Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Yang lain dari midian

Dirjen pengawasan obat & makanan, mengeluarkan daftar harga obat dan pabriknya. ditujukan pada apotek dan dokter. (ksh)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRITIK Iwan Darmansjah mengenai anarki di bidang obat-obatan, yang diucapkannya dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar farmakologi UI, akhir Maret lalu, rupanya bagai obat juga. Meski barangkali belum memberikan jawaban mendasar, Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Departemen Kesehatan), Midian Sirait, bulan Juni ini akan mengeluarkan daftar harga obat dan pabriknya agar dokter dan masyarakat bisa memilih obat yang tepat. Langkah Midian ini mengingatkan orang pada masa Herman Soesilo masih duduk sebagai kepala dinas kesehatan Jakarta. Ketika itu ada keharusan apotek memasang harga eceran tertinggi obat. Tetapi yang dari Midian ini lain. Daftar itu secara terbatas hanya akan mencapai dokter dan apotek -- bukan konsumen. Peredarannya sendiri ditumpangkan pada buku Informasi Spesialite Indonesia (ISO) yang muncul tiap enam bulan dan diterbitkan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Menurut Midian, daftar itu diharapkan bisa memberi petunjuk kepada dokter bagaimana memilih dari bermacam-macam obat yang beredar. "Sehingga mereka bisa menentukan obat mana yang tepat untuk pasiennya. Baik dari segi penyembuhan maupun kemampuan keuangan," katanya. Menarik juga, daftar itu kelihatan pada akhirnya dibuat untuk membantu pasien dari golongan masyarakat menengah ke atas. Sebab menurut Dirjen POM, "buat yang berpenghasilan rendah sudah ada Puskesmas." Memang di Puskesmas pemcrintah sudah menyediakan obat-obat esensial yang murah karena subsidi. Tapi kalau diniatkan untuk mempermudah dokter memilih, daftar harga ini kelihatannya terlambat. Sebab sebenarnya sudah diperlukan sejak awal 1970-an, ketika produksi obat sedang hangat-hangatnya. Waktu itu, dalam masa yang cukup singkat Indonesia tiba-tiba menjadi negara terbesar yang memproduksi obat di antara negara berkembang. Sekitar 7.000 macam obat beredar. Tanpa didukung kontrol yang kuat -- baik terhadap harga maupun mutu. Sebagai misal, untuk teracyclne saja para dokter harus memilih di antara 24 macam nama. Persaingan menjadi-jadi. Sehingga sebagaimana dikatakan Iwan Darmansjah, yang ketika itu sudah duduk sebaai kepala bagian farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, tumbuhlah industrio-medical complex, hubungan kompleks antara industri dan kedokteran. Eratnya hubungan antara sebagian dokter dan industri farmasi ini dinilai Iwan sebagai ancaman terhadap etika kedokteran. Memang sudah bukan rahasia, industri farmasi "memegang" dokter-dokter tertentu dengan rupa-rupa pemikat, termasuk tiket pesawat untuk menghadiri seminar di luar negeri. Sementara obat yang dipilih dokter tadi, seperti dikatakan Darmansjah, ada yang jatuh pada preparat yang kurang ampuh sedang harganya jauh lebih mahal dibanding obat-obat lama yang sudah terbukti manjur. Ketua Ikatan Dokter Indonesia Pusat Prof. Mahar Mardjono, menyambut baik keluarnya daftar harga obat dan nama produsennya itu. "Karena banyak dokter yang tidak mengetahui harga-harga obat yang ditulisnya pada resep. Dengan adanya daftar itu masyarakat dapat mengontrol," katanya. "Masyarakat harus tahu membeli obat dengan resep, dan harganya berapa," sambung Iwan Darmansjah, yang dikenal masyarakat lingkungannya sebagai dokter yang sering memberi resep obat yang harganya miring. Iwan sendiri lebih cenderung menekankan pentingnya peranan dokter dalam masalah pemilihan obat yang 'tidak mahal tapi tepat' ini. "Pengertian dokter mengenai obat secara mendasar perlu ditingkatkan. Kesulitan yang selalu timbul sampai kini, masyarakat dan dokter menerima konsep bahwa obat yang baru selalu yang terbaik," ulasnya. Iwan dalam banyak kesempatan berbicara selalu mengetengahkan "10 firman obat" gubahannya. Antara lain berbunyi: "Janganlah memilih preparat terbaru karena barunya." Langkah Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan mengedarkan daftar ini, menurut Iwan menunjukkan kemajuan. Sebab selama ini pengaturan obat hubungannya selalu dengan apotek tok. "Dokterlah yang terutama mesti diajak bicara mengenai obat-obatan. Karena merekalah yang langsung memberikan resep kepada pasien."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus