Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya dilahirkan di Jakarta pada 4 November 1932 sebagai anak ketiga dari enam bersaudara. Almarhum ayah saya, Abdullah S. Alatas, bekerja sebagai dosen bahasa dan sastra Arab di Universitas Indonesia. Di masa kecil, belum ada pada saya keinginan untuk menjadi diplomat. Saat di SMA pun, cita-cita saya menjadi ahli hukum, maka saya rajin membaca kitab-kitab ilmu hukum. Hemat saya, belajar hukum membuat kita terbiasa berpikir sistematis serta berani berargumentasi untuk mencari kebenaran.
Selepas sekolah menengah, saya meneruskan studi ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ketika itu 1950. Nah, di tahun yang sama, saya juga diterima di Akademi Dinas Luar Negeri. Dua tahun kemudian terbit aturan bahwa mahasiswa akademi tidak boleh merangkap belajar di tempat lain. Apa boleh buat, Fakultas Hukum saya lepaskan. Pikir saya, kelak bila sudah bekerja di Departemen Luar Negeri, pendidikan hukum dapat saya lanjutkan lagi.
Selain belajar, saya banyak mengisi waktu dengan membaca-kesukaan yang sudah saya lakoni sejak kecil. Bacaan ringan maupun berat sama-sama saya nikmati. Ayah juga amat mendukung. Suatu ketika, Ayah pulang membawa ribuan buku. Saya girang bukan main melihat bawaan Ayah.
Waktu itu sore hari. Ceritanya, dalam perjalanan pulang dari kantor, Ayah terkejut melihat banyak orang memasuki rumah-rumah yang ditinggalkan warga Belanda yang lari karena kemenangan Jepang atas Sekutu. Massa dengan sigap menjarah barang-barang, tapi sedikit pun tak menyentuh buku-buku yang berserakan. Akhirnya, Ayah membawa pulang buku-buku yang kebanyakan berbahasa Belanda. Kebetulan saya sedikit bisa berbahasa Belanda. Belakangan saya juga menguasai bahasa Inggris, sedikit Prancis, dan Jerman.
Penugasan Pertama
Karier saya di Departemen Luar Negeri berawal pada 1954 di Direktorat Ekonomi Antarnegara. Dua tahun kemudian saya mendapat penugasan pertama sebagai diplomat ke luar negeri di Kedutaan Besar RI di Bangkok. Mula-mula, saya menempati pos Sekretaris II, kemudian Sekretaris I (1956-1960). Di sana saya mendapatkan pengalaman yang tak terlupakan: mengurus pemulangan para mantan romusha yang tersebar di Thailand.
Kebanyakan bekas romusha berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Ketika dibawa ke sana mereka masih muda, sekitar 18-20 tahun. Mereka dicomot begitu saja di pasar atau jalanan oleh tentara Jepang. Selama perang, mereka dipaksa bekerja, antara lain membangun jalan kereta api di Burma (Myanmar). Kontak dengan keluarganya di Jawa tak pernah terjadi. Ketika Jepang dikalahkan Sekutu, mereka ditinggal begitu saja.
Saat saya di Bangkok, mereka telah lebih dari 10 tahun tinggal di negeri itu, kebanyakan secara sembunyi-sembunyi. Banyak dari mereka yang sudah beristri dengan penduduk setempat dan beranak-pinak, namun mereka tetap memendam keinginan bertemu lagi dengan keluarga di Indonesia.
Kami memberi pilihan. Mereka yang ingin tinggal seterusnya di Thailand akan dibantu mendapatkan dokumen legal. Sedangkan yang mau bertemu keluarga, kami urus pemulangannya dengan kereta api dari Bangkok ke Singapura, dilanjutkan dengan kapal. Jumlahnya ternyata banyak. Sekali pemulangan bisa sekitar 80-100 orang.
Diplomasi Pasca tragedi G-30-S
Pada 1960, saya pulang dari Bangkok dan langsung menjadi Kepala Bagian Penerangan. Atasan saya adalah almarhum Pak Ganis Harsono. Ketika Pak Ganis menjadi Wakil Menteri Luar Negeri, saya menjadi Kepala Direktorat Penerangan sekaligus juru bicara. Menteri Luar Negeri RI saat itu dijabat oleh Subandrio.
Di bawah kepemimpinan Bung Karno, politik luar negeri kita bergeser ke kiri, walau tidak menjadi komunis. Suatu perubahan yang amat revolusioner. Kulminasinya adalah Gerakan 30 September (G-30-S) pada 1965. Peristiwa ini akhirnya mengubah seluruh situasi. Demikian pula di Deplu karena Menlu terlibat.
Sepeninggal Pak Bandrio pada 1966, Deplu mendapat pemimpin baru, yakni Adam Malik. Beliau langsung menggaet saya. "Ayo, Alex, bantu saya sebagai sekretaris!" Tentu (perintah itu) tak dapat ditolak. Namun, karena sudah enam tahun ngendon di Jakarta, saya berusaha mendapat penugasan ke luar negeri lagi. Pada awal 1967, akhirnya saya ditugaskan ke Washington DC sebagai kepala bidang politik.
Waktu itu tugas kami di Washington cukup sensitif. Indonesia baru saja mengalami berbagai peristiwa yang amat menggemparkan dalam rentetan kejadian G-30-S. Kami harus pandai-pandai menjelaskan apa yang sedang terjadi di Indonesia. Apalagi negeri kita dalam kondisi yang amat memerlukan bantuan, terutama di bidang ekonomi dan keuangan.
Kami juga harus memperbaiki hubungan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebelumnya, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB selama beberapa bulan. Waktu Adam Malik menjadi Menlu, kita masuk lagi. Ini sungguh perjuangan berat.
Gemblengan Adam Malik
Seusai masa penugasan di Washington, Pak Adam Malik menarik saya untuk menjadi Kepala Sekretariat Menlu pada 1970. Saya menduduki tempat yang unik. Saya juga menjadi penerjemah Menlu. Soalnya, Pak Adam tidak pernah mau ngomong dalam bahasa Inggris. Bahkan jika berunding antara para Menteri Luar Negeri saja, dia selalu menggunakan bahasa Indonesia.
Pak Adam juga amat percaya kepada saya. Sehingga sering kali dia tidak menghabiskan kalimatnya dan, "Alex, jawab saja deh," katanya. "Tidak bisa Pak. Bapak musti ngomong dulu, dong. Jadi saya kelihatan menerjemahkan," jawab saya. Namun, dia kembali menukas, "Terserah ngomongnya apa". Lucu sekali.
Selain itu, saya menjadi kepala perjalanan dan sekaligus kasir Menteri Luar Negeri karena Pak Adam tidak pernah mau pegang duit. Kalau mendapat uang harian, langsung dikasih ke saya. Tetapi kalau mau beli sesuatu, mesti tersedia.
Sepuluh tahun membantu Menteri Adam Malik merupakan gemblengan luar biasa bagi saya. Kami menghadapi berbagai masalah politik luar negeri yang serius. Semua pengalaman dalam periode ini amat bermanfaat bagi saya dalam mengemban tugas berikutnya.
Perunding Utama Kelompok 77
Terlalu lama menjadi Sekretaris Menlu membuat saya tak tahan lagi. Saya minta ke Direktur Jenderal Politik untuk diberi kesempatan bertugas di luar negeri lagi. Saya pun dilantik menjadi duta besar di Jenewa, Swiss, pada Agustus 1975. Januari 1976, saya meninggalkan Jakarta untuk menempati pos baru di Jenewa.
Di tempat baru ini saya terlibat langsung dalam perdebatan dan perundingan Utara-Selatan. Bahkan saya mendapat kehormatan dipilih menjadi perunding utama atau juru bicara Kelompok 77 (negara-negara berkembang/Selatan) yang merundingkan Dana Bersama untuk Komoditas.
Di posisi itu, saya belajar menjadi negosiator. Menggalang Kelompok 77 adalah tantangan yang amat sulit. Negara-negara berkembang memang paling susah diatur. Ketika kemudian sudah bersatu pun masih harus dipikirkan bagaimana menghadapi argumentasi negara-negara maju yang tetap bergeming.
Perjuangan berat itu berbuah manis. Kita berhasil mendapatkan Dana Bersama untuk Komoditas: satu-satunya persetujuan antara Utara dan Selatan yang bisa dicapai.
Argumentasi saya waktu itu, Dana Bersama untuk Komoditas merupakan kepentingan bersama, yakni agar harga bisa lebih stabil dan dapat diprediksi. Kita menggunakan stok penyangga. Kalau di pasar terjadi kekurangan, ada stok, sehingga fluktuasi harga dapat diredam.
Masuk Istana Wakil Presiden
Pada 1978, saya ditarik dari Jenewa. Ketika itu Pak Adam Malik diangkat sebagai wakil presiden. Saya diminta menjadi Kepala Sekretariat Wakil Presiden. Saya sebenarnya ingin menolak, tetapi susah. Akhirnya, kami berkompromi. Pak Adam bilang, Alex boleh bolak-balik Jakarta-Jenewa karena tugasnya sebagai perunding utama Kelompok 77 belum selesai. Akhirnya, saya bekerja ganda sampai 1979.
Bekerja dengan Wapres membuat saya lebih banyak berkeliling di dalam negeri. Pak Adam punya prinsip, Presiden mengurus proyek-proyek "besar", sementara proyek-proyek lebih "kecil" dikerjakan Wapres. Jadi, kami mengurusi program-program transmigrasi, koperasi, dan lain-lain. Sungguh pengalaman luar biasa. Saya dapat lebih mengenal negeri sendiri.
Selama lima tahun di situ saya belajar lika-liku melaksanakan pemerintahan dalam sebuah negeri yang coraknya amat beragam. Saya jadi tahu betapa kompleksnya Indonesia dan susahnya mensejahterakan ratusan juta rakyat Indonesia yang beragam.
Menjadi Menteri Luar Negeri
New York, Maret 1988. Saya ditelepon oleh Presiden Soeharto dari Jakarta. Waktu itu, Sabtu pagi hari. saya sedang bermain golf dan baru menyelesaikan sembilan hole dan tengah melewati club house. Istri saya memanggil-manggil. Dia bilang, Pak Harto menelepon dan meminta saya menelepon kembali.
Saya bingung karena waktu itu di New York hampir pukul 12.00. Berarti di Jakarta hampir pukul 00.00. Istri meyakinkan saya untuk segera menelepon Presiden. Saya turuti anjurannya. Ternyata Presiden masih menunggu telepon saya. Dia mengatakan, "You segera pulang karena saya bermaksud memberi tugas baru. Tetapi jangan cerita ke orang lain. Pulangnya juga cari alasan. Jangan beri tahu kalau saya yang memanggil." Pak Harto melanjutkan: "Harap Saudara menghadap saya pada hari Sabtu jam 10.00 di Cendana." Dia juga menegaskan agar saya tidak memberi tahu Menlu karena akan diberi tahu langsung oleh Presiden. Waduh.
Saat itu tugas saya sebagai duta besar/Wakil Tetap Indonesia untuk PBB di New York hampir berakhir. Saya hanya memberi tahu seorang staf dan Kepala Bidang Keuangan. Saya bilang, saya akan pergi ke Jakarta. Tetapi kalau ada yang tanya, termasuk dari Jakarta, katakan saya ke Bahama.
Berangkatlah saya ke Jakarta dan diam-diam dijemput keluarga. Namun, saya tidak tahan. Akhirnya, saya memberi tahu Menlu. Beliau bilang, "Saya sudah mengira you di sini. Saya juga mendengar you akan menggantikan saya." Waktu menghadap Pak Harto, saya diminta menjadi Menteri Luar Negeri.
Normalisasi Hubungan RI-RRC
Saya pindah ke Jakarta dan mulai bertugas sebagai Menteri Luar Negeri dan mendapatkan banyak pengalaman mengesankan. Kebetulan beberapa masalah selesai dalam masa tugas saya, meski problemnya sudah dimulai sejak masa-masa sebelumnya, di antaranya adalah normalisasi hubungan dengan Cina, penataan kembali hubungan dengan Australia, penyelesaian masalah Kamboja, Filipina Selatan, Indonesia menjadi Ketua Gerakan Nonblok, serta masalah Timor Timur.
Hubungan dengan Cina putus setelah G-30-S, 1965. Para pendahulu saya, mulai dari Pak Adam Malik sampai Mochtar Kusumaatmadja, telah mencoba meyakinkan Presiden untuk menormalisasi hubungan. Saat itu Amerika Serikat saja telah melakukannya. Kok Indonesia satu-satunya yang masih ngambek? Tetapi Pak Harto mengatakan, "Belum waktunya."
Pada 1988, Indonesia mendapat giliran menjadi tuan rumah dan Ketua Sidang Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP). Sebagai tuan rumah kita tidak bisa "say no" terhadap perwakilan RRC. Kan mereka juga anggota ESCAP. Kebetulan Wakil Menlu Cina, Liu Shu Qing, yang akan datang.
Saya melaporkan hal ini ke Pak Harto. Saya tanyakan bagaimana kalau saya menghubungi Wakil Menlu Cina dan ngomong mengenai apa yang kita syaratkan untuk normalisasi hubungan? Ternyata Pak Harto setuju. Ini agak mencengangkan karena selama ini Presiden selalu tidak setuju.
Sikap Pak Harto sebetulnya sudah melunak sejak dia memberi Pidato Pertanggungjawaban di Sidang Umum MPR 1 Maret 1988. Di sela-sela pertemuan ESCAP, Wakil Menlu Cina bersedia memberi penegasan secara terbuka bahwa RRC tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, khususnya membantu sisa-sisa kekuatan komunis. Ini memang salah satu syarat utama normalisasi yang diminta oleh Indonesia.
Penyelesaian Masalah Kamboja
Masalah lain yang diwariskan Pak Mochtar kepada saya adalah konflik Kamboja yang membikin sibuk Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) sejak 1978. Sembilan tahun berturut-turut, ASEAN memprakarsai resolusi di Sidang Majelis Umum PBB yang mendukung koalisi perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Norodom Sihanouk melawan Vietnam dan rezim Hun Sen. Meski berbuah resolusi, Vietnam tak pernah menggubrisnya.
Pada 1987, para Menteri Luar Negeri ASEAN sepakat menunjuk Indonesia sebagai "interkulator" (penghubung) ASEAN dalam menjajaki penyelesaian damai melalui dialog dan perundingan.
Pada 29 Juli 1987, sebenarnya telah tercapai kesepakatan antara Menlu Mochtar Kusumaatmadja dan Menlu Vietnam Nguyen Co Thach bahwa akan diadakan pertemuan informal dalam dua tahap. Pertama, pertemuan empat faksi Kamboja (Raja Norodom Sihanouk/Ranaridh, Son Sann, Khieu Samphan, Hun Sen). Kedua, pertemuan antara empat faksi Kamboja dan Indonesia, ASEAN, Vietnam, serta Laos.
Pada waktu Pak Mochtar melaporkan kesepakatan tersebut ke forum Menlu ASEAN, timbul penentangan cukup keras sehingga pelaksanaannya terhenti. Terobosan penting terjadi di Jakarta melalui Jakarta Informal Meeting (JIM) pertama, Juli 1988, di Istana Bogor. Pada pertemuan ini disepakati untuk bersama-sama mengusahakan terbentuknya Kamboja yang independen, berdaulat, damai, dan netral, serta berbasis penentuan nasib diri sendiri dan rekonsiliasi nasional.
Selain itu, tercapai pula kesepakatan pada aspek terkait lainnya, umpamanya penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja, pencegahan berulangnya genosida, serta menjamin penghentian campur tangan asing dan suplai senjata dari negara lain untuk menentang pasukan Kamboja.
Anggota tetap Dewan Keamanan PBB juga mengadakan pertemuan yang dilanjutkan dalam Pertemuan Paris pertama, walau gagal mencapai terobosan. Proses perundingan pun kembali ke Jakarta. Anggota tetap Dewan Keamanan PBB akhirnya menyepakati dokumen kerangka kerja penyelesaian politik yang komprehensif.
Pada 23 Oktober 1991, dihasilkan kesepakatan tentang pembentukan Otoritas Transisional PBB di Kamboja (UNTAC) serta pengaturan penyelenggaraan gencatan senjata, penarikan pasukan Vietnam, dan pemilu.
Konflik Filipina Selatan
Selama kurang lebih seperempat abad warga muslim di Filipina Selatan yang tergabung dalam Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) berjuang untuk mencapai Mindanao merdeka. Pada akhirnya, MNLF menanggalkan tuntutan kemerdekaan penuh dan bersedia memperjuangkan otonomi luas, didukung oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Masalah Filipina Selatan pertama dibahas OKI pada Konferensi Tingkat Menlu (KTM) di Benghazi, Libya, Maret 1973. Dalam pertemuan ini diputuskan untuk membentuk suatu Quadripartite Committee (Komite Empat Pihak), yang bertugas mencari penyelesaian masalah Filipina Selatan.
Keterlibatan Indonesia dalam proses perdamaian dimulai pada KTM, April 1993. Atas permintaan kedua pihak yang bersengketa, Indonesia menyelenggarakan Pertemuan Penjajakan Informal di Cipanas, Jawa Barat. Pertemuan formal pertama dilangsungkan Jakarta pada 25 Oktober- 7 November 1993.
Toh jalan masih panjang. Selama kurun waktu tiga tahun digelar sejumlah pertemuan. Dan pada 30 Agustus 1996, Kesepakatan Damai Final berlangsung di Istana Negara, Jakarta. Sedangkan penandatanganan dilakukan pada 2 September 1996 di Istana Malacanang, Manila.
Proses negosiasi masalah Filipina Selatan, yang praktis seluruhnya mengandalkan kemampuan negosiator Indonesia, ternyata merupakan "latihan" dan pengalaman berharga bagi staf Departemen Luar Negeri RI dalam menghadapi perundingan dalam menyusun sistem otonomi khusus untuk Timor Timur.
Lepasnya Timor Timur
Tuntasnya masalah Timor Timur adalah salah satu puncak peristiwa dalam sejarah diplomasi kita. Walaupun, apa boleh buat, bentuk dan cara penyelesaiannya tidak sesuai dengan harapan dan tujuan kita.
Saya ingin meluruskan satu kekeliruan persepsi yang muncul di kalangan masyarakat. Selama ini ada anggapan seolah-olah upaya penyelesaian damai melalui kompromi muncul tiba-tiba pada masa Presiden Habibie dan terjadi di bawah tekanan Barat. Saya ingatkan kembali bahwa sejak 1983- sejak Dialog Segitiga dengan Portugal di bawah Sekretaris Jenderal PBB dimulai-diplomasi Indonesia sudah ditugasi mencari solusi yang menyeluruh, adil, dan diterima oleh masyarakat internasional.
Pada 1986-1987 dan 1991, Indonesia menerima gagasan penyelesaian kompromi yang ditawarkan Sekjen PBB Perez de Quellar, tapi Portugal menolaknya.
Soal lain adalah usul pemberian status khusus dengan otonomi luas kepada Timor Timur, sebagai bagian dari penyelesaian akhir dan "jalan tengah" antara kelompok penuntut kemerdekaan dan kelompok yang menerima integrasi. Sejumlah kalangan mengira usul ini baru muncul pada masa kabinet Habibie.
Sebenarnya, usul ini pertama kali diajukan Deplu pada 1994, namun waktu itu belum disetujui oleh Presiden Soeharto. Pada pemerintahan Presiden Habibie, usul ini kembali disampaikan dan diterima. Hal serupa terjadi ketika diajukan dalam sidang kabinet paripurna. Pada pertemuan segitiga tingkat Menlu di New York, Agustus 1998, usul ini disampaikan secara resmi. Walau belum diterima sebagai suatu bentuk penyelesaian akhir oleh Portugal, tetapi disepakati untuk memulai perundingan guna menjabarkan secara terperinci perihal otonomi khusus.
Dari semula ide tersebut terus dikecam dan dipertanyakan kelompok-kelompok prokemerdekaan Timor Timur, organisasi nonpemerintah, serta pemerintah negara-negara Barat tertentu. Dalam suasana seperti itulah muncul reaksi dalam bentuk "opsi kedua" dari Habibie pada Januari 1999. Alhasil, ada dua pilihan opsi, yakni menerima baik usul otonomi khusus serta menolaknya, dengan konsekuensi Timor Timur dilepas dari Republik Indonesia. Kedua opsi tersebut menjadi tema utama perundingan selanjutnya. Rapat Koordinasi Politik dan Keamanan maupun sidang pleno kabinet kemudian menyetujui opsi kedua, dan menjadi kebijakan resmi pemerintah.
Menurut saya, juga dalam pandangan Deplu, usul "opsi kedua" itu agak prematur. Dan andaikata usul otonomi khusus yang diajukan sebagai penyelesaian akhir itu ditolak, maka sebenarnya masih terbuka berbagai pilihan jalan keluar lain, misalnya memberlakukan otonomi khusus sebagai suatu "pengaturan antara" selama 5-10 tahun, dan tetap memberi kemungkinan referendum kepada masyarakat Timor Timur.
Namun, semua telah terjadi. Seperti kita saksikan, penentuan pendapat rakyat Timor Timur-kini Republik Timor Loro Sa'e-telah menghasilkan penolakan. Kini wilayah tersebut telah menjadi negara yang berdaulat.
Tak Kenal Masa Pensiun
Saya pensiun dari jabatan Menlu ketika Abdurrahman Wahid naik menjadi presiden. Pengganti saya, Pak Alwi Shihab. Bukan berarti saya bisa santai-santai saja setelah itu. Masih begitu banyak tugas yang harus saya jalankan. Hingga kini, saya masih diminta menjadi penasihat Menlu. Saya juga menjadi penasihat presiden di bidang politik luar negeri, selain menjadi utusan khusus sejak masa Presiden Megawati Soekarnoputri hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Memang, banyak waktu tersita, tapi menyenang-kan dan menantang. Seorang teman berkelakar, sekarang saya justru lebih sibuk ketimbang saat menjadi Menlu. Dia bertanya kapan saya akan benar-benar pensiun? Saya tidak tahu. Saya akan tetap bertugas sampai tidak mampu lagi bekerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo