Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Professor and the Madman Simon Winchester Penerbit: Serambi, Januari 2007 Penerjemah: Bern Hidayat Penyerasi: Ken Nadya Irawardhani Kartakusuma
LIKA-liku penyusunan Oxford English Dictionary (OED), sudah lama menantang imajinasi para pengarang. Leksikografi bahasa Inggris yang digarap sepanjang 70 tahun (1857–1927) ini mengandung aneka cerita. Termasuk pertemuan pertama Dr. James Murray, editor kamus itu, dengan seorang kontributor eksentrik bernama Dr. William Minor, dokter bedah Amerika yang mengalami delusi akut.
Hijrah ke Inggris, Minor membunuh seorang pria di satu sudut kumuh London pada suatu subuh. Ganjarannya: sebuah kamar di rumah sakit jiwa Broadmoor, Berkshire. Dari tempat itulah Minor mengirimkan berbagai masukan bermutu tinggi kepada tim Oxford. Spekulasi pertama pertemuan keduanya ditulis agak bombastis oleh Hayden Church pada 1915 dalam artikel Pembunuh Berkebangsaan Amerika Membantu Penulisan Kamus Oxford.
Di tangan Simon Winchester, penulis Krakatau yang laris itu, peran Minor disorot dengan empati. Maka, The Professor and the Madman tak ubahnya peragaan kepiawaian Winchester dalam menyulap gairah atmosfer neo-Gotik zaman Victoria, serta dinamika dunia leksikografi (lengkap dengan seloroh ”ahli linguistik dan filologi biasanya memang temperamental dan pendendam abadi”) menjadi sebuah dongeng historis yang cemerlang, tangkas, intelek, menghibur.
Sidik Jari Sang Gitaris
Fingerprints Peter Frampton Durasi: 55’ 37” Produksi: A&M Records
MASIH ingat suara ”gitar ngobrol (talking guitar)” yang diperkenalkan Peter Kenneth Frampton lewat lagunya Do You Feel Like We Do tiga dekade lalu? Komposisi epik sepanjang 14 menit dalam album monumental Frampton Comes Alive! (1976) itu mencengangkan peminat musik di era 1970-an.
Kini setelah melepas 18 album dalam rentang waktu 34 tahun (1972–2006), gitaris kelahiran Kent, Inggris, itu meluncurkan album teranyar, Fingerprints, album instrumental pertamanya. Dibuka oleh Boot It Up yang memadukan kekalisan denting gitar dengan embusan saksofon Courtney Pine—musisi yang mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Westminster dua tahun silam karena dedikasinya terhadap jazz—jemari Frampton mengembara melewati ratusan kontur titinada dan akor dalam 14 komposisi, sebelum dikunci dengan Souvenirs de Nos Peres (Memories of Our Fathers), nomor yang mendokumentasikan dialog dengan gitaris tamu John Jorgenson (gitaris Desert Rose Band dan The Hellecasters).
Pada Fingerprints, terasa sekali Frampton mampu menanggalkan ego pribadi sebagai ikon arena rock. Ia lebih memilih berbagi ruang dan tafsir emosi dengan banyak musisi. Mulai dari duo musisi gaek Charlie Watts dan Bill Wyman dalam nomor Cornerstones, sampai musisi muda-energetik Matt Cameron dan Mike McCready, drummer dan gitaris Pearl Jam (dalam Black Hole Sun dan Blowin’ Smoke).
Maka, bisa dipahami jika Fingerprints terpilih sebagai Best Pop Instrumental Album pada Grammy ke-49 yang berlangsung Senin lalu. Sidik jari Frampton masih terlalu jelas untuk diabaikan, bahkan oleh para gitaris muda.
Ilmu Cina Di Tanah Melayu
Rahasia Bisnis Orang Cina Ann Wan Seng Penerbit: Hikmah, Januari 2007 Penerjemah: Fenny D. Editor: Roy Yuwana
DI MANA ada air, di situ ada orang Cina. Pepatah ini dikutip Ann Wan Seng untuk bukunya, Rahasia Bisnis Orang Cina, sebuah buku laris di Malaysia. Restoran Cina bisa ditemukan dengan mudah di Kenya, seorang pedagang eceran Tionghoa bisa dijumpai di Papua Nugini. Harap dicatat, ”orang Cina” yang dimaksud Wan Seng di sini adalah Cina Malaysia, komunitas tempat pemegang gelar master antropologi dan sosiologi lahir dan dibesarkan.
Dalam telaah Wan Seng, seorang pengusaha dan aktivis Persatuan Cina Muslim Malaysia, titik awal kebangkitan ekonomi orang Cina dimulai sejak diberlakukannya Dasar Ekonomi Baru pada 1970-an. Kebijakan ini berhasil mendorong lahirnya kalangan pengusaha yang lebih progresif baik dari kalangan Melayu maupun Cina. Namun, ia mendapati fenomena baru. ”Mengapa pengusaha Cina tetap sukses di komunitas Melayu, sedangkan pengusaha Melayu sulit sekali berkembang di komunitas Cina?”
Dengan menggunakan bahasa sederhana tanpa acuan teori njelimet, Wan Seng mengupas falsafah Cina tentang dagang, prinsip-prinsip yang melatari aktivis berdagang, perbedaan karakter pengusaha Cina dan non-Cina, khususnya Melayu, termasuk cara menangani pelanggan. Dengan bahasan yang cukup luas, meskipun tak terlalu dalam, banyak pelajaran yang bisa ditarik dari para pebisnis Cina Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo