BUKAN karena putus asa, tapi beritikad mengurangi penderitaan seorang pasien yang sakit berat - dan juga barangkali pertimbangan ekonomis - di lingkunan kedokteran kini beredar istilah euthanasia. Pada dasarnya, istilah itu berarti membiarkan seorang pasien gawat misalnya yang kena kanker - mati. Dengan catatan, bila pasien dianggap sudah tak punya harapan untuk sembuh berdasarkan pertimbangan medis. Artinya, apa pun yang akan dilakukan, pasrennya toh menderita, pengobatannya sulit, merepotkan, dan sangat mahal. Jadi, untuk apa? Toh euthanasia tak begitu saja diterima. Masih kuat keyakinan, kematian berada di tangan Tuhan - tak seorang manusia pun boleh menggantikan-Nya, bahkan si pemilik nyawa sekalipun. Sampai kini "hak untuk mati" ini masih ramai diperdebatkan. Khususnya dalam etika kedokteran dan undang-undang kedokteran. Namun, di tengah perdebatan yang berlarut-larut itu, sudah terjadi satu dua peristiwa yang menunjukkan adanya penggunaan "hak untuk mati" itu. Misalnya di Amerika Serikat tempat hakhak pribadi sering kali dihormati secara berlebihan. Juli, 1978 ketika euthanasia ramai dimasalahkan, Abe Perlmutter, 73, berhasil memenangkan hak untuk mati di pengadilan. Hakim di Fort Lauderdale memerintahkan jaksa memaksa para dokter di rumah sakit menghentikan mesin pernapasannya yang sudah menopang hidup Abe si tua itu selama dua bulan. Walau demikian, perdebatan masih juga terus berlanjut, dan berbagai kasus unik bermunculan. Diperdebatkan misalnya: siapa yang berhak menentukan kematian. Apakah si empunya nyawa, keluarga, pengadilan, atau barangkali dokter. Bila si empunya nyawa ditentukan sebagai pemegang kata akhir, muncul masalah bagaimana bila pemilik nyawa itu scorang anak kecil. Di samping itu, menurut dr. Kartono Mohamad, tokoh IDI, hak dokter untuk mempunyai sikap juga harus diperhatikan. Artinya, dokter punya hak juga untuk menolak melakukan "pembunuhan", misalnya atas pertimbangan keyakinan agama - mencegah diburu perasaan berdosa. Kartono mengungkapkan contoh yang cukup terkenal, Karen Ann Quinlan yang mendapat hak untuk mati dari pengadilan. Dokter ternyata menolak melaksanakan keputusan pengadilan, dan memilih hukuman daripada membunuh pasiennya. Di Indonesia, menurut Kartono, masalah ini belum bergaung, antara lain karena undang-undang kedokteran belum ada. Lagi pula, terasa tidak etis bila seorang dokter baik berdasarkan pertimbangan medis maupun ekonomis misalnya - meminta keluarga pasien untuk tak usah repot-repot meneruskan usaha pengobatannya. Tapl keluarga punya hak untuk meminta pasien dikeluarkan dari rumah sakit. "Dan bila pasien akhirnya meninggal, dokter sudah lepas dari tanggung jawab," kata Kartono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini