu juga seketika meliuk-liukkan perut dan panggulnya bila mendengar alunan musik padang pasir. Ia tak puas dengan kemahirannya bergoyang salsa ala Kuba. Sekarang ia sedang tergila-gila berlatih bellydance alias tari perut ala Timur Tengah.
Sebagai pencinta tari, bekas None Jakarta itu mengaku terpesona dengan keindahan gerak penari perut yang larut dalam ritme musik Timur Tengah. ”Gerakannya artistik dan rumit, bukan sekadar asal goyang perut dan panggul,” kata Venna.
Venna Melinda berminat mempelajari tari perut setahun lalu, setelah secara tak sengaja menyaksikan secuplik adegan film yang menampilkan tarian sensual itu. Tak berselang lama, Venna mulai rutin berlatih. Secara privat ia berguru kepada Venyci Yefriadi, pengajar tari di Studio Interlude yang terkenal piawai menari perut. ”Kadang seminggu sekali, kadang dua minggu sekali, tergantung waktu luang yang tersedia,” ujarnya. Agar cepat mahir, ia juga rutin berlatih sendiri di rumah dengan menggunakan koleksi rekaman tari perut yang dimilikinya.
Setelah mencoba, Venna menyadari, menguasai tari perut tidak semudah yang dibayangkan. Dibandingkan salsa yang lebih dulu diakrabinya, tarian ini tergolong sulit. Salah gerak sedikit bisa membuat otot cedera. Tarian ini juga sangat menguras tenaga. ”Waktu pertama kali latihan seperti mau pingsan, capek sekali,” katanya. Toh, ia tidak jera.
Venna hanya satu dari sekian banyak perempuan Jakarta yang sedang jatuh cinta pada tari perut. Tengok saja Studio Interlude yang berada di lantai empat gedung Sport Trade Center, Senayan, Jakarta. Kelas tari perut yang dibuka di sana tak pernah sepi peminat.
Pesertanya bukan orang yang ingin menjadi penari profesional atau penari klab malam, apalagi penari yang sekadar asal lewat di televisi. Mereka kebanyakan wanita karier, cantik, dan kaya, yang ingin mengubah postur tubuhnya menjadi lebih oke. Tak sedikit pula kaum ibu yang ingin mengembalikan kondisi tubuhnya setelah melahirkan. Di Timur Tengah sana, para penari perut biasanya memang memiliki tubuh aduhai dengan panggul ramping dan perut rata.
Menurut Ve—panggilan akrab Venyci Yefriadi, 29 tahun—setahun belakangan tari perut memang mulai naik daun. Di Interlude saja, kursus tari perut yang dibuka setiap hari tak pernah sepi peminat. Jumlah peserta pun terus membengkak. Sekarang ditaksir sudah mencapai 50 orang. Berlatih tari perut kini dianggap sama eksotisnya dengan berlatih salsa dan capoeira. Ve menduga tingginya minat masyarakat menekuni tari perut juga karena manfaatnya untuk kebugaran dan memperbaiki postur tubuh.
Orang awam biasanya menganggap tari perut merupakan tarian khas wanita Timur Tengah. Yang digoyang, ya, itu-itu saja, sekitar perut. Tak salah, memang. Tapi, asal tahu saja, tari perut itu memiliki beberapa gaya. Misalnya, ada gaya Arab Saudi, Libanon, Maroko, Turki, dan Mesir. Ve sendiri mengajarkan tari perut ala Mesir. Tari perut yang ditularkan kepada murid-muridnya berbeda dengan tari perut yang biasa ditampilkan di restoran, kafe atau klub malam yang berkesan modern dan seksi.
Tari perut gaya Mesir atau Egyptian Style lebih berkesan konservatif. Ada pakem tertentu yang harus diikuti dan tak bisa dilanggar. ”Kaki harus rapat, posisi tubuh selurus mungkin membentuk satu garis,” ujar Ve yang menimba ilmu dari seorang pelatih tari perut asal Amerika Serikat. Lantaran pakem itu, mau tak mau, fokus gerakan terpusat di perut dan panggul (pangkal paha). Jauh lebih susah dibandingkan gaya lain.
Gaya Mesir dipercaya paling bagus untuk melatih otot-otot di daerah perut dan panggul. Otot-otot yang dilatih bukan cuma otot luar, tapi juga otot bagian dalam yang berkhasiat menghangatkan mahligai rumah tangga. Dengar saja pengakuan Venna Melinda. ”Rutin berlatih tari perut tak cuma membuat postur tubuh kian aduhai. Setelah rutin latihan, hubungan suami-istri menjadi makin harmonis,” katanya.
Selain membuat tubuh bugar, berlatih tari perut juga bisa menjadi ajang pergaulan. Tengoklah komunitas Bellydance Jakarta. Orang yang berinisiatif membentuk komunitas ini adalah Christine Yaven, 29 tahun. ”Komunitas ini berdiri sejak April tahun silam,” ujarnya. Seperti halnya di Interlude, mereka yang bergabung di sini bukan para penari profesional.
Kebanyakan anggota komunitas adalah ibu rumah tangga dan pegawai kantoran. Christine sendiri, yang sudah lima tahun menggeluti tari perut, sehari-harinya berprofesi sebagai karyawati di sebuah perusahaan retail. Usia mereka juga beragam. Kebanyakan memang berusia muda. ”Tapi, ada juga yang sudah berusia di atas 60 tahun,” ujar perempuan yang sempat belajar tari di Singapura dan Australia itu. Baginya, tak ada batasan bagi seseorang untuk bergabung berlatih tari perut bersama. ”Tua, muda, gemuk, kurus, semua bisa berpartisipasi,” katanya. Yang penting, kan ada duit untuk ikut kursus.
Mereka biasa kongkow di Roger Salon & Soa di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, setiap Sabtu. Biarpun sekadar memuaskan hobi, mereka berlatih tari perut secara serius. Beberapa kali Christine sengaja mengundang pelatih tari perut terkemuka dari mancanegara. ”Yang jelas, di sini kami bisa dapat banyak teman baru,” ujar Lingkan Hapsari, 27 tahun, yang sudah sembilan bulan bergabung.
Hampir saban bulan mereka juga kerap menggelar pesta kecil-kecilan di sejumlah hotel. Semua biaya ditanggung bersama. ”Di situ kita bebas berekspresi unjuk kemampuan,” kata Lingkan. Secara tidak langsung, acara itu membuat rasa percaya diri mereka kian terasah.
Tak cuma menjadi wadah sosialisasi para perempuan dari berbagai kalangan, Christine punya angan-angan lain tentang Bellydance Jakarta. Melalui komunitas ini ia ingin mengubah citra tari perut yang agak miring. Soalnya, dalam benak banyak orang selama ini sudah tertanam bahwa penari perut identik dengan wanita cantik berbusana minim dengan gerakan-gerakan erotis yang memancing gairah lelaki.
Citra itu ia anggap menyesatkan. ”Tari perut bisa ditampilkan dengan elegan dan mengedepankan cita rasa seni tinggi,” kata Christine. Maka, tak seperti pujangga Shakespeare yang menganggap apalah artinya sebuah nama, Christine justru menganggap nama menjadi sangat penting. Ia lebih sreg menyebut tarian yang disukainya itu dengan Middle East Dance, bukan Bellydance.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo