KRITIK Iwan Darmansjah mengenai anarki di bidang obat-obatan,
yang diucapkannya dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar
farmakologi UI, akhir Maret lalu, rupanya bagai obat juga. Meski
barangkali belum memberikan jawaban mendasar, Direktur Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan (Departemen Kesehatan), Midian
Sirait, bulan Juni ini akan mengeluarkan daftar harga obat dan
pabriknya agar dokter dan masyarakat bisa memilih obat yang
tepat.
Langkah Midian ini mengingatkan orang pada masa Herman Soesilo
masih duduk sebagai kepala dinas kesehatan Jakarta. Ketika itu
ada keharusan apotek memasang harga eceran tertinggi obat.
Tetapi yang dari Midian ini lain. Daftar itu secara terbatas
hanya akan mencapai dokter dan apotek -- bukan konsumen.
Peredarannya sendiri ditumpangkan pada buku Informasi Spesialite
Indonesia (ISO) yang muncul tiap enam bulan dan diterbitkan
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
Menurut Midian, daftar itu diharapkan bisa memberi petunjuk
kepada dokter bagaimana memilih dari bermacam-macam obat yang
beredar. "Sehingga mereka bisa menentukan obat mana yang tepat
untuk pasiennya. Baik dari segi penyembuhan maupun kemampuan
keuangan," katanya.
Menarik juga, daftar itu kelihatan pada akhirnya dibuat untuk
membantu pasien dari golongan masyarakat menengah ke atas. Sebab
menurut Dirjen POM, "buat yang berpenghasilan rendah sudah ada
Puskesmas." Memang di Puskesmas pemcrintah sudah menyediakan
obat-obat esensial yang murah karena subsidi.
Tapi kalau diniatkan untuk mempermudah dokter memilih, daftar
harga ini kelihatannya terlambat. Sebab sebenarnya sudah
diperlukan sejak awal 1970-an, ketika produksi obat sedang
hangat-hangatnya. Waktu itu, dalam masa yang cukup singkat
Indonesia tiba-tiba menjadi negara terbesar yang memproduksi
obat di antara negara berkembang. Sekitar 7.000 macam obat
beredar. Tanpa didukung kontrol yang kuat -- baik terhadap harga
maupun mutu. Sebagai misal, untuk teracyclne saja para dokter
harus memilih di antara 24 macam nama.
Persaingan menjadi-jadi. Sehingga sebagaimana dikatakan Iwan
Darmansjah, yang ketika itu sudah duduk sebaai kepala bagian
farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, tumbuhlah
industrio-medical complex, hubungan kompleks antara industri dan
kedokteran. Eratnya hubungan antara sebagian dokter dan industri
farmasi ini dinilai Iwan sebagai ancaman terhadap etika
kedokteran.
Memang sudah bukan rahasia, industri farmasi "memegang"
dokter-dokter tertentu dengan rupa-rupa pemikat, termasuk tiket
pesawat untuk menghadiri seminar di luar negeri. Sementara obat
yang dipilih dokter tadi, seperti dikatakan Darmansjah, ada yang
jatuh pada preparat yang kurang ampuh sedang harganya jauh lebih
mahal dibanding obat-obat lama yang sudah terbukti manjur.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Pusat Prof. Mahar Mardjono,
menyambut baik keluarnya daftar harga obat dan nama produsennya
itu. "Karena banyak dokter yang tidak mengetahui harga-harga
obat yang ditulisnya pada resep. Dengan adanya daftar itu
masyarakat dapat mengontrol," katanya. "Masyarakat harus tahu
membeli obat dengan resep, dan harganya berapa," sambung Iwan
Darmansjah, yang dikenal masyarakat lingkungannya sebagai dokter
yang sering memberi resep obat yang harganya miring.
Iwan sendiri lebih cenderung menekankan pentingnya peranan
dokter dalam masalah pemilihan obat yang 'tidak mahal tapi
tepat' ini. "Pengertian dokter mengenai obat secara mendasar
perlu ditingkatkan. Kesulitan yang selalu timbul sampai kini,
masyarakat dan dokter menerima konsep bahwa obat yang baru
selalu yang terbaik," ulasnya. Iwan dalam banyak kesempatan
berbicara selalu mengetengahkan "10 firman obat" gubahannya.
Antara lain berbunyi: "Janganlah memilih preparat terbaru karena
barunya."
Langkah Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
mengedarkan daftar ini, menurut Iwan menunjukkan kemajuan. Sebab
selama ini pengaturan obat hubungannya selalu dengan apotek tok.
"Dokterlah yang terutama mesti diajak bicara mengenai
obat-obatan. Karena merekalah yang langsung memberikan resep
kepada pasien."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini