NASIB yang sial kini merundung Mbok Ribut. Ia pembuat tempe
bongkrek dari desa Kradenan, Banyuwangi. Ia, dengan tempe yang
sudah jadi sumber hidupnya selama 30 tahun, kini sedang menunggu
di Lembaga Pemasyarakatan Banyuwangi. Dengan cemas ia menantikan
hari pengadilan atas dirinya sendiri dan suaminya, Pak Ribut.
Mereka dituduh: dengan tempe bongkrek buatan tangan mereka
sendiri telah mengakibatkan meninggalnya 86 orang konsumen,
bulan Januari yang lalu.
Perkara Mbok dan Pak Ribut ini akan menarik perhatian. Karena,
agaknya inilah untuk pertama kalinya seseorang pembuat makanan
diadili karena makanan buatannya telah membunuh orang, sementara
dia sendiri tak tahu bahwa di makanan yang dia olah berkembang
biak kuman yang bisa membentuk racun yang ganas. "Penyebab utama
kematian ke-86 orang tadi disebabkan oleh tempe bongkrek. Maka
mau tak mau Mbok Ributlah yang harus mempertanggungjawabkannya
di depan pengadilan nanti", kata Danres Kepolisian Banyuwangi
Mayor Amrin Syarofi.
Meskipun hasil pemeriksaan di Laboratorium Komdak X Jawa Timur
mengenai tempe bongkrek tersebut belum bisa diperoleh, namun
bisalah diduga kuman pseudomonas coccovenance sebagai biang
keladi. Satu jenis kuman ganas yang tak terfikirkan Mbok Ribut,
kecuali orang-orang yang ahli dalam bidang kesehatan.
Saya Memang Sudah Tua
Pada permulaan tahun 1976 dalam sebuah pertemuan para ahli
biokimia di Jakarta, beberapa sarjana sudah ada yang menyebutkan
tentang adanya kuman pseudomonas di daerah-ramai-pembuatan
bongkrek seperti Banyumas Selatan dan Malang Selatan. Sementara
itu petugas-petugas kesehatan di luar kedua daerah tersebut
rupanya belum sempat menemukan kecamuk kuman tersebut sebelum
dia sempat mengambil korban, sebagaimana yang terjadi di
Banyuwangi. Dan Mbok Ribut yang tidak punya pengetahuan
sejelimet itu menjadi korban - karena serangan tiba-tiba dari
kuman pseudomonas. "Kalau saya mau dihukum, biarlah, saya
memang sudah tua", jawab Mbok Ribut pasrah kepada Pembantu
Tetap TEMPO Imam Soebagio yang menemuinya di Lembaga
Pemasyarakatan Banyuwangi.
Ditanya bagaimana perasaannya ketika mendengar banyaknya korban
yang jatuh akibat tempe buatannya, dengan kaget dia menjawab:
"Tak tahu menahu tentang kematian itu". Yang dia ketanui katanya
hanyalah yang dari polisi. "Mereka mengatakan banyak orang yang
mabuk setelah makan tempe saya. Tapi nyatanya anak cucu saya
yang juga makan tidak apa-apa. Mereka saban hari makan tempe
buatan saya", sambungnya. "Tempe bongkrek tidak membahayakan,
paling banter cuma mabuk. Kalau mabuk pun obatnya gampang.
Minumlah air kelapa hijau", katanya lagi.
Tempe bongkrek ini dibuat terutama dari ampas kelapa dan ampas
tahu. Ampas tahu diperoleh Mbok Ribut dari perusahaan tahu milik
Dulbari, tetangganya. Sedangkan ampas kelapa didapatnya dari
Tarmi di desa sebelah yang memang sering membuat minyak kelapa.
Meskipun ampas-ampas ini sudah bau masih tetap bisa dipakai.
Keduanya dicampur sampai rata betul.
Cuma 10 Rupiah
Yang mengerjakan pencampuran ini adalah Pak Ribut, kalau dia
sudah pulang dari sawah. Dialah yang memerasnya. Airnya dibuang
sementara ampas tadi direbus. Ampas yang sudah direbus itu
diserakkan supaya dingin, baru kemudian ditaburkan ragi tempe.
Dua hari dua malam ditutup daun pisang menanti tumbuhnya jamur.
Kalau sudah jamuran itu artinya diapun siap dipasarkan. "Tiga
iris, setapak tangan besarnya cuma sepuluh rupiah", sela Mbok
Ribut.
Setiap hari dia menjualnya di pasar desa. Hanya hari-hari
tertentu dia bawa sampai ke desa bersebelahan. Tiap pasar
Kemisan di desa Kradenan, pasar Jum'atan di Jatirejo, pasar
Selasa di desa Karetan dan pasar Sabtu di desa Selorejo.
Biasanya, begitu Mbok Ribut muncul di mulut pasar, beberapa
tengkulak sudah datang menyambutnya dan memborong semua
dagangannya. Hingga tiap hari dia selalu pulang lebih cepat dari
para pedaan lain.
Ada dua keuntungan sebagai pembuat tempe bongkrek bagi Mbok
Ribut. "Pertama anak cucu saya tak perlu membeli lauk lagi dan
kedua saya dapat keuntungan sekitar dua ratus sampai tiga ratus
rupiah setiap hari", katanya di Lembaga Pemasyarakatan
Banyuwangi. Satu tempat di mana dia tidak bisa lagi menghitung
untung kecuali berfikir tentang kesalahan apa yang telah dia
perbuat sampai dia harus meringkuk begitu. Dan masa penantian
dalam tahanan itu berarti beban baru buat anak cucunya yang
selama ini menikmati buah tangan Mbok Ribut, nenek mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini