Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Yang Salah: Apa Itu Pseudomonas, ...

Tempe bongkrek buatan mbok dan pak ribut membawa korban 86 meninggal. Kedua orang tersebut terpaksa diamankan oleh kepolisian banyuwangi dan selanjutnya akan diserahkan ke pengadilan.

9 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB yang sial kini merundung Mbok Ribut. Ia pembuat tempe bongkrek dari desa Kradenan, Banyuwangi. Ia, dengan tempe yang sudah jadi sumber hidupnya selama 30 tahun, kini sedang menunggu di Lembaga Pemasyarakatan Banyuwangi. Dengan cemas ia menantikan hari pengadilan atas dirinya sendiri dan suaminya, Pak Ribut. Mereka dituduh: dengan tempe bongkrek buatan tangan mereka sendiri telah mengakibatkan meninggalnya 86 orang konsumen, bulan Januari yang lalu. Perkara Mbok dan Pak Ribut ini akan menarik perhatian. Karena, agaknya inilah untuk pertama kalinya seseorang pembuat makanan diadili karena makanan buatannya telah membunuh orang, sementara dia sendiri tak tahu bahwa di makanan yang dia olah berkembang biak kuman yang bisa membentuk racun yang ganas. "Penyebab utama kematian ke-86 orang tadi disebabkan oleh tempe bongkrek. Maka mau tak mau Mbok Ributlah yang harus mempertanggungjawabkannya di depan pengadilan nanti", kata Danres Kepolisian Banyuwangi Mayor Amrin Syarofi. Meskipun hasil pemeriksaan di Laboratorium Komdak X Jawa Timur mengenai tempe bongkrek tersebut belum bisa diperoleh, namun bisalah diduga kuman pseudomonas coccovenance sebagai biang keladi. Satu jenis kuman ganas yang tak terfikirkan Mbok Ribut, kecuali orang-orang yang ahli dalam bidang kesehatan. Saya Memang Sudah Tua Pada permulaan tahun 1976 dalam sebuah pertemuan para ahli biokimia di Jakarta, beberapa sarjana sudah ada yang menyebutkan tentang adanya kuman pseudomonas di daerah-ramai-pembuatan bongkrek seperti Banyumas Selatan dan Malang Selatan. Sementara itu petugas-petugas kesehatan di luar kedua daerah tersebut rupanya belum sempat menemukan kecamuk kuman tersebut sebelum dia sempat mengambil korban, sebagaimana yang terjadi di Banyuwangi. Dan Mbok Ribut yang tidak punya pengetahuan sejelimet itu menjadi korban - karena serangan tiba-tiba dari kuman pseudomonas. "Kalau saya mau dihukum, biarlah, saya memang sudah tua", jawab Mbok Ribut pasrah kepada Pembantu Tetap TEMPO Imam Soebagio yang menemuinya di Lembaga Pemasyarakatan Banyuwangi. Ditanya bagaimana perasaannya ketika mendengar banyaknya korban yang jatuh akibat tempe buatannya, dengan kaget dia menjawab: "Tak tahu menahu tentang kematian itu". Yang dia ketanui katanya hanyalah yang dari polisi. "Mereka mengatakan banyak orang yang mabuk setelah makan tempe saya. Tapi nyatanya anak cucu saya yang juga makan tidak apa-apa. Mereka saban hari makan tempe buatan saya", sambungnya. "Tempe bongkrek tidak membahayakan, paling banter cuma mabuk. Kalau mabuk pun obatnya gampang. Minumlah air kelapa hijau", katanya lagi. Tempe bongkrek ini dibuat terutama dari ampas kelapa dan ampas tahu. Ampas tahu diperoleh Mbok Ribut dari perusahaan tahu milik Dulbari, tetangganya. Sedangkan ampas kelapa didapatnya dari Tarmi di desa sebelah yang memang sering membuat minyak kelapa. Meskipun ampas-ampas ini sudah bau masih tetap bisa dipakai. Keduanya dicampur sampai rata betul. Cuma 10 Rupiah Yang mengerjakan pencampuran ini adalah Pak Ribut, kalau dia sudah pulang dari sawah. Dialah yang memerasnya. Airnya dibuang sementara ampas tadi direbus. Ampas yang sudah direbus itu diserakkan supaya dingin, baru kemudian ditaburkan ragi tempe. Dua hari dua malam ditutup daun pisang menanti tumbuhnya jamur. Kalau sudah jamuran itu artinya diapun siap dipasarkan. "Tiga iris, setapak tangan besarnya cuma sepuluh rupiah", sela Mbok Ribut. Setiap hari dia menjualnya di pasar desa. Hanya hari-hari tertentu dia bawa sampai ke desa bersebelahan. Tiap pasar Kemisan di desa Kradenan, pasar Jum'atan di Jatirejo, pasar Selasa di desa Karetan dan pasar Sabtu di desa Selorejo. Biasanya, begitu Mbok Ribut muncul di mulut pasar, beberapa tengkulak sudah datang menyambutnya dan memborong semua dagangannya. Hingga tiap hari dia selalu pulang lebih cepat dari para pedaan lain. Ada dua keuntungan sebagai pembuat tempe bongkrek bagi Mbok Ribut. "Pertama anak cucu saya tak perlu membeli lauk lagi dan kedua saya dapat keuntungan sekitar dua ratus sampai tiga ratus rupiah setiap hari", katanya di Lembaga Pemasyarakatan Banyuwangi. Satu tempat di mana dia tidak bisa lagi menghitung untung kecuali berfikir tentang kesalahan apa yang telah dia perbuat sampai dia harus meringkuk begitu. Dan masa penantian dalam tahanan itu berarti beban baru buat anak cucunya yang selama ini menikmati buah tangan Mbok Ribut, nenek mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus