Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hakim lanang di kursi terdakwa

Bekas wakil ketua pengadilan negeri sumbawa besar, i. putu lanang sedana, diadili, dituduh membunuh zakaria hamid, dalam kasus perkelahian antar suku di sumbawa besar, 1980. (hk)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEKAS Wakil Ketua Pengadilan Negeri Sumbawa Besar, I Putu Lanang Sedana, yang biasa muncul di ruang sidang dengan toga, kini duduk di kursi pesakitan. Ia dituduh merencanakan dan dengan sengaja membunuh Zakaria Hamid. Korban tewas tertembak ketika bersama massa menyerbu rumah hakim itu. Peristiwa yang merusak karir Lanang Sedana itu bermula dari perkelahian kelompok pemuda antarsuku di Sumbawa Besar. Ketegangan berbau rasialis meledak lebih besar setelah jatuh korban jiwa. Baku hantam terjadi di mana-mana. Ratusan rumah terbakar habis dan rusak berat. Belum lagi kerusakan kendaraan bermotor. Ketika itulah, 18 November 1980, dengan pistol di tangan Lanang Sedana menyambut orang-orang yang melempari rumahnya. Rupanya seorang mahasiswa, Zakaria Hamid, jatuh tersungkur termakan peluru Pak Hakim itu. Terpaksa? Jaksa Suwarsono, yang minggu-minggu ini membawa Lanang Sedana ke pengadilan, menganggap pembunuhan itu terencana. Sebab, "dua hari sebelum massa menyerbu rumahnya, ia sudah tahu akan mengalami kejadian itu," ujar Suwarsono. Jaksa, yang juga kepala Kejaksaan Negeri Sumbawa Besar itu, menyebutkan sekurang-kurangnya ada 4 orang saksi yang memperingatkan Lanang Sedana bahwa rumahnya akan diserbu. Keempat orang itu ialah, Dandim Sumbawa Letkol. Tatang Mochtar, Anggota DPRD Sutarjo B.A., Lettu. Pol. Aji Rustam Ramja dan Koptu. Ida Bagus Benum. "Ia, sebenarnya, masih punya cukup waktu untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman, seperti yang dilakukan pendatang lainnya," tambah Suwarsono. Tapi Lanang Sedana tidak berbuat demikian. Ia seolah-olah malah mempersiapkan dirinya dengan dua pucuk pistol. "Terdakwa dengan sengaja telah masuk ke dalam suatu keadaan, dan ia dipaksa oleh keadaan itu, untuk bertindak melawan hukum," ujar Suwarsono. Jadi, simpul jaksa, alasan Lanang Sedana bertindak untuk membela diri dalam keadaan darurat atau noodweer, tidak dapat diterima. Pembelaan diri dalam keadaan darurat, menurut KUHP, bisa jadi alasan pemaaf untuk tindak pidana pembunuhan. Pasal itu dikuatkan pula dengan yurisprudensi dalam kasus Haris bin Ali Murtopo. Haris yang beberapa tahun lalu terbukti menembak mati seorang pelajar, dibebaskan dari tuntutan hukum. Karena penembakan itu terjadi, menurut hakim, dilakukan dalam keadaan darurat untuk membela diri. Tapi untuk Lanang Sedana, kata Suwarsono, alasan itu tidak pada tempatnya. Karena, sebenarnya, ia masih punya pilihan lain selain harus membunuh. Saksi Bagus Benum misalnya, menyatakan telah memperingatkan hakim itu dua hari sebelum kejadian. Peringatan serupa juga disampaikan saksi Sutarjo. Lebih berat lagi, selain membunuh, Lanang Sedana juga dituduh menyimpan dua pucuk senjata api tanpa izin. Satu miliknya sendiri dan yang lain milik temannya, Nyoman Madil, seorang pengusaha di kota itu. Nyoman, menurut sumber polisi, menyerahkan senjata itu sebulan sebelum keributan terjadi. Pistol itulah yang kemudian meminta korban. Ketika diusut polisi, pistol miliknya sendiri, yang diserahkan, sementara pistol milik Nyoman dikuburkan di halaman rumah. "Ada usaha hakim itu untuk menghilangkan jejak dengan mempertukarkan pistol itu," ujar sebuah sumber. Putu Lanang Sedana membantah membunuh dengan sengaja. "Tembakan saya arahkan ke atas kok -- kan di atas yang ada hanya langit?" kilah Lanang Sedana. Itu pun, katanya, terpaksa dilakukan untuk membela diri. Ia tidak tahu bahwa peluru yang dibuangnya menembus Zakaria. "Itu di luar perhitungan saya -- atau ada orang lain yang menembak," kata hakim itu di persidangan. Pengacaranya, Cokorde Gde Atmadja, tidak banyak komentar. "Kami punya kartu truf," katanya. Dan kartu itu, janji Cokorde, akan dibukanya nanti dalam acara pembelaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus