MANUSIA berusaha, Tuhan menentukan. Mungkin itulah nasihat paling baik buat penderita kanker gawat. Dan memang, sejumlah penderita tersembuhkan, yang lain sembuh kemudian terjangkiti lagi, dan, yang paling sering terdengar, mereka dibabat kanker dan harus menyerah. Berikut beberapa kisah penderita kanker: bagaimana reaksi dan upaya mereka menghadapi kanker - penyakit yang belum ketahuan sebab dan obatnya yang pastl ini. Selain kisah pertama, penderita tak bersedia disebutkan nama sebenarnya, yang lain adalah nama asli. Kisah Rony, 43, peternak ayam dari Kecamatan Caringin, Bogor. "Serasa sesak dada ini, menahan perasaan yang terguncang," tutur Rony mengenang masa lalu. "Bukannya saya takut mati, tapi siapa nanti yang akan membimbing dan melindungi kedelapan anak saya." April 1983, di RS Rajawali, Bandung, peternak ayam ini dioperasi anusnya. Penyakit yang setahun lalu didiagnosa seorang dokter sebagai semacam wasir ternyata tak tersembuhkan, bahkan kemudian anusnya tersumbat sama sekali. Dan hasil diagnosa dokter di RS Rajawali, sayatan daging di anus menunjukkan, Rony terkena kanker ractum, pada stadium lanjut. Artinya, gawat. Menurut dokter, mungkin hidupnya tinggal lima bulan. Tapi bagi Rony waktu lima bulan berarti kesempatan. "Selama saya masih mampu berikhtiar, akan saya lakukan," katanya, mengenang. Maka, ia pun berobat ke RSCM Jakarta. Selama dua bulan ia mendapat dua puluh lima kali penyinaran, di samping beberapa kali mendapat suntikan Cytostatica. Tapi ia tak kunjung membaik. Seorang dokter setelah didesak-desak, akhirnya mengatakan, harapan Rony untuk sembuh tipis. Akhirnya Rony banting setir, mencari pengobatan cara lain. Sementara itu, ia sudah menghabiskan Rp 1,3 juta untuk berobat belum terhitung transpor. Setelah memilih-milih, peternak ini akhirnya datang kepada dr. Gunawan dan dr. Harijanto di Ci sarua. "Bukan karena rumah saya dekat Cisarua, tapi menurut saya pengobatan dokter ini, masuk akal,' katanya. Benar saja, setelah menjadi vegetarian dan tiga kali sehari menyantap singkong gendruwo mentah - mula-mula 10 gram, kemudian meningkat jadi 2 gram sekali santap simgkong - kesehatannya membaik. Dua bulan kemudian, ia sudah bisa bekerja kembali Lima bulan kemudian, Rony mulai lari pagi dan berjemur di matahari pagi Fisiknya bertambah segar, dan ia jadi optimistis. Tapi sesekali ia masih mengontrolkan diri ke RSCM. "Kadar haemoglobin saya bagus, dan kadar racun kanker dalam darah sanga rendah," katanya. Artinya, sel kanke di tubuhnya tak aktif lagi. Elsa, gadis kecil, 5 tahun, kini me mondok di Sasana Marsudi Husada wisma penampungan penderita kanker, di kawasan Jakarta Timur. Mulamula Jahidin, petani karet dari MuarL Enim, Palembang, mengira bercak putih di mata kiri anaknya pertanda anaknya cacingan. Elsa cuma dibawa ke puskesmas dan mendapat obat cacing. Tapi sekitar tujuh bulan kemudian warna putih kekuninan di mata kiri Elsa meluas, hingga hitam mata tak tampak. Barulah Jahidin cemas. Anaknya yang keenam dari tujuh bersaudara itu dibawalah ke rumah sakit di Palemban. "Saya menjual kebun karet dua hektar, aku RP 300 ribu. RD 250 ribu untuk operasi anak saya," kata lelaki ini, pilu. Waktu itu dokter berkata, anaknya kena tumor. Tapi Jahidin tak paham apa itu tumor. Yang dia tahu, bila mata anaknya mesti dibuang berarti penyakitnya gawat. Dan atas nasihat dokter di Palembang anaknya dibawa ke Jakarta untuk memondok di Sasana Marsudi Husada. Petani ini mendapat rekomendasi dari RT, lurah, dan camat, hingga Elsa mendapatkan pengobatan gratis. "Untuk ke Jakarta saya dikasih dua tiket pesawat oleh Ibu Gubernur," tuturnya. Tiap hari Elsa berlari-lari gembira di halaman Marsudi Husada, dengan teman yang hampir sebaya, Mardiana, 3 tahun, dari Martapura, Kalimantan Selatan, yang sependeritaan dengan Elsa. Dua anak itu seperti tak merasakan penderitaan apa pun, tertawa tawa, sesekali berkelahi dan salah seorang lalu menangis. Elsa tak pernah menyusahkan dalam berobat, tutur Jahidin. Dia tak takut kalau dipanggil dokter. Tapi yang meresahkan Jahidin, kapan dia dan anaknya boleh pulang. "Sudah tiga bulan saya di sini, dan terus memikirkan yang di kampung, mereka makan apa," tuturnya dengan bahasa Indonesia patah-patah. Seorang pemuda, Erwin Atang, 29, anak kapal, menghadapi kanker dengan segala upaya. Beberapa tahun lalu ia merasa kesehatannya menurun dan ada benjol kecil di ketiaknya. Tapi 1979, ia jatuh lemas selagi bertugas di kamar mesm. Dari pemeriksaan dokter diketahui, ia menderita kanker. Kebetulan kapalnya, dalam perjalanan ke Amerika dan Eropa, singgah di Miami. Ia pun dioperasi di kota itu. Habis operasi, ia bekerja di kapal lagi. Sampai 1981, ternyata fisiknya tak kuat agl, ia berhenti, malahan harus masuk RSPAD dan dioperasi lagi: benjolan itu tumbuh lagi. "Saya ngeri bukan takut mati, tapi kanker itu hanya sejari dari jantung saya," tuturnya. Akhirnya ia bosan operasi. "Saya cari dukun, siapa tahu lebih hebat daripada dokter," katanya. Ternyata, harapannya tak terwujud. Oleh dukun ia pernah disuruh berendam di sungai, minum air kelapa yang dicampur ramuan berbau busuk. Akhirnya Erwin terdampar di rumah Pak Kiran, di Blitar. Ketika datang ke Pak Kiran, 1981, tubuhnya masih kekar. Kini, tubuhnya susut, badannya lemas. Tapi di ketiaknya takada lagi benjolan, melainkan benjolan turun ke sekitar pantat. Ini rupanya cukup menenteramkan Erwin yangkini terus memondok di rumah Pak Kiran. "Benjolan akhirnya menjauhi jantung," kata anak Jakarta ini, terdengar optimistis. Dalam suratnya yang ditujukan kepada seorang sahabatnya, seorang wartawan di Jakarta, ia menulis, "Sekarang petualangan gue sudah berhenti. Dan karier gue juga sudah mandek. Insya Allah kalau gue sudah sembuh, bisa mulai lagi yang baru...." Erwin masih optimistis. Adalah Tjarda Tedja, 59, pensiunan pegawai Perumtel Sektor III, Bandung. Diketahui bahwa bapak ini sudah lama menderita diabetes dan radang usus. Pada 10 Juli lalu ia masuk RS Boromeus. Dan seminggu kemudian dokter menduga, ia pun menderita kanker hati. "Tapi itu baru dugaan," kata Irmanto, anak bungsunya. Lebih dari sebulan terbaring di RS Boromeus dan tak membaik, Tjarda minta pulang. Masih kuat, karena ia masih bisa membonceng motor Irmanto - bapak ini memang suka naik motor meski punya mobil. Sementara itu, keluarganya terus mencarikan upaya. Siapa tak imgin kepala keluarganya bebas dari penyakit. Waktu itulah Irmanto mendengar berita tentang dr. Gunawan Simon yang mengobati Adam Malik. Ia pun membawa ayahnya ke dokter yang tiba-tiba populer itu. Dr. Gunawan Simon setelah melihat hasil ultrasonografi dari RS Boromeus, mengatakan, Tjarda memang mengidap kanker hati. Lalu dokter ini menyuntik Tjarda. Tiba di rumah ternyata Tjarda malahan kehilangan kekuatannya, dan hanya bisa berbaring. "Tapi saya masih menaruh harapan, karena, menurut dr. Gunawan, pasien lain pun begitu," tutur Irmanto, mahasiswa Jurusan Komputer di ITB. Pada 18 Agustus Tjarda, sesuai dengan perintah dr.Gunawan, datang lagi, dan disuntik lagi. Tak juga ada perbaikan, bahkan dua hari kemudian orang tua ini tak mau makan. Celakanya dr. Gunawan sedang berada di Jepang, waktu itu. Keluarga Tjarda rupanya sudah pasrah. Keesokan harinya, Tjarda menutup mata untuk selamanya, meski sudah mengeluarkan Rp 250 ribu, untuk dua kali suntik dari dr. Gunawan. "Saya tak mau ketemu dr. Gunawan lagi. Saya kesal," kata Irmanto. Ketika pertama datang ke dr. Gunawan, ia optimistis karena dokter itu begitu meyakinkan seolah memang bisa menyembuhkan ayahnya. Tapi ketika datang kedua kalinya, ia mulai sangsi. Kanker memang masih misterius. Penderita yang diramal tak bakal lebih dari lima bulan hidupnya ternyata sembuh. Sedangkan yang lain, yang diduga sudah membaik, tiba-tiba kambuh, lalu tak tertolong lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini