Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Banjarnegara- Beribu orang berupaya menepis hawa dingin bersuhu 5 derajat Celcius demi menyaksikan panggung pentas bertajuk “Jazz Atas Awan”, malam Minggu kemarin, 5 Agustus 2018, di kompleks Candi Arjuna, Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah. Malam itu, para penonton menunggu pertunjukan yang sama: musik dan lampion.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti penyelenggaraan selama delapan tahun berturut-turut sebelumnya, lampion menjadi daya tarik utama malam puncak perhelatan Dieng Culture Festival. “Jangan diterbangkan dulu lampionnya, karena kita akan sama-sama melakukannya di lagu terakhir saya nanti.” Suara Sabrang Mowo Damar Panuluh alias Noe Letto mengudara, memecah dingin malam itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Noe dan grup musiknya adalah bintang tamu yang sebelumnya dirahasiakan penyelenggara. Ini merupakan adab yang turun-temurun dilakukan sejak festival tersebut digelar perdana pada 2010. Humas DCF, Aprilianto, mengatakan panitia sengaja tak membekali penonton dengan informasi seputar bintang tamu supaya mereka datang bukan lantaran bintang tamu. “Biarkan mereka datang untuk benar-benar menikmati Dieng,” katanya, akhir Juli lalu kepada Tempo.
Lagu pertama Noe pun menandai dimulainya malam puncak penerbangan lampion. Kabut tebal turun tiba-tiba, berbarengan dengan penampilan pertama putra sulung Emha Ainun Najib itu. “Dengarkanlah permintaan hati yang teraniaya sunyi….” Suara Noe menggelegar, lebih-lebih saat memasuki bagian reffren, diakhiri ornamen vibrasi yang membikin merinding.
“Dan berikanlah arti pada hidupku, yang terempas, yang terlepas, pelukanmu, bersamamu…” Aksi paduan suara penonton kompak mengekor lantunan Noe. Berturut-turut, musik gubahannya ditampilkan dalam aksi panggung yang santai dan lugas. Ruang Rindu, lagu selanjutnya,dibawakannya dengan balutan dangdut. “Sudah saatnya kita menghargai semua jenis musik,” kata Noe.
Penonton yang terbagi atas dua arena, dalam dan luar pagar pertunjukan, sama-sama merapatkan barisan. Hawa dingin menusuk saat malam kian larut. Tungku-tungku perapian yang ditempatkan di arena penonton VIP berkali-kali ditumpuki kayu bakar.Seorang pengunjung memegang lampion di malam puncak Dieng Culture Festival 2018 yang diisi pertunjukan musik di kompleks Candi Arjuna, Banjarnegara, Jawa Tengah. Tempo/Francisca Christy Rosana
Beberapa kali tenaga medis membopong pengunjung yang pingsan. Mereka tak kuat menyintas suhu rendah. Meski begitu, nyali yang lain untuk mengikuti pertunjukan sampai kelar tak jua surut. Buktinya, suara Noe terdengar makin lamat lantaran ribuan penonton itu bernyanyi kian santer.
Di pengujung lagu terakhirnya, Noe memboyong Hiroaki Kato ke atas panggung. Penyanyi asal Jepang itu membikin panggung makin meriah. Hawa dingin Dieng tersaru penampilan mereka yang hangat.
“Ini saatnya kita menerbangkan lampion,” ujar Noe. “Mari menerbangkannya dengan harapan. Buat yang tahun ini jomblo, semoga segera mendapatkan pasangan,” tutur Noe diikuti riuh tepuk tangan.
Para pengunjung pun sibuk berkelompok dalam hitungan detik. Mereka cekatan membuka kemasan lampion yang telah dibagikan oleh pihak penyelanggara. Sambil bercengkrama satu sama lain, lampion itu mengudara. Selayaknya balon udara, lampion terbang karena dorongan api. “Ini yang saya tunggu-tunggu adalah pesta rakyat, pesta lampion,” kata Helen, wisatawan dari Jakarta.
Tidak sampai hitungan menit, 5.000 lampion beragam warna menghiasi kompleks Candi Arjuna. Rona lampion itu pun menyala. Langit Dieng penuh cerita. “Ingatkah engkau kepada embun pagi bersahaja, yang menemanimu sebelum cahaya.” Lantunan Noe makin lamat. Lampion terbang menjulang. Panggung itu menyimpan kenangan setelahnya.