BEKAS Wakil Ketua Pengadilan Negeri Sumbawa Besar, I Putu Lanang
Sedana, yang biasa muncul di ruang sidang dengan toga, kini
duduk di kursi pesakitan. Ia dituduh merencanakan dan dengan
sengaja membunuh Zakaria Hamid. Korban tewas tertembak ketika
bersama massa menyerbu rumah hakim itu.
Peristiwa yang merusak karir Lanang Sedana itu bermula dari
perkelahian kelompok pemuda antarsuku di Sumbawa Besar.
Ketegangan berbau rasialis meledak lebih besar setelah jatuh
korban jiwa. Baku hantam terjadi di mana-mana. Ratusan rumah
terbakar habis dan rusak berat. Belum lagi kerusakan kendaraan
bermotor. Ketika itulah, 18 November 1980, dengan pistol di
tangan Lanang Sedana menyambut orang-orang yang melempari
rumahnya. Rupanya seorang mahasiswa, Zakaria Hamid, jatuh
tersungkur termakan peluru Pak Hakim itu. Terpaksa?
Jaksa Suwarsono, yang minggu-minggu ini membawa Lanang Sedana ke
pengadilan, menganggap pembunuhan itu terencana. Sebab, "dua
hari sebelum massa menyerbu rumahnya, ia sudah tahu akan
mengalami kejadian itu," ujar Suwarsono. Jaksa, yang juga kepala
Kejaksaan Negeri Sumbawa Besar itu, menyebutkan
sekurang-kurangnya ada 4 orang saksi yang memperingatkan Lanang
Sedana bahwa rumahnya akan diserbu. Keempat orang itu ialah,
Dandim Sumbawa Letkol. Tatang Mochtar, Anggota DPRD Sutarjo
B.A., Lettu. Pol. Aji Rustam Ramja dan Koptu. Ida Bagus Benum.
"Ia, sebenarnya, masih punya cukup waktu untuk mengungsi ke
tempat yang lebih aman, seperti yang dilakukan pendatang
lainnya," tambah Suwarsono. Tapi Lanang Sedana tidak berbuat
demikian. Ia seolah-olah malah mempersiapkan dirinya dengan dua
pucuk pistol. "Terdakwa dengan sengaja telah masuk ke dalam
suatu keadaan, dan ia dipaksa oleh keadaan itu, untuk bertindak
melawan hukum," ujar Suwarsono.
Jadi, simpul jaksa, alasan Lanang Sedana bertindak untuk membela
diri dalam keadaan darurat atau noodweer, tidak dapat diterima.
Pembelaan diri dalam keadaan darurat, menurut KUHP, bisa jadi
alasan pemaaf untuk tindak pidana pembunuhan. Pasal itu
dikuatkan pula dengan yurisprudensi dalam kasus Haris bin Ali
Murtopo. Haris yang beberapa tahun lalu terbukti menembak mati
seorang pelajar, dibebaskan dari tuntutan hukum. Karena
penembakan itu terjadi, menurut hakim, dilakukan dalam keadaan
darurat untuk membela diri.
Tapi untuk Lanang Sedana, kata Suwarsono, alasan itu tidak pada
tempatnya. Karena, sebenarnya, ia masih punya pilihan lain
selain harus membunuh. Saksi Bagus Benum misalnya, menyatakan
telah memperingatkan hakim itu dua hari sebelum kejadian.
Peringatan serupa juga disampaikan saksi Sutarjo.
Lebih berat lagi, selain membunuh, Lanang Sedana juga dituduh
menyimpan dua pucuk senjata api tanpa izin. Satu miliknya
sendiri dan yang lain milik temannya, Nyoman Madil, seorang
pengusaha di kota itu. Nyoman, menurut sumber polisi,
menyerahkan senjata itu sebulan sebelum keributan terjadi.
Pistol itulah yang kemudian meminta korban.
Ketika diusut polisi, pistol miliknya sendiri, yang diserahkan,
sementara pistol milik Nyoman dikuburkan di halaman rumah. "Ada
usaha hakim itu untuk menghilangkan jejak dengan mempertukarkan
pistol itu," ujar sebuah sumber.
Putu Lanang Sedana membantah membunuh dengan sengaja. "Tembakan
saya arahkan ke atas kok -- kan di atas yang ada hanya langit?"
kilah Lanang Sedana. Itu pun, katanya, terpaksa dilakukan untuk
membela diri. Ia tidak tahu bahwa peluru yang dibuangnya
menembus Zakaria. "Itu di luar perhitungan saya -- atau ada
orang lain yang menembak," kata hakim itu di persidangan.
Pengacaranya, Cokorde Gde Atmadja, tidak banyak komentar. "Kami
punya kartu truf," katanya. Dan kartu itu, janji Cokorde, akan
dibukanya nanti dalam acara pembelaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini